HAMZAH BIN ABDUL MUTHALIB
Singa Allah dan Panglima Syuhada
Kota Mekkah masih mendengkur nyenyak dalam tidur malamnya, setelah siangnya lelah oleh segala macam usaha, kerja keras, kesibukan ibadah, dan aneka permainan. Orang Quraisy tertidur lelap dan membalik-balikkan tubuh mereka di atas ranjang. Tetapi, di sana ada seorang insan yang resah gelisah. Matanya tidak terpejam. Ia pergi ke kamar tidur lebih awal dan beristirahat dalam waktu singkat, lalu bangkit dengan penuh kerinduan karena rupanya ada janji dengan Allah. la menuju tempat shalat yang terletak di biliknya, lalu bermunajat kepada Allah dan berdoa penuh ketekunan.
Setiap kali istrinya terbangun dan mendengar gemuruh dadanya yang tunduk meminta dan untaian doanya yang hangat dan merengek-rengek, ia merasa kasihan dan memohon agar suaminya tersebut memperhatikan dirinya dan mengambil waktu istirahat yang cukup. Dengan air mata yang mengalir, yang mendahului kata-katanya, ia menjawab, “Wahai Khadijah, waktu untuk tidur telah berlalu.”
Urusannya pada waktu itu memang belum memusingkan orang-orang Quraisy ataupun mengganggu tidur nyenyak mereka, walaupun sudah mulai menjadi titik perhatian. Ia baru saja memulai dakwahnya dan menyampaikan ajarannya secara rahasia dan berbisik-bisik. Orang- orang yang beriman kepadanya waktu itu masih sangat sedikit. Tetapi, di antara orang-orang yang belum beriman itu ada pula yang menaruh kasih sayang dan penghormatan kepadanya serta memendam niat dan keinginan hati untuk beriman dan menyertai kafilahnya yang penuh berkah. Mereka terhalang untuk menyatakan keinginan itu karena keadaan dan lingkungan, tekanan kebiasaan dan adat-istiadat, serta kebimbangan hati untuk mengabulkan panggilan atau menolak seruan. Di antara orang yang masuk dalam golongan ini adalah Hamzah bin Abdul Muththalib, paman Nabi ﷺ dan saudara sesusuannya.
Hamzah telah mengetahui kebesaran dan kesempurnaan keponakannya. Ia memahami sebaik-baiknya kepribadian, watak, serta akhlaknya. Ia bukan hanya mengenalnya sebagai seorang paman terhadap keponakannya semata, melainkan juga sebagai saudara terhadap saudaranya, dan sahabat terhadap teman karibnya. Pasalnya, Rasulullah dan Hamzah hidup dalam satu generasi dan usia mereka berdua yang berdekatan. Mereka dibesarkan bersama, bermain bersama dan menjadi sahabat karib, serta menempuh jalan kehidupan selangkah demi selangkah selalu bersama sejak awal.
Hanya saja, ketika usia muda menjelang, mereka berdua menempuh jalan masing-masing. Hamzah mulai bersaing dengan teman-temannya untuk mendapatkan kelayakan hidup dan merintis jalan bagi dirinya untuk beroleh kedudukan di kalangan pembesar-pembesar Mekkah dan pemimpin-pemimpin Quraisy, sedangkan Muhammad tetap bertahan di lingkungan cahaya rohani yang mulai menerangi jalan baginya menuju Ilahi, serta mengikuti bisikan hati yang mengajaknya menjauhi kebisingan hidup untuk mencapai renungan yang dalam, serta mempersiapkan diri dalam menyambut dan menerima kebenaran.
Kita tegaskan, bahwa walaupun kedua anak muda itu telah mengambil arah yang berlainan, tetapi tidak satu detik pun hilang dari ingatan Hamzah. Keutamaan sahabat sekaligus keponakan itu telah banyak diketahui Hamzah, yakni keutamaan dan kemuliaan yang mengantarkan pemiliknya kepada kedudukan tinggi di mata seluruh manusia, dan melukiskan secara gamblang masa depannya yang gemilang.
Pagi itu seperti biasa Hamzah keluar dari rumahnya. Di sisi Ka’bah ia melihat rombongan pembesar dan bangsawan Quraisy, lalu ia pun duduk bersama mereka untuk mendengarkan apa yang mereka perbincangkan. Ternyata mereka sedang membicarakan Muhammad Untuk pertama kali Hamzah melihat mereka diliputi rasa gelisah disebabkan oleh dakwah yang dilakukan oleh keponakannya. Kemarahan, kebencian, dan kedengkian tampak jelas dari kata-kata mereka. Sebelum itu mereka tidak peduli, atau pura-pura tidak peduli. Tetapi, sekarang wajah-wajah mereka mengerikan, menyeringai karena berang, kecewa, serta hendak menerkam. Hamzah tertawa mendengar obrolan mereka. Ia menuduh mereka terlalu berlebihan dan salah menilai orang.
Saat itu pula, Abu Jahal segera menegaskan kepada mereka yang hadir bahwa sebenarnya Hamzah paling tahu tentang bahaya ajaran yang diserukan oleh Muhammad 螨, hanya saja ia menganggap enteng hingga Quraisy menjadi lengah dan tidak menyadari. Kemudian suatu saat nanti orang-orang Quraisy ditimpa keburukan dan urusan keponakannya itu menguasai mereka. Mereka melanjutkan pembicaraan dalam suasana hiruk-pikuk dan tidak luput dari ancaman, sedangkan Hamzah kadang-kadang turut tertawa dan sesekali menampakkan wajah murka. Ketika pertemuan itu usai dan mereka kembali ke acaranya masing-masing, kepala Hamzah pun dipenuhi oleh pikiran dan perasaan baru, yang menyebabkan perhatiannya tertuju kepada urusan keponakannya dan mempertimbangkan kembali apa dampak baik dan buruknya.
Hari-hari pun berlalu silih berganti, dan makin lama desas-desus yang disebarkan Quraisy terkait dakwah Rasul makin memuncak. Akhirnya, desas-desus itu berubah menjadi hasutan dan persekongkolan, sementara Hamzah memperhatikan suasana dari jauh. Ketabahan hati keponakannya itu sangat mengherankannya, sedangkan usahanya yang mati-matian membela keimanan dan kelancaran dakwahnya merupakan hal yang baru bagi kaum Quraisy secara umum, walaupun sebenarnya mereka terkenal gigih dan keras kepala.
Ketika itu keragu-raguan mungkin saja dapat menggoyahkan kepercayaan seseorang tentang kebenaran Rasulullah dan kebesaran jiwanya, tetapi ia tidak akan menemukan jalan untuk mempengaruhi dan memperdayal Hamzah. Hamzah adalah orang yang paling tahu slapa Muhammad sejak masa kanak-kanak hingga waktu mudanya yang tidak ternoda, dan terpercaya sampai usia dewasanya. Ia mengenal Muhammad ﷺ sebagaimana ia mengenal dirinya sendiri, bahkan lebih dari itu. Sejak mereka lahir ke alam wujud, menjadi remaja dan sama-sama berangkat dewasa, di mana lembaran kehidupan Muhammad terbuka di hadapan matanya suci bersih laksana sinar matahari, ia tidak pernah sekali pun melihat cacat pada lembaran itu. Tidak sekali pun, ia melihatnya marah atau naik darah, kecewa atau putus asa, apalagi menampakkan ketamakan dan keserakahan, berolok-olok, atau berbuat hal yang sia-sia.
Hamzah bukan saja seorang yang memiliki kekuatan jasmaniah belaka, melainkan juga dikaruniai kekuatan kemauan dan ketajaman akal pikiran. Karena itu, tidak wajar bila ia ketinggalan dan tidak ingin mengikuti orang yang diketahuinya betul-betul jujur dan dapat dipercaya. Hanya saja, ia memendam keinginan itu di dalam hati, menunggu waktu yang tepat untuk membukakannya, dan waktu itu telah dekat. Ia tidak akan menunggu lama.
Hari yang ditunggu-tunggu itu pun tiba. Hamzah keluar dari rumahnya menjinjing busur dan menujukan langkahnya ke arah padang belantara untuk melatih kegemaran dan melakukan olah raga yang sangat disukainya yaitu berburu. Ia sangat mahir dalam hal ini. Ia menuruti hobinya itu selama kira-kira setengah hari di sana, dan ketika kembali dari perburuannya ia langsung pergi ke Ka’bah untuk tawaf seperti biasa sebelum pulang ke rumahnya.
Setibanya dekat Ka’bah ia ditemui oleh seorang pelayan wanita Abdullah bin Jud’an. Saat wanita itu melihat Hamzah telah dekat dengan Ka’bah, ia berkata kepadanya, “Wahai Abu Umarah, andai saja engkau mellhat apa yang dialami oleh keponakanmu, Muhammad baru-baru ini. Abul Hakam bin Hisyam menyakiti dan memaki-makiinya ketika mendapatkan dirinya sedang duduk di sana, hingga mengalami perkara yang tidak diinginkan.”
Wanita itu lalu melanjutkan ceritanya mengenal perlakuan Abu Jahal terhadap Rasulullah . Hamzah mendengarkan perkataannya dengan baik, kemudian ia menundukkan kepalanya sejenak, lalu membawa busur panahnya dan menyandangkan ke bahu. Setelah itu, dengan langkah tegap ia bergegas menuju Ka’bah dan berharap akan bertemu dengan Abu Jahal di sana. Bila tidak bertemu di sana, ia akan mencarinya di mana pun juga sampai berhasil.
Tetapi, sebelum sampai di Ka’bah, ia telah melihat Abu Jahal di pekarangannya sedang dikelilingi oleh beberapa orang pembesar Quraisy. Dalam suasana yang mencekam, Hamzah maju mendekati Abu Jahal lalu mengambil busurnya dan memukulkannya ke kepala Abu Jahal hingga terluka dan berdarah-darah. Sebelum orang-orang yang hadir menyadari apa yang terjadi, Hamzah sudah membentak Abu Jahal, dengan ungkapan, “Mengapa kamu cela dan kamu maki Muhammad, padahal aku telah menganut agamanya dan mengatakan apa yang dikatakannya? Ulangilah makianmu itu kepadaku jika kamu berani!”
Seketika itu juga, orang-orang yang berada di tempat kejadian tersebut lupa akan penghinaan yang baru menimpa pemimpin mereka dan darah yang mengalir dari kepalanya, terhenyak kaget oleh kata-kata yang keluar dari mulut Hamzah yang tidak ubah bagai bunyi halilintar di siang bolong. Kata-kata yang diucapkannya untuk menyatakan bahwa ia telah menganut agama Muhammad, mengakui apa yang diakuinya dan mengatakan apa yang dikatakannya.
“Apa? Apakah Hamzah telah masuk Islam?”
Hamzah adalah sosok anak muda Quraisy yang paling gigih membela haknya serta yang paling mulia. Sungguh, suatu bencana besar yang tidak dapat diatasi oleh bangsa Quraisy karena keislaman Hamzah akan menarik perhatian tokoh-tokoh pilihan untuk ikut memasuki agama itu, hingga Muhammad akan mendapat tenaga dan kekuatan yang akan membela dakwah dan memperkokoh barisannya, dan suatu saat nanti orang-orang Quraisy akan bangun dan tersadarkan diri, karena mendengar bunyi linggis dan tembilang yang menghancurleburkan berhala-berhala dan tuhan-tuhan mereka.
Memang benar, Hamzah telah masuk Islam dan di hadapan umum la telah mengungkapkan isi hatinya selama ini. Ia meninggalkan orang- orang itu merenungi kekecewaan dan kegagalan harapan mereka, dan membiarkan Abu Jahal menjilat darah yang mengucur dari kepalanya yang terluka. Hamzah kembali memungut busur dengan tangan kanannya, dan menggantungkannya di bahu, lalu dengan langkah yang tegap dan hati yang pekat pergi pulang ke rumahnya.
Hamzah adalah seorang yang berpikiran cerdas dan berhati lurus. Ketika ia telah pulang ke rumahnya dan hilang rasa lelahnya, ia duduk sambil berpikir serta merenungkan peristiwa yang baru saja dialaminya. Bagaimana cara ia menyatakan keislamannya dan kapan?. Ia telah menyatakannya saat emosi dan tersinggung, saat marah dan naik darah. Ia tidak sudi bila keponakannya diperlakukan secara sewenang-wenang dan dianiaya tanpa adanya pembela. Karena itu, ia naik darah dan berdiri tegak membela Muhammad dan kehormatan Bani Hasyim; memukul kepala Abu Jahal hingga terluka dan berteriak di depannya bahwa ia telah memeluk agama Islam.
Tetapi, menurut Anda, apakah seseorang yang meninggalkan agama nenek moyang dan kaumnya, agama yang telah mereka anut sejak beribu- ribu tahun dan bahkan berabad-abad, lalu langsung menerima agama baru yang belum lagi diselidiki ajarannya dan belum dikenal hakikatnya kecuali sedikit saja, disebut sebagai cara yang terbaik? Memang benar, ia tidak sedikit pun ragu tentang kebenaran Muhammad ﷺ dan ketulusan maksudnya. Hanya saja, mungkinkah seseorang menerima satu agama baru beserta segala kewajiban dan tanggung jawabnya saat marah dan naik darah sebagaimana yang dilakukan oleh Hamzah sekarang ini?
Pikiran Hamzah terus dihantui oleh banyak pertanyaan. Siang hari, hatinya tidak bisa tenteram, sedangkan malam hari matanya tidak mau terpejam. Ketika akal telah diliputi oleh rasa penasaran terhadap hakikat sesuatu, keraguan pun datang sebagai jalan menuju keyakinan. Demikianlah, akal Hamzah yang baru saja tersentuh oleh keinginan untuk membahas masalah agama Islam dan membandingkan antara yang lama dan yang baru. Keraguan pun langsung menyelimutinya dirinya yang dibangkitkan oleh kerinduan yang telah mendarah daging terhadap agama nenek moyangnya, dan kecemasan yang telah jadi pusaka turun- temurun terhadap segala hal yang baru. Semua kenangannya tentang Ka’bah beserta tuhan-tuhan dan berhala-berhalanya bangkit kembali, begitu pula tentang pengaruh keagamaan yang telah ditanamkan oleh patung-patung pahatan itu terhadap semua penduduk Mekkah dan bangsa Quraisy secara keseluruhan.
Di dalam dadanya memang terpendam niat untuk menghormati dakwah baru yang panji-panjinya dipikul oleh keponakannya. Namun, seandainya ia ditakdirkan akan menjadi salah seorang pengikut dari dakwah ini, yang beriman dan menyediakan diri untuk menjadi pembantu dan pembelanya, kapankah sebenarnya waktu yang tepat untuk menganutnya? Apakah saat murka dan tersinggung ataukah setelah berpikir dan merenung?
Demikianlah, keteguhan pendirian dan kemurnian berpikir mengharuskannya untuk mengkaji dan mempertimbangkan semua masalah ini sedalam-dalamnya. Terlintas dalam pikiran bahwa memisahkan diri dari sejarah tersebut dan meninggalkan agama lama yang telah mendarah daging ini tidak ubahnya bagai hendak melompati jurang yang lebar. Ia merasa heran, mengapa orang begitu mudah dan tergesa-gesa meninggalkan agama nenek moyangnya, serta menyesali semua yang telah dilakukan sebelumnya? Namun, akal terus berputar dan bertarung dengan keraguan.
Tatkala ia merasa bahwa logika semata tidak cukup untuk menjawab semua pertanyaannya, dengan ikhlas dan tulus hati, ia pergi untuk mendapatkan jawaban dari yang gaib. Di sisi Ka’bah, ia mendongakkan wajahnya ke langit, memohon dengan segala ketundukan dan harapan kepada segala kekuatan dan cahaya yang terdapat di alam wujud ini agar mendapat petunjuk kepada yang benar dan jalan yang lurus. Sekarang, mari kita dengar ceritanya ketika mengisahkan berita selanjutnya:
“Kemudian timbullah sesal dalam hatiku karena meninggalkan agama nenek moyang dan kaumku. Aku pun diliputi kebingungan hingga mata tidak bisa terpejam. Akhirnya, aku pergi ke Ka’bah dan memohon kepada Allah agar membukakan hatiku untuk menerima kebenaran dan melenyapkan segala keraguan. Allah pun mengabulkan permohonanku itu dan memenuhi hatiku dengan keyakinan. Aku pun segera menemul Rasulullah dan menceritakan keadaanku kepadanya, Maka beliau berdoa kepada Allah agar menetapkan hatiku dalam agamanya.”
Demikianlah, Hamzah menganut Islam secara yakin. Allah menguatkan Islam dengan Hamzah. Bagai batu karang yang kukuh menjulang, ia membela Rasulullah dan para sahabatnya yang lemah. Abu Jahal melihat Hamzah berdiri dalam barisan kaum muslimin, maka menurut keyakinannya perang sudah tidak dapat dielakkan lagi. Karena itu, ia menghasut orang-orang Quraisy untuk melakukan kekerasan terhadap Rasulullah dan para sahabat. Ia terus mempersiapkan diri untuk melancarkan perang saudara yang akan melenyapkan semua dendam dan sakit hatinya.
Hamzah tidak dapat membendung segala gangguan mereka, tetapi keislamannya seolah-olah menjadi benteng dan perisal, di samping menjadi daya tarik bagi kebanyakan kabilah Arab untuk mengikuti langkahnya. Kemudian, daya tarik itu dikuatkan lagi dengan keislaman Umar bin Al-Khatthab, sehingga mereka pun berbondong-bondong meriganut Islam.
Sejak masuk Islam, Hamzah telah bertekad akan membaktikan hidupnya untuk Allah dan agama-Nya, hingga Nabi berkenan memasangkan pada dirinya julukan istimewa ini, “Singa Allah dan singa Rasul-Nya.”Pengiriman pasukan perang yang tidak disertai Nabi 遞, yang pertama dikirim untuk menghadapi musuh, dipimpin oleh Hamzah. Panji Islam pertama yang dipercayakan oleh Rasulullah kepada salah seorang Muslimin diserahkan kepada Hamzah. Kemudian, ketika kedua pasukan telah berhadap-hadapan di Perang Badar, keberanian luar biasa telah ditunjukkan oleh Singa Allah dan Singa Rasul-Nya yang tiada lain adalah Hamzah.
Sisa-sisa tentara Quraisy kembali dari Badar ke Mekkah dan berjalan terhuyung-huyung membawa kegagalan dan kekalahan. Abu Sufyan tidak ubah bagai pohon kayu besar yang tumbang dan tercabut hingga akarnya. Ia berjalan dengan kepala tertunduk meninggalkan medan laga yang dipenuhi tubuh para pemuka Quraisy yang telah tiada bernyawa, seperti Abu Jahal, Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Umayah bin Khalaf, Uqbah bin Abu Mu’aith, Al-Aswad bin Abdul Aswad Al-Makhzumi, Walid bin Utbah, Nadhar bin Harits, Ash bin Sa’id, Tha’mah bin Adi serta beberapa puluh pemimpin dan tokoh Quraisy lain seperti mereka.
Namun, kaum Quraisy tidak sudi menelan kekalahan pahit ini begitu saja. Mereka mulai mempersiapkan diri, menghimpun segala dana dan daya untuk menuntut balas dan menebus kekalahan mereka. Mereka telah bertekad bulat untuk berperang.
Akhirnya, waktu Perang Uhud pun tiba. Orang-orang Quraisy keluar, disertai oleh sekutu mereka dari berbagai kabilah Arab lainnya. Mereka dipimpin oleh Abu Sufyan. Target utama para pemuka Quraisy dalam peperangan kali ini adalah dua orang saja, yaitu Rasulullah dan Hamzah. Memang benar, dari buah pembicaraan dan provokasi yang mereka gembar-gemborkan sebelum perang, dapat diketahui bahwa Hamzah berada pada urutan kedua sesudah Rasulullah sebagai sasaran dan target peperangan ini.
Sebelum berangkat, mereka telah memilih seseorang yang diberi tugas untuk menyelesaikan rencana mereka terhadap Hamzah. Orang itu adalah seorang budak Habasyah yang memiliki kemahiran luar biasa dalam melemparkan tombak. Dalam peperangan nanti mereka memerintahkan budak itu untuk memusatkan perhatian hanya kepada satu tugas saja, yaitu menjadikan Hamzah sebagai buruan dan melepaskan lemparan tombak dengan lemparan yang mematikan kepadanya.
Mereka memperingatkannya agar tidak melalaikan tugas tersebut bagaimanapun juga jalan peperangan dan akhir kesudahannya. Sebagai imbalan mereka berjanji akan membayar jasanya dengan harga yang mahal, yakni kebebasan dirinya. Budak yang bernama Wahsyi itu adalah milik Jubair bin Muth’am. Kala Perang Badar meletus, paman Jubair ini tewas di tengah medan perang dan la ingin menuntut balas, sehingga ia berkata kepada Wahsyi, “Berangkatlah bersama orang-orang itu! Jika kamu berhasil membunuh Hamzah, kamu bebas.”
Kemudian mereka bawa budak itu kepada Hindun binti Utbah, yakni istriAbu Sufyan, agar dihasut dan didesaknya untuk melaksanakan rencana yang mereka inginkan. Pada Perang Badar, Hindun telah kehilangan ayah, paman, saudara, dan putranya. Ia mendengar berita bahwa Hamzah-lah yang telah membunuh sebagian keluarganya itu, dan yang menyebabkan terbunuhnya yang lain. Karena itu, tidak aneh bila di antara orang-orang Quraisy, baik laki-laki maupun perempuannya, dialah yang paling getol menghasut orang untuk berperang. Tujuannya tidak lain hanyalah untuk mendapatkan kepala Hamzah, meski harus dibayar dengan harga berapa pun.
Berhari-hari lamanya sebelum peperangan dimulai, tidak ada sesuatu pun yang dilakukan oleh Hindun selain menggembleng dan menghasut Wahsyl, serta menumpahkan segala dendam dan kebenciannya kepada Hamzah dan merencanakan peran yang akan dimainkan oleh budak itu. Ia telah menjanjikan kepada budak itu, andainya ia berhasil membunuh Hamzah, ia akan memberikan kepadanya kekayaan dan perhiasan paling berharga yang dimiliki oleh wanita tersebut. Sambil memegang anting- anting, permata yang mahal, serta kalung emas yang terlilit pada lehernya dengan jari-jarinya yang penuh kebencian, dan dengan pandangan yang tajam, ia berbisik kepada Wahsyi, “Jika kamu dapat membunuh Hamzah, semua ini menjadi milikmu.”
Air liur Wahsyi pun mengalir mendengar itu. Angan-angannya terbang melayang dipenuhi rasa rindu dan ingin cepat bertemu dengan peperangan yang akan menyebabkan tombaknya mendapatkan mangsanya, hingga ia tidak lagi menjadi budak, selain keinginan untuk segera memiliki barang-barang perhiasan yang selama ini menghiasi leher istri pemimpin dan putri tokoh suku Quraisy.
Itulah persekongkolan jahat mereka. Segala unsur perang kali ini menginginkan Hamzah terbunuh tanpa ditawar-tawar.
Pertempuran itu pun tiba. Kedua pasukan telah mulai tertempur. Hamzah berada di tengah-tengah medan yang menjadi sarang maut dan pembunuhan. Ia memakai pakaian perang, sedangkan di dadanya terdapat bulu burung unta yang biasa diambilnya sebagai penghias dadanya dalam peperangan. Hamzah mulai menyerbu dan menyerang kiri kanan. Setiap kepala yang menjadi sasarannya, putus oleh pedangnya. Pukulannya terhadap orang-orang musyrik tiada henti-hentinya, dan seolah-olah maut menyerahkan diri ke dalam tangannya, dilontarkannya kepada siapa yang dikehendakinya, lalu tertancap di hulu hatinya.
Nah, sekarang Anda akan mengetahui siapa sejatinya tokoh tersebut. Ia adalah salah seorang sahabat Rasulullah yang utama, walaupun namanya tidak seharum nama mereka yang telah terkenal. la adalah salah seorang yang bertakwa dan tidak menonjolkan diri. Mungkin ada baiknya kita kemukakan di sini bahwa ia tidak pernah absen dalam semua perjuangan dan jihad yang dihadapi Rasulullah ﷺ. Tetapi, itu telah menjadi pola dasar kehidupan semua orang Islam. Tidak selayaknya bagi orang yang beriman akan tinggal berpangku tangan dan tidak turut mengambil bagian dalam apa saja yang dilakukan Nabi, baik saat damai maupun dalam suasana perang.
Sa’id menganut Islam tidak lama sebelum pembebasan Khaibar. Sejak ia memeluk Islam dan berbaiat kepada Rasulullah ﷺ seluruh kehidupannya, eksistensi, dan nasibnya dibaktikan untuk kepentingan Islam dan Rasulullah. Ketaatan, kezuhudan, kesalehan, keluhuran, ketinggian, serta segala sifat dan tabiat utama, sangat lekat pada diri manusia suci dan baik ini.
Ketika kita berusaha menemui dan menjajaki kebesarannya, hendaklah kita bersikap hati-hati dan waspada, agar kita tidak terlena oleh godaan pikiran yang selalu tertuju pada kemegahan, sehingga banyak hal penting yang justru terabaikan dan lepas dari pantauan. Pasalnya, ketika pandangan kita tertuju pada Sa’id dalam kumpulan orang banyak, tidak tampak suatu keistimewaan yang akan memikat dan mengundang perhatian kita. Mata kita akan melihat dia sebagai salah seorang anggota regu tentara dengan tubuh berdebu dan berambut yang kusut masal, baik pakaian maupun bentuk lahirnya tidak sedikit pun berbeda dengan golongan miskin lainnya dari kaum muslimin. Seandainya yang kita jadikan ukuran itu pakaian dan tampilan luar, kita tidak akan menemukan petunjuk yang akan menyatakan siapa sebenarnya la.
Kebesaran tokoh ini lebih banyak yang tersembunyi dan berada di dalam daripada yang tersembul di permukaan luar yang kemilau. Kebesaran itu jauh tersembunyi di sana, di balik kesederhanaan dan kesahajaannya. Apakah Anda sekalian tahu tentang mutiara yang terpelihara di dalam perut kerang? Nah, keadaannya boleh diibaratkan seperti itu.
Ketika Amirul Mukminin Umar bin Al-Khatthab memberhentikan Mu’awiyah dari jabatannya sebagai kepala daerah di Syria, ia menoleh kiri dan kanan mencari seseorang yang akan menjadi penggantinya. Cara yang digunakan Umar untuk memilih pegawai dan pembantunya merupakan suatu cara yang mengandung segala kehati-hatian, ketelitian. dan pemikiran yang matang. Sebab, ia yakin bahwa kesalahan apa pun yang dilakukan oleh setiap penguasa di tempat yang jauh sekali pun maka yang akan ditanya oleh Allah ﷻ ialah dua orang pertama: Umar, dan kedua penguasa baru yang melakukan kesalahan itu. Karena itu, syarat- syarat yang diberlakukan olehnya untuk menilai orang dan memilih para pejabat pemerintahan sangat berat dan ketat, serta didasarkan atas pertimbangan tajam dan sempurna, lebih dalam daripada ketajaman mata telanjang dan penampilan luar.
Syria ketika itu merupakan wilayah yang modern dan besar, sementara kehidupan di sana sebelum datangnya Islam mengikuti peradaban yang silih berganti, di samping merupakan pusat perdagangan yang penting dan tempat yang cocok untuk bersenang-senang. Beberapa poin inilah yang menjadikan Syria sebagai negeri yang penuh godaan dan rangsangan. Menurut pendapat Umar, tidak ada yang cocok untuk negeri itu kecuali seorang suci yang tidak dapat diperdayakan oleh setan manapun, seorang ahli zuhud yang gemar beribadah, yang tunduk dan patuh kepada Allah.
Tiba-tiba Umar berseru, “Aku telah menemukannya. Bawalah ke sini Sa’id bin Amir.” Tak lama kemudian, Sa’id pun datang menjumpai Amirul Mukminin yang menawarkan jabatan sebagai walikota Homs, Suriah. Tetapi, Sa’id menyatakan keberatan dan berkata, “Janganlah engkau menjerumuskan diriku ke dalam fitnah, wahal Amirul Mukminin.” Dengan nada keras Umar menjawab, “Tidak, demi Allah, aku tidak akan membiarkanmu menolak. Apakah kalian hendak membebankan amanah dan khilafah di atas pundakku lalu kalian meninggalkan diriku begitu saja?”
Dalam sekejap Sa’id dapat diyakinkan. Memang, kata-kata yang diucapkan Umar pantas untuk mendapatkan hasil yang diharapkan itu. Sungguh, suatu hal yang tidak adil bila mereka mengalungkan amanat dan jabatan khalifah ke lehernya, lalu mereka meninggalkan dirinya memikul tugas itu sendirian. Seandainya seorang seperti Sa’id bin Amir menolak untuk memikul tanggung jawab hukum, siapa lagi yang akan membantu Umar dalam memikul tanggung jawab yang sangat berat itu?
Akhirnya Sa’id berangkat ke Homs disertai oleh istrinya yang waktu itu masih pengantin baru. Istrinya sejak belia memang terlihat sebagai seorang wanita yang sangat cantik berseri-seri. Umar membekali mereka dengan bekal yang cukup. Ketika kedudukan mereka di Homs telah mapan, sang istri bermaksud menggunakan haknya sebagai istri untuk memanfaatkan harta yang telah diberikan Umar sebagai bekal mereka. la mengusulkan kepada suaminya untuk membeli pakaian yang layak dan perlengkapan rumah tangga, lalu menyimpan sisanya.
Namun, Sa’id menjawab, “Maukah kamu aku tunjukkan yang lebih baik daripada rencanamu itu? Kita berada di suatu negeri yang sanget pesat perdagangannya dan laris barang jualannya. Lebih baik kita serahkan harta ini kepada seseorang yang akan mengambilnya sebagal modal dan akan mengembangkannya.”
“Bagaimana jika perdagangannya rugi tanya istrinya.
“Aku akan menetapkan jaminan atas dirinya.”
“Baiklah kalau begitu.”
Kemudian Sa’id pergi keluar, lalu membeli beberapa keperluan hidup dari jenis yang sangat bersahaja, dan sisanya yang tentu saja masih banyak dibagi-bagikannya kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan.
Hari-hari pun berlalu, dari waktu ke waktu istri Sa’id selalu menanyakan kepada suaminya soal perdagangan mereka dan kapan keuntungannya hendak dibagikan. Semua itu dijawab oleh Sa’id bahwa perdagangan mereka berjalan lancar, sedangkan keuntungan bertambah banyak dan kian meningkat.
Suatu hari istrinya kembali mengajukan pertanyaan serupa dihadapan seorang kerabat yang mengetahui duduk perkara yang sebenarnya. Sa’id pun tersenyum lalu tertawa yang menyebabkan timbulnya keraguan dan kecurigaan sang istri. la mendesak suaminya agar menceritakannya secara terus terang. Akhirnya, sang suami menuturkan kepadanya bahwa harta itu telah disedekahkannya sejak awal.
Wanita itu pun menangis. la menyesal karena harta itu lenyap tanpa arti dan tidak jadi dibelikan keperluan hidup dirinya, dan sekarang tidak sedikit pun yang tersisa. Sa’id memandangi istrinya, sementara air mata penyesalan dan kesedihan telah menambah kecantikan dan kemolekannya. Sebelum pandangan yang penuh godaan itu dapat mempengaruhi dirinya yang lemah, Sa’id mengalihkan penglihatan batinnya ke surga, maka tampaklah di sana rekan-rekannya yang telah pergi mendahuluinya, lalu berkata, “Aku mempunyai rekan-rekan yang telah lebih dulu menemui Allah, dan saya tidak ingin menyimpang dari jalan mereka, walau ditebus dengan dunia dan segala isinya.”
Karena ia takut akan tergoda oleh kecantikan istrinya itu, la pun menyampaikan kata-kata yang seolah-olah dihadapkan kepada dirinya sendiri bersama istrinya, “Bukankah kamu tahu bahwa di dalam surga Itu hanyak terdapat gadis-gadis cantik yang berimata jeli, hingga andai seorang saja di antara mereka menampakkan wajahnya di muka bumi, seluruhnya akan terang-benderang, dan tentulah cahayanya akan mengalahkan sinar matahari dan bulan? Maka mengorbankan dirimu demi untuk mendapatkan mereka tentu lebih wajar dan lebih utama daripada mengorbankan mereka karena dirimu.”
Ia mengakhiri ucapan itu dalam keadaan tenang dan tenteram, tersenyum simpul dan pasrah sebagaimana ia berbicara sejak awal. Istrinya diam dan sadar bahwa tidak ada yang lebih utama baginya daripada meniti jalan kebahagiaan untuk akhirat. Akhirnya ia berupaya mencontoh sifat zuhud dan ketakwaan suaminya.
Pada saat itu Homs digambarkan sebagai Kufah Kedua. Hal itu disebabkan sering terjadinya pembangkangan dan kedurhakaan penduduk terhadap para pembesar yang memegang kekuasaan.
Seluruh kaum muslimin maju dan menyerbu ke baris depan, hingga kemenangan menentukan telah hampir berada di tangan. Sisa-sisa Quraisy terpukul mundur dan lari porak-poranda. Seandainya pasukan panah tidak meninggalkan posisi mereka di puncak bukit, dan turun ke bawah untuk memungut harta rampasan dari musuh yang kalah; sekiranya mereka tidak melanggar perintah dan tidak membiarkan garis pertahanan panjang menjadi terbuka bagi masuknya pasukan berkuda Quraisy, Perang Uhud pasti akan menamatkan riwayat mereka dan menjadi kuburan bagi kaum Quraisy, baik lelaki maupun wanita, bahkan kuda dan unta mereka.
Saat mereka lengah dan tidak waspada itulah, pasukan berkuda Quraisy menyerang kaum muslimin dari belakang hingga mereka menjadi sasaran dan bulan-bulanan pedang yang menari-nari berkelebatan. Kaum muslimin berupaya keras mengatur barisan kembali dan memungut senjata yang telah ditinggalkan oleh sebagian mereka yang lari karena serbuan Quraisy yang mendadak itu. Namun, sergapan yang tiba-tiba dan tidak disangka-sangka itu akibatnya memang sangat kejam dan pahit.
Ketika Hamzah menyadari apa yang telah terjadi, semangat, tenaga maupun perjuangannya semakin berlipat ganda. Ia menerjang ke kiri dan ke kanan, ke muka dan ke belakang, sementara Wahsyi sedang mengintainya di sana dan menunggu waktu yang tepat untuk melemparkan tombak ke tubuhnya.
Sekarang, mari kita persilakan Wahsyi sendiri yang menuturkan tentang peristiwa tersebut:
“Saya seorang Habasyah yang mahir melemparkan tombak dengan teknik khas Habasyah, hingga Jarang sekali lemparanku meleset. Tatkala orang-orang telah mulal berperang, saya pun keluar dan mencari-cari Hamzah, hingga akhirnya tampak di antara manusia tidak ubahnya bagai unta kelabu yang mengancam orang-orang dengan pedangnya hingga tidak seorang pun yang dapat bertahan di depannya.
Demi Allah, ketika saya bersiap-siap untuk membunuhnya, saya bersembunyi di balik pohon agar dapat menerkamnya atau menunggunya supaya dekat. Tiba-tiba saya didahului oleh Siba’ bin Abdul ‘Uzza yang tampil di hadapannya. Tatkala Hamzah melihat mukanya, ia pun berkata, ‘Mendekatlah ke sini, wahai anak tukang potong kelentit!” Sejurus kemudian Hamzah menebasnya dan tepat mengenai kepalanya.
Ketika itu saya pun menggerakkan tombak dan mengambil ancang- ancang, hingga setelah terasa tepat, saya melemparkannya hingga mengenal pinggang bagian bawah dan tembus ke bagian muka di antara dua pahanya. Ia mencoba bangkit ke arahku, tetapi ia tidak berdaya lalu roboh dan meninggal.
Saya datang mendekatinya dan mencabut tombakku, lalu kembali ke perkemahan dan duduk-duduk di sana, karena tidak ada lagi tugas dan keperluanku. Saya telah membunuhnya semata-mata demi kebebasan dari perbudakan yang menguasai.”
Tidak ada salahnya bila kita persilakan Wahsyi melanjutkan kisahnya:
“Sesampainya di Mekkah, saya pun dibebaskan. Saya tetap bermukim di sana sampai kota itu dimasuki oleh Rasulullah pada hari pembebasan. Akhirnya, saya lari ke Thaif. Ketika utusan Thaif menghadap Rasulullah untuk menyatakan keislaman, timbul berbagai rencana dalam pikiran saya. Saya berbisik di dalam hati, lebih baik aku pergi ke Syria, atau ke Yaman, atau ke tempat lain.
Demi Allah, ketika saya berada dalam kebingungan itu datanglah seseorang mengatakan kepadaku, ‘Celaka kamu! Rasulullah tidak akan membunuh seseorang yang masuk agamanya.’ Akhirnya, saya pergi untuk menemui Rasulullah di Madinah. Bellau tidak melihatku kecuali ketika saya telah berdiri di depan beliau mengucapkan dua kalimat syahadat.
Ketika melihat saya itulah, beliau bertanya, “Apakah kamu ini Wahsyl?”
“Benar, wahal Rasulullah,” jawabku.
“Ceritakanlah kepadaku bagaimana kamu membunuh Hamzah!”
Saya pun menceritakan kisah tersebut. Setelah saya selesai bercerita, beliau bersabda, ‘Celaka kamu, jauhkanlah wajahmu dari pandanganku.’
Setelah itu, saya menghindarkan diri dari hadapan dan jalan yang akan ditempuh oleh Rasulullah agar tidak kelihatan oleh bellau sampai saat beliau wafat. Tatkala kaum muslimin bergerak untuk menumpas pemberontakan nabi palsu, Musailamah Al-Kadzdzah yang menguasai Yamamah, saya pun ikut bersama mereka dan membawa tombak yang dahulu saya gunakan untuk membunuh Hamzah.
Ketika orang-orang mulai bertempur, saya melihat Musailarnah Al- Kadzdzah sedang berdiri dengan pedang di tangan. Saya pun bersiap-siap dan menggerakkan tombak sambil mengambil ancang-ancang, hingga setelah terasa tepat, saya lemparkan tombak dan menemui sasarannya.
Dengan demikian, dengan tombak itu dahulu saya telah membunuh manusia terbaik, yaitu Hamzah; dan sekarang saya berharap Allah akan mengampuniku karena dengan tombak itu pula saya telah membunuh manusia terjahat, yaitu Musailamah.”
Demikianlah Singa Allah dan Singa Rasul-Nya itu gugur sebagai syahid yang mulia. Sebagaimana hidupnya telah menggemparkan, demikian pula wafatnya telah menggemparkan. Musuh tidak puas hanya dengan kematiannya saja. Mereka telah mengerahkan orang-orang Quraisy dan mengorbankan harta benda mereka dalam suatu peperangan besar yang tujuannya tiada lain ialah mendapatkan Rasulullah dan pamannya Hamzah.
Hindun binti Utbah yang merupakan istri Abu Sufyan telah menyuruh Wahsyi agar mengambil hati Hamzah untuk dirinya. Keinginannya yang harus dia bayar dengan imbalan yang setimpal itu dikabulkan oleh orang Habasyah itu. Tatkala ia kembali kepada Hindun dan memberikan hati Hamzah dengan tangan kanannya, la menerima kalung dan anting-anting dari wanita itu dengan tangan kirinya sebagai balas jasa atas tugas yang terlaksana dengan baik.
Sebagai istri Abu Sufyan yang merupakan panglima kaum musyrik penyembah berhala, yang ayahnya telah tewas di tangan kaum muslimin pada Perang Badar itu, Hindun menggigit dan mengunyah hati Hamzah dengan harapan akan dapat mengobati hatinya yang pedih karena dendam dan murka. Namun, hati Hamzah menjadi alot, sehingga tidak dapat dikunyah dan tidak mempan oleh taring-taringnya, dan akhirnya ia mengeluarkannya dari mulut, lalu berteriak keras:
“Kami membalas kalian pada atas kekalahan di Badar Pertempuran hari itu kini terbalas dengan pertempuran hari ini.
Betapa pedihnya hatiku mengenang Utbah
Demikian pula saudaraku, paman, serta putra sulungku.
Sekarang hatiku puas, nazar itu telah terpenuhi.
Sakit di dada telah terobati oleh Wahsyi.”
Peperangan pun berakhir. Kaum musyrikin menaiki unta dan menghalau kuda mereka pulang ke Mekkah. Rasulullah beserta sahabat turun ke bekas medan pertempuran untuk memeriksa para syuhada.
Di perut lembah, ketika beliau memeriksa wajah para sahabatnya yang telah menjual diri mereka kepada Allah dan menyajikan pengorbanan yang ikhlas demi Allah Yang Mahabesar, beliau berhenti sejenak, menyaksikan dan tak sepatah kata pun terucap, menggertakkan gigi dan air mata pun menetes. Tidak terlintas dalam benak beliau sedikit pun bahwa moral orang-orang Arab akan merosot sedemikian rupa hingga jatuh pada kebiadaban dan sampai hati merusak mayat seperti yang terjadi pada paman beliau sendiri yang gugur syahid, Harnzah bin Abdul Muththalib, Singa Allah dan tokoh utama syuhada.
Rasulullah membuka kedua mata yang dengan airnya yang berkilau laksana kaca, pandangan beliau tertuju kepada tubuh pamannya itu dan bersabda, “Aku tidak akan menderita karena musibah sepertimu selamanya. Dan tidak satu suasana pun yang lebih menyakitkan hatiku seperti suasana sekarang ini.”
Kemudian beliau menoleh ke arah para sahabat, dan bersabda, “Sekiranya Shafiyah, saudari Hamzah, takkan berduka dan tidak akan menjadi sunnah sepeninggalku nanti, niscaya kubiarkan jasadnya mengisi perut binatang buas dan tembolok burung. Sekiranya aku diberi kemenangan oleh Allah di salah satu medan pertempuran dengan orang Quraisy, niscaya kucabik-cabik tubuh tiga puluh orang laki-laki di antara mereka.”
Para sahabat pun berseru, “Demi Allah, sekiranya pada suatu waktu nanti kita diberi kemenangan oleh Allah atas mereka, niscaya kami akan mencincang-cincang mayat mereka dengan cincangan yang belum pernah dilakukan oleh seorang Arab pun.”
Namun, Allah yang telah memberi kemuliaan kepada Hamzah sebagai seorang syahid, memuliakannya sekali lagi dengan menjadikan gugurnya itu sebagai suatu kesempatan untuk memperoleh pelajaran penting yang akan melindungi keadilan sepanjang masa dan mengharuskan diperhatikannya kasih sayang walau dalam qishash dan menjatuhkan hukuman.
Demikianlah, belum lagi selesai Rasulullah mengucapkan ancamannya itu, dan belum beranjak dari tempat tersebut, ayat-ayat yang mulia berikut ini pun turun:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang- orang yang mendapat petunjuk.
Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi, jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang- orang yang sabar.
Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah, dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka, dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang- orang yang berbuat kebaikan.
Ayat-ayat tersebut diturunkan di tempat itu dan sekaligus sebagai penghormatan terbaik untuk Hamzah, yang pahalanya pasti akan diberikan oleh Allah. Rasulullah sangat sayang kepadanya, dan seperti telah kami sebutkan sebelumnya, ia bukanlah sekedar paman yang tercinta belaka, melainkan juga saudara sesusuan, teman sepermainan, dan sahabat sepanjang masa.
Pada momen perpisahan ini, tidak ada penghormatan yang lebih utama yang ditemui Rasulullah untuk melepas kepergiannya selain menshalatkannya bersama-sama dengan seluruh syuhada, seorang demi seorang. Demikianlah, jasadnya dibawa ke tempat shalat di medan laga yang telah menyaksikan kepahlawanan dan menampung darahnya, lalu dishalatkan oleh Rasulullah bersama para sahabat.
Setelah itu, seorang yang gugur syahid lain dibawa ke sana dan dishalatkan oleh Rasulullah. Mayat itu diangkat, tetapi Hamzah dibiarkan di tempatnya, lalu jasad korban syahid ketiga dibawa dan dibaringkan di dekat Hamzah, lalu dishalatkan pula oleh Rasulullah 嫣.
Begitulah para syuhada itu didatangkan satu demi satu, untuk dishalatkan oleh Rasulullah 螨, hingga bila dihitung ada tujuh puluh kali lipatnya Rasulullah menshalatkan Hamzah waktu itu.
Rasulullah pulang ke rumah meninggalkan medan peperangan. Di tengah perjalanan, beliau mendengar wanita-wanita Bani Abdul Asyhal menangisi syuhada mereka. Dengan sangat santun dan sayang, beliau bersabda, “Tetapi, Hamzah, tidak ada wanita yang menangisinya!”
Sabda beliau itu terdengar oleh Sa’ad bin Mu’adz. Ia menyangka Rasulullah akan senang hati bila ada wanita yang menangisi pamannya, lalu segeralah ia mendatangi wanita-wanita Bani Abdul Asyhal dan menyuruh mereka agar menangisi Hamzah pula. Suruhan itu pun dituruti, namun ketika Rasulullah mendengar tangis mereka, beliau pergi menemui mereka dan bersabda, “Bukan ini yang saya maksudkan. Pulanglah kalian, semoga Allah memberi kalian rahmat, dan tidak boleh menangis lagi setelah hari ini.”
Para penyair dari kalangan sahabat Rasulullah berlomba- lomba menggubah syair untuk mengantarkan kepergian Hamzah dan mengenangkan jasa-jasanya yang besar. Di antaranya, Al-Hasan bin Tsabit mengatakan:
Tinggalkan masa lalu yang penuh berhala
Ikuti jejak Hamzah yang bergelimang dengan pahala
Penunggang kuda di medan laga
Bagaikan singa terluka di hutan belantara
Seorang keturunan Hasyim mencapai puncak yang cemerlang
Tampil ke medan laga membela kebenaran
Gugur sebagai syahid di medan pertempuran
Di tangan Wahsyi pembunuh bayaran
Abdullah bin Rawahah mengatakan:
Air mata mengalir tidak ada hentinya
Walau ratap dan tangis tidak ada artinya
Terhadapmu, wahai singa Allah, mereka bertanya-tanya
Benarkah Hamzah yang gugur?
Ujian telah menimpa kami hamba Allah
Begitu pula Muhammad Rasulullah
Dengan kepergianmu benteng musuh berantakan
Dengan kepergianmu tercapailah tujuan
Shafiyah binti Abdul Muththalib, bibi Rasulullah dan saudara Hamzah, mengatakan:
“Ia telah dipanggil oleh Ilah yang berhak disembah, pemilik Arsy
Ke dalam surga tempat hidup bersenang-senang
Memang itulah yang kita tunggu dan selalu harapkan
Hingga pada hari mahsyar Hamzah beroleh tempat yang lapang
Demi Allah, selama angin barat berhembus, daku takkan lupa
Baik di waktu bermukim maupun bepergian ke mana saja
Selalu berkabung dan menangisi
Singa Allah Sang Pemuka, Pembela Islam terhadap setiap kafir orang angkara
Sementara daku mengucapkan syair, keluargaku sama berdoa.
Semoga Allah memberimu balasan, wahai saudara, wahai pembela
Tetapi, ratapan terbaik untuk mengenang Hamzah ialah kata-kata yang diucapkan oleh Rasulullah 堀 ketika berdiri di depan jasad Hamzah sewaktu dilihatnya berada di antara syuhada pertempuran itu. Bellau bersabda:
“Rahmat Sang Maya Penyayang terlimpah atas dirimu
Akulah saksi bagimu di hadapan Al-Hakim
Engkaulah ksatria penyambung silaturahim
Berbuat kebaikan, pembela yang dizalimi.
Tidak bisa dipungkiri bahwa musibah yang menimpa Nabi berupa kematian paman beliau yang utama, Hamzah, adalah musibah yang sangat besar, hingga sebagai penghibur baginya sangat sukar ditemukan. Tetapi, takdir telah menyediakan hiburan terbaik bagi Rasulullah
Dalam perjalanan pulang dari Uhud ke rumahnya, Rasulullah melewati seorang wanita warga Bani Dinar, yang dalam peperangan itu telah kehilangan ayah, suami, dan saudaranya. Ketika wanita itu melihat kaum muslimin pulang dari medan perang, ia segera mendapatkan mereka dan menanyakan berita pertempuran. Mereka sampaikan bela sungkawa atas gugurnya suami, ayah, dan saudaranya itu. Sambil mengeluh, wanita itu bertanya, “Bagaimana kabar Rasulullah?” Mereka menjawab, “Baik- baik saja, alhamdulillah. Beliau dalam keadaan yang kamu inginkan.”
“Ajaklah beliau ke sini agar saya dapat melihatnya,” pintanya.
Mereka pun tetap berdiri di samping wanita tersebut, hingga Rasulullah dekat kepada mereka. Ketika wanita tersebut melihat kedatangan beliau, ia langsung menghampiri dan berkata, “Apa pun musibah yang menimpa asal tidak menimpa diri Anda, itu terasa ringan.”
Kata-kata tersebut merupakan hiburan yang terbaik dan paling kekal. Rasulullah bisa jadi tersenyum menyaksikan peristiwa istimewa dan satu-satunya ini, karena dalam dunia pengorbanan, kesetiaan dan kecintaan, peristiwa itu tidak ada bandingannya.
Seorang wanita yang lemah dan miskin itu telah kehilangan ayah, suami dan saudaranya. Tetapi, sambutannya terhadap perang yang menyampaikan berita yang dapat mengguncangkan gunung, cukup dengan kata-kata, “Tetapi, bagaimana kabar Rasulullah?” Sungguh, suatu peristiwa yang telah diatur corak dan waktunya oleh tangan takdir secara baik dan tepat, guna disajikan sebagai penghibur bagi Rasulullah dalam menghadapi musibah atas kesyahidan Singa Allah dan panglima para syuhada.
Sumber : Biografi 60 Sahabat Nabi, Karya Khalid Muhammad Khalid, Penerbit : Ummul Qura