عَنْ أَبِى سَعْدِ الْخُدْرِي قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ: مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مَنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لمَ ْيَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لمَ ْيَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ (رَوَاهُ مُسْلِمُ)
Dari Abu Sa’id Al-Khudry berkata, saya mendengar Rosululloh bersabda, “Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah.”
(HR. Muslim)
M |
araknya kemungkaran yang terjadi di bumi ini sudah masuk ke dalam taraf yang mengkhawatirkan. Betapa tidak, kemaksiatan, kebid’ahan bahkan kesyirikan sudah sangat nyata terlihat disebagian besar kota di negara ini. Bahkan para pelakunya sudah tidak malu-malu lagi ketika melakukannya, lebih parah, hal tersebut dijadikan satu hal yang tidak boleh terlewatkan dalam kehidupan sosialnya hingga dijadikan seolah-olah budaya negeri. Sungguh keterpurukan yang sangat nyata.
Oleh karena itu, Rosululloh mengingatkan dalam hadits di atas untuk senantiasa mencoba merubah sedikit demi sedikit kemungkaran yang terjadi dengan cara berdakwah, baik itu melalui tangan, lisan maupun hati.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya maksud dari hadits ini adalah: Tidak tinggal sesudah batas pengingkaran ini (dengan hati) sesuatu yang dikategorikan sebagai iman sampai seseorang mukmin itu melakukannya, akan tetapi mengingkari dengan hati merupakan batas terakhir dari keimanan, bukanlah maksudnya, bahwa barang siapa yang tidak mengingkari hal itu dia tidak memiliki keimanan sama sekali, oleh karena itu Rosululloh bersabda, “Tidaklah ada sesudah itu”, maka beliau menjadikan orang-orang yang beriman tiga tingkatan, masing-masing di antara mereka telah melakukan keimanan yang wajib atasnya, akan tetapi yang pertama (mengingkari dengan tangan) tatkala ia yang lebih mampu di antara mereka maka yang wajib atasnya lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang kedua (mengingkari dengan lisan), dan apa yang wajib atas yang kedua lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang terakhir, maka dengan demikian diketahui bahwa manusia bertingkat-tingkat dalam keimanan yang wajib atas mereka sesuai dengan kemampuannya beserta sampainya khithob (perintah) kepada mereka.” (Majmu’ Fatawa, 7/427)
Oleh karena itu, jika disimpulkan ternyata tingkatan dakwah itu ada tiga macam, (1) merubah dengan tangan, (2) merubah dengan lisan, (3) mengingkari dengan hati.
Tingkatan pertama dan kedua wajib bagi setiap orang yang mampu melakukannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits di atas, dalam hal ini seseorang apabila melihat suatu kemungkaran maka ia wajib mengubahnya dengan tangan jika ia mampu melakukannya, seperti seorang penguasa terhadap bawahannya, kepala keluarga terhadap istri, anak dan keluarganya, dan mengingkari dengan tangan bukan berarti dengan senjata.
Imam Al Marrudzy bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal , “Bagaimana beramar ma’ruf dan nahi mungkar?” Beliau menjawab, “Dengan tangan, lisan dan dengan hati, ini paling ringan,” saya bertanya lagi: “Bagaimana dengan tangan?” Beliau menjawab, “Memisahkan di antara mereka,” dan saya melihat beliau melewati anak-anak kecil yang sedang berkelahi, lalu beliau memisahkan di antara mereka.
Adapun dengan lisan seperti memberikan nasihat yang merupakan hak di antara sesama muslim dan sebagai realisasi dari amar ma’ruf dan nahi mungkar itu sendiri, dengan menggunakan tulisan yang mengajak kepada kebenaran dan membantah syubhat (kerancuan) dan segala bentuk kebatilan.
Adapun tingkatan terakhir (mengingkari dengan hati) artinya adalah membenci kemungkaran- kemungkaran tersebut, ini adalah kewajiban yang tidak gugur atas setiap individu dalam setiap situasi dan kondisi, oleh karena itu barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia akan binasa.
Demikianlah Rosululloh mengajarkan kita untuk senantiasa beramar ma’ruf nahi munkar, suatu amalan yang sangat agung nilainya. Dan Rosululloh sudah mempraktekkannya sejak dulu, diikuti oleh para sahabatnya, para tabi’in dan juga tabi’ut tabi’in. Mereka semua orang-orang mulia yang telah dimuliakan oleh Alloh dan Rosul-Nya. Tinggal kita, apakah kita ingin mendapatkan kemuliaan seperti mereka?
Jawabannya cuma satu, jika “iya”, maka tidak ada sarana lain yang paling agung dan mulia kecuali mengikuti jejak mereka dalam berjuang untuk menegakkan kalimatulloh di muka bumi ini. Siapkah???
Wallahu’alam