Kita sering mendengar kata-kata harakah dalam kegiatan aktifis, kadang ada yang bertanya kepada kita, “antum dari harakah mana?” pertanyaan ini sering kita dapatkan ketika mengadakan sebuah acara atau menghadiri sebuah acara yang saat itu di hadiri oleh banyak kalangan aktifis. Oleh karena itu alangkah baiknya kita bisa memahami dengan baik apa itu Harokah.
Harakah Mubarokah
Di dalam kamus bahasa Arab “Lisan Al `Arob” (1/614) kata harokah (الحركة ) yang berasal dari kata Haruka (حرك) memiliki arti lawan dari kata diam (ضد السكون) atau tidak bergerak, yang berarti harokah adalah suatu gerakan. Di dalam bahasa umum Harokah berarti perpindahan tubuh dari satu tempat ke tempat tertentu menuju tempat lainnya (إنتقال الجسم من مكان إلى مكان آخر). Hal tersebut menandakan adanya langkah-langkah dan usaha-usaha yang terus bergerak dari satu posisi menuju posisi yang lain atau dari satu keadaan menuju keadaan yang lain. Dari sini dapat difahami bahwa Harokah Islamiyyah berarti langkah-langkah, usaha-usaha dan gerakan-gerakan yang bersifat Islami, yaitu berdasarkan asas-asas, aturan-aturan dan nilai-nilai Islam, baik dalam tujuan, aqidah dan sikap atau suluknya.
Manusia diciptakan Allah I untuk mengabdi hanya kepada-Nya, atau mentauhid kan-Nya. Hal itu mengandung pengertian bahwa arti kehidupan yang sesungguhnya bagi manusia adalah mempersembahkan seluruh aspek kehidupannya untuk hanya kepada Allah, Robbul `Alamin, Pencipta, Pemilik dan Pengatur alam semesta.
Tauhid adalah dasar penciptaan anak cucu Adam, yaitu manusia seluruhnya, karena Allah I telah menciptakan mereka sebagai muwahhidin (hanya pengabdi Allah semata). Bapak manusia yaitu Adam `As adalah orang pertama yang menjadi muwahhidin sebagai fithroh asasi yang melekat pada diri manusia. Manusia sepanjang sejarahnya sejak Adam `As hingga Nuh `As – semoga Allah mencurahkan kesejahteraan kepada mereka – yang diperkirakan berjarak 10 abad, masih tetap berada di atas landasan tauhid. Sebuah kehidupan Islami yang ditandai pengabdian dan peribadatan kepada Allah I dalam seluruh aspek kehidupan tersebut telah diwujudkan oleh Adam `As dalam bentuk ketauhidan yang utuh di alam nyata.
Kehidupan Islami ini berlangsung sampai munculnya penyimpangan besar dari rel kehidupan di zaman umat Nabi Nuh `As dalam bentuk kesyirikan kepada Allah I. Pengabdian yang beralih kepada penyembahan berhala-berhala Wad, Suwa`, Yaguts, Ya`uq dan Nasr dimana pada asalnya adalah nama orang-orang sholih di kalangan mereka ini telah merubah tujuan hakiki dari kehidupan manusia itu sendiri. Inilah titik mula terjadinya penyimpangan hakiki kehidupan insan di muka bumi, dari ketauhidan dan pengabdian hidup hanya kepada Allah I menuju kehidupan syirik yang penuh kehinaan dan kehancuran alam semesta.
Di saat itu dan saat sesudahnya, kafilah-kafilah rasul Allah dan para nabi di utus setiap zamannya oleh Allah I tanpa henti untuk mengadakan langkah-langkah, usaha-usaha dan gerakan-gerakan mengembalikan manusia ke arah tujuan diciptakannya yaitu tauhid dan pengabdian hanya kepada-Nya, hingga ditutup dan disempurnakan oleh rasul dan nabi terakhir, Nabi Muhammad e. Usaha, langkah dan gerakan dakwah kepada tauhidulloh merupakan program dasar dan utama yang dilakukan para rasul dan anbiya sebagai pemimpin dan penghulu para da`i ilAllah. Sebuah tugas utama dan mulia yang mereka sandang sebagai makhluk dan manusia terhormat dan terpuji di alam semesta. Usaha-usaha, langkah-langkah dan gerakan-gerakan yang gigih dan tiada henti yang mereka lakukan, baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, baik pagi maupun petang, baik di saat sendiri maupun di saat bersama para pendukungnya telah menjelma menjadi kafilah harokah dakwah Islamiyah yang agung dan mulia.
Kafilah harokah da`wiyah islamiyyah inipun terjelma dalam bangunan dakwah jihad dan daulah di masa Rosululloh e dan khulafaur Rosyidin yang penuh dengan hidayah dan inayah Allah I, hingga kemenangan (berkuasa di muka bumi sebagai orang yang beriman kepada Allah), gelombang besar manusia yang masuk ke dalam rahmat Islam dan rasa aman yang menyelimuti umat dalam agama, akal, jiwa, harta dan ke hormatan merekapun terbukti dalam fakta kehidupan yang nyata. Bagi mereka – atas hidayah Al Qur`an dan As Sunnah – siapa saja yang menjadi muslim tanpa memiliki peran dan tanggung jawab terhadap Islam itu sendiri, maka berarti dia telah menempat kan dirinya sama seperti sikap beragamanya para pendeta di gereja-gereja dan para biksu di kuil-kuil dan kelenteng-kelenteng mereka yang bersikap rahbaniyyah bid`iyah.
Masa ini menjadi masa penentu kesempurnaan agama dan beragama, penentu berpikir dan beramal tentang agama dan beragama. Masa ini menjadi batu ujian dalam kebenaran beraqidah, beribadah, berakhlak dan beragama secara menyeluruh untuk seluruh umat, dimana semua kebenaran itu harus diukur oleh sejauh mana menepati kebenaran yang dipegang oleh Rosululloh e dan para shohabatnya. Itulah Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama`ah yang terpolakan oleh Al Kitab, As Sunnah dan manhaj salafush sholeh yang diridhoi Allah I serta jalan keselamatan dan kemenangan yang telah ditetapkan oleh-Nya. Manhaj inilah yang dianut, dipegang dengan teguh, diamalkan, didakwahkan dan disebarkan dengan harokah tingkat tinggi, hingga mengorbankan apapun yang termahal dalam kehidupan mereka.
Di antara perintah Rabbani pertama kali yang diturunkan di dalam Al Qur`an adalah : perintah memberi peringatan dan menyampaikan wahyu kepada seluruh makhluk, sebuah harokah yang tak boleh berhenti. Allah Ta`ala berfirman :
يَاأَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ ` قُمْ فَأَنذِرْ `
“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan!”. {QS. 74:1-2}
Kemudian, berlanjut dengan apa yang kita namakan fiqh dakwah, dimana ayat yang turun berisi tentang situasi dakwah, seperti dalam firman Allah Ta`ala :
فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ `
Maka sampaikanlah olehmu segala apa yang diperintahkan (ke-padamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. {QS. 15:94}
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي اَدْعُوا إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللهِ وَ مَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ `
Katakanlah:”Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. {QS. 12:108}
اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ `
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik”. {QS. 16:125}
Semua ayat tersebut menggambarkan sosok seorang da`i muslim yang mengikuti jejak hidup Nabi r, muslim harokiy sunniy.
Di antara pembentukan penting pertama yang diperhatikan beliau adalah kepribadian da`i yang akan mengemban dan menyebarkan tanggung jawab dakwah. Orang pertama yang beliau dakwahkan adalah Abu Bakar Ash Shiddiq t yang merupakan sosok yang tidak pernah berhenti dan lelah berdakwah. Bahkan, beliaulah orang pertama yang bergerak (berharoki) menyebarkan dakwah secara maksimal, hingga 6 orang tokoh pemuda Quraisy masuk Islam, di samping upayanya yang besar dalam membebaskan para budak yang masuk Islam dari belenggu perbudakannya.
Sesungguhnya gerakan para shahabat Nabi r setelah beliau wafat merupakan bukti nyata bahwa kepribadian yang beliau bentuk dan bina adalah kepribadian mutaharrik (per-gerakan) terhadap dien yang tidak pernah diam dan beku.
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata : “Menyampaikan sunnah Nabi r kepada umat lebih utama daripada mengirimkan anak panah ke leher-leher musuh, karena mengirimkan anak panah dapat dilakukan oleh mayoritas manusia, sedangkan menyampaikan sunnah beliau tidak dapat ditunaikan kecuali oleh para pewaris Nabi dan khalifah umat. Semoga Allah menjadikan kita termasuk golongan mereka dengan karamah dan nikmat-Nya”.
Ja`far bin Sulaiman berkata : aku mendengar Malik bin Dinar berkata : “Seandainya aku mampu tidak tidur, niscaya aku tidak akan tidur khawatir siksaan Allah menimpa di saat aku sedang tidur. Dan seandainya aku menemukan para pendukung, niscaya aku aku membagi – bagi mereka ke seluruh dunia untuk menyerukan: Wahai manusia, takutlah api neraka ! Takutlah api neraka !“.
Syuja` bin Walid berkata : “Dahulu, aku keluar bersama Sufyan Ats Tsauri. Di mana waktu pulang pergi lisan beliau tidak pernah lelah untuk amar ma`ruf nahi munkar“.
Taharruk (bergerak) untuk agama serta mengerahkan kemampuan secara maksimal dalam berdakwah ilallah, menegakkan syari`at Allah dan meninggikan kalimat-Nya di muka bumi wajib menjadi unsur asasi di dalam rajutan-rajutan iman setiap muslim. Sehingga di setiap waktunya, diapun menghisab diri bertanya : apa yang telah aku khidmatkan untuk agama Allah ? Gelisah di pembaringannya tanpa henti, tidak asyik dalam dengkuran tidurnya, tidak nikmat dalam kemilau hidupnya. berita-berita kaum muslimin membuatnya senang dan sedih. Dia terus berpikir untuk menjalani sampainya kebenaran kepada setiap makhluk, khawatir lalai tidak sempurna. Dia tidak hanya berpikir untuk tetangganya saja, kawannya saja atau karib kerabatnya saja. Dia berpikir untuk seluruh penduduk belahan bumi manapun, bagaimana memasukkannya ke dalam Islam.
Alangkah banyaknya kelalaian yang kita ciptakan, jika bukan karena takut, mungkin karena lemah. Kita meminta ampun dan bertaubat kepada Allah I atas kelalaian yang kita perbuat. Sudah waktunya untuk kita katakan semaksimal yang kita mampu, sebagai kaffarat (penghapus) kekeliruan masa lalu dan dosa-dosa yang telah terlewat. Tidak lain kecuali mengharap kemaafan Allah I dan rahmat-Nya. Umur berlalu dengan cepat dan kehidupan hampir mencapai finishnya. Ya, memang sudah waktunya mengungkapkan seluruh kondisi kaum muslimin dan membela Islam semaksimal mungkin dengan ungkapan tegas, kalimat jelas dan amal yang lugas. Kita tak perlu takut kepada siapapun kecuali Allah I. Semua terjadi menurut batas yang diizinkan Allah I kepada kita, bahkan Dia mewajibkan kita untuk mengatakannya dengan hidayah kitab -Nya I dan sunnah Rasul-Nya r.
Negeri-negeri yang ada di belahan dunia Islam telah terperosok dalam jurang yang dalam tanpa tepi, jurang kekafiran, kebebasan dan kehancuran. Jika kita tidak berdiri men-jadi nadzir (pengingat kewaspadaan), atau tidak mengawasi mereka dari api jahanam, tentu kitapun ikut terperosok bersama mereka, tertimpa berbagai bencana seperti mereka, serta dosa berlipat yang akan kita terima.
Walaupun begitu jelas masalah harokah yang kita perbincangkan di atas, akan tetapi masih saja ada di antara para da`i atau sebagian penuntut ilmu yang selalu menghubungkan harokah dengan hal-hal yang buruk, alergi terhadap harokah atau bahkan membid`ahkannya. Hal tersebut mungkin disebabkan kebodohan terhadap syumuliyyah Dienul Islam itu sendiri atau mungkin syahwat yang menyelimuti mereka, baik syahwat kemasyhuran dengan cara menuduh, syahwat kepemimpinan dengan cara menjatuhkan pihak lain atau syahwat-syahwat lainnya. Karena sepanjang yang kita baca tidak ada satu kajian ilmiyyahpun yang mereka ajukan untuk memburukkan harokah atau membid`ahkannya selain hanya silat lidah yang tidak berfaedah. (red hasmi)