Sikap saling mengunjungi, baik kerabat maupun teman sejawat merupakan kebiasaan yang tak bisa kita hindari. Keinginan berkunjung atau dikunjungi selalu menjadi harapan. Demikianlah, terkadang kita akan kedatangan tamu, baik yang diundang ataupun tidak. Bahkan pada momen-momen tertentu, kedatangan tamu sangatlah gencar.
Islam mengajarkan bagi siapa saja yang menjadi tuan rumah, agar menghormati tamunya. Penghormatan itu tidak sebatas pada tutur kata yang halus dalam menyambutnya, namun juga dengan perbuatan yang menyenangkan tamu tersebut. Misalnya dengan memberikan jamuan, walaupun hanya sekedarnya.
Sikap memuliakan tamu, bukan hanya mencerminkan kemuliaan hati si tuan rumah kepada tamu-tamunya. Memuliakan tamu juga menjadi salah satu tanda tingkat keimanan seseorang kepada Allah dan Hari Akhir. Dengan jamuan yang disuguhkan, ia berharap pahala serta balasan dari Allah pada hari Kiamat nanti. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya memuliakan tamunya” HR. al-Bukhâri dan Muslim
Imam Ahmad rahimahullah dan sejumlah ulama lainnya, seperti yang dikutip oleh Ibnu Katsîr rahimahullah, berpendapat wajibnya memberikan dhiyaafah (jamuan) kepada orang yang singgah (tamu). Hal ini berdasarkan ayat di atas dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [Lihat Tafsir Ibni Katsîr, 7/420].
Saking besarnya hak seorang tamu, ada tarhîb bagi orang yang tidak mengindahkan tamunya. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لاَ خَيْرَ فِيْمَنْ لَا يُضِيْفُ
“Tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak menjamu tamu”. HR. Ahmad
Menjamu Tamu Merupakan Sunnah Nabi Ibrahim
Memberi jamuan kepada tamu, merupakan kebiasaan yang sudah berkembang sejak lama, sebelum risalah Nabi Muhammad diturunkan. Yang pertama kali melakukan perbuatan yang mulia ini, ialah Nabi Ibrâhiim Khalîlur Rahmân Alaihissalam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
كان أول من ضيف الضيف ابراهيم
“Orang yang pertama kali memberi suguhan kepada tamu adalah Ibrâhîm. [Lihat ash-Shahîhah, 725].
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Sesungguhnya memberikan jamuan kepada tamu (dhiyâfah) termasuk sunnah (tradisi) Nabi Ibrâhîm yang Allah Ta’ala memerintahkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya untuk mengikuti millah (ajaran) beliau. Di sini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan kisah ini (surat adz-Dzâriyât, Pen.) sebagai pujian dan sanjungan bagi beliau”.
Memang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya dititahkan oleh Allah untuk mengikuti ajaran-ajaran Nabi Ibrâhîm Alaihissalam. sebagaimana yang telah difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): ‘Ikutilah agama Ibrâhîm seorang yang hanif,’ dan dia bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb”. An-Nahl [16]: 123.
Bagaimana Nabi Ibraahiim Alaihissalam Saat Menjamu Tamu?
Berikut ini adalah pemaparan singkat yang dilakukan oleh Nabi Ibraahim Alaihissalam saat memuliakan para tamunya. Imam Ibnu Katsiir rahimahullah secara khusus mengatakan: “Ayat-ayat ini mengatur tata-cara perihal menjamu tamu”, dan mari kita perhatikan perihal ini satu-persatu:
1. Menjawab ucapan salam dari tamu dengan jawaban salam yang lebih sempurna.
2. Nabi Ibrâhîm Alaihissalam tidak menanyakan terlebih dahulu: “Apakah kalian mau hidangan dari kami?”
3. Nabi Ibrâhîm Alaihissalam bersegera dalam menyuguhkan makanan kepada tamu.
Dikatakan oleh Syaikh as-Sa’di bahwa sebaik-baik kebajikan ialah yang disegerakan. Karena itu, Nabi Ibrâhîm Alaihissalam cepat-cepat saat menyuguhkan jamuan kepada para tamunya.
4. Menyuguhkan makanan yang terbaik yang beliau miliki, Yakni, daging anak sapi yang gemuk dan dibakar. Pada mulanya daging tersebut tidak diperuntukkan untuk tamu. Akan tetapi, ketika ada tamu yang datang, maka apa yang sudah ada beliau hidangkan kepada para tamunya. Meski demikian, hal ini tidak-lah mengurangi penghormatan Nabi Ibrâhîm alaihissallam kepada setiap tamu-tamunya.
5. Menyediakan stok bahan makanan di dalam rumah, sehingga beliau tidak perlu membeli terlebih dahulu ke pasar atau ke tetangganya.
6. Nabi Ibrâhîm alahissallam mendekatkan jamuan kepada para tamu dengan meletakkan jamuan makanan di hadapan mereka. Tidak menaruhnya di tempat yang berjarak dan terpisah dari tamu, sehingga harus meminta para tamunya untuk mendekati tempat tersebut. Adapun dengan memanggil dengan cara, misalnya “kemarilah, wahai para tamu”, Cara ini adalah untuk lebih meringankan para tamu.
7. Nabi Ibrâhîm melayani setiap tamunya dengan sendiri. Tidak meminta bantuan dari orang lain, apalagi meminta tamu untuk membantunya, karena meminta bantuan kepada tamu termasuk dari perbuatan yang tidak etis.
8. Bertutur kata sopan dan lembut kepada tamu, terutama tatkala menyuguhkan jamuan. Dalam hal ini, Nabi Ibrâhîm menawarkannya secara lembut: “Sudikah kalian menikmati hidangan kami (silahkan kamu makan)?” Beliau Alaihissalam tidak menggunakankalimat yang bernada perintah, seperti: “Ayo, makan”. Oleh karena itu, sebagai tuan rumah, seseorang harus memilih tutur kata yang simpatik lagi lembut, sesuai dengan situasinya.
Intinya, tuan rumah harus-lah memuliakan setiap tamu, yaitu dengan memberikan perlakuan yang baik kepada tamunya. Allah menceritakan perihal mereka di rumah Nabi Ibrâhîm Alaihissalam dengan sifat mukramûn (memperoleh kemuliaan).
Allah Ta’ala berfirman:
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَاهِيمَ الْمُكْرَمِينَ إِذْ دَخَلُوا عَلَيْهِ فَقَالُوا سَلَامًا ۖ قَالَ سَلَامٌ قَوْمٌ مُنْكَرُونَ فَرَاغَ إِلَىٰ أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ
“Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tamu Ibrâhîm (malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: “Salaman,” Ibrâhîm menjawab: “Salamun” (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal. Maka, dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk (yang dibakar), lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrâhîm berkata: “Silahkan kamu makan”. Adz-Dzâriyât [51]: 24-27.
Demikianlah ilmu yang diajarkan oleh Nabiyyullah Ibrâhîm Alaihissalam kepada umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Alaihissalam pantas menjadi teladan bagi umat manusia. Allah memuji beliau Alaihissalam dalam firman-Nya:
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ شَاكِرًا لِأَنْعُمِهِ ۚ اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ وَآتَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً ۖ وَإِنَّهُ فِي الْآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ
“Sesungguhnya Ibrâhîm adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Rabb), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar ternasuk orang-orang yang shalih”. An-Nahl [16]: 120-122
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memerintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengikuti ajaran-ajaran Nabi Ibrâhîm Alaihissalam :
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrâhîm seorang yang hanif,” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb”. An-Nahl [16]: 123
Tidak Memaksakan Diri Dalam Memberi Jamuan Kepada Tamu
Dalam Menjadi tuan rumah, memang seharusnya memberikan pelayanan istimewa kepada tamunya. Akan Tetapi, jamuan yang disuguhkan kepada tamu, tidak-lah sepantasnya dilakukan di luar batas kemampuannya. Sehingga sebagai tuan rumah tidak merasa berat atau memaksakan diri. Sehingga mengusahakan ragam hidangan yang mungkin saja pada anggota keluarganya belum pernah menikmatinya. Atau menikmatinya hanya pada saat momen-momen tertentu saja dan tidak sering.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seseorang melakukan perbuatan yang dapat merepotkan diri sendiri. Melalui pemberitaan dari salah seorang sahabat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang takalluf dalam masalah ini. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَيَتَكّلَّفَنَّ أَحَدٌ لِضَيْفِهِ مَا لاَ يَقْدِرُ عَلَيْهِ
“Janganlah seseorang memaksakan diri (untuk melayani) tamunya dengan sesuatu yang tidak ia sanggupi”. HR. Abu Nu’aim, al Khathiib dan ad-Dailami. Lihat juga ash-Shahîhah, no. 2440
Pengertian takalluf sederhananya ialah mengandung unsur pemaksaan diri dan pengusahaan di luar batas kemampuan dirinya.
Imam al-Hâkim meriwayatkan dari A’masy dari Syaqîq, ia berkata: Saya dan temanku mendatangi Salmân Radhiyallahu ‘anhu. Kemudian ia menyuguhkan roti dan garam kepada kami seraya berkata :
لَولاَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَانَا عَنِ التَّكَلُّفِ لََتَكّلْتُ لَكُمْ
“Seandainya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang kami untuk berbuat takalluf, niscaya saya akan mengusahakannya”.
Dikatakan oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah, bahwasanya hadits-hadits di atas dikuatkan oleh makna umum hadits di bawah ini:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ كُنَّا عِنْدَ عُمَرَ فَقَالَ نُهِينَا عَنْ التَّكَلُّفِ
Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Kami pernah bersama Umar Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Kami dilarang dari perbuatan yang memaksakan diri”. HR. al-Bukhâri
Awas Kedustaan Dalam Penyambutan!
Dalam point ini, perlu kiranya disampaikan sebuah tanbîh (catatan) bagi para tuan rumah yang sedang menjamu tamu yang dimilikinya. Terutama kaum ibu, Karena terkadang muncul gejala kedustaan saat menjamu tamu.
Misalnya, manakala tamu menyaksikan berbagai menu dan makanan tersaji di atas meja, kemudian sang tamu berkomentar misalnya “wah repot amat nih,” maka tuan rumah meresponnya dengan berkata: “wah tak repot,” padahal, tuan rumah benar-benar mengalami kerepotan dalam mempersiapkan sajian tersebut, bahkan sampai harus pergi ke pasar membeli bahan-bahan makanan terlebih dahulu, dan kalang-kabut dalam mempersiapkannya, serta hal-hal lainnya.
Atau ketika menyaksikan tamu yang bergegas mohon pamit padahal belum lama duduk, tuan rumah (ada yang) berkata: “Wah, belum dibuatkan minuman, tapi kok sudah mau pulang?” Perkataan atau ungkapan sejenis ini, jika hanya sebatas buah bibir saja, maka perkataan tersebut sudah termasuk dalam kategori berbuat dusta.
Memang betul, tidak semua tuan rumah melakukan sebagaimana perbuatan ini. Namun, lantaran berkembangnya gejala basa-basi di sebagian daerah, sehingga permasalahan seperti ini perlu untuk kita perhatikan. Wallahu a’lam. (Red-HASMI/almanhaj)