Assalamu’alykum wa rahmatulloh wa barakaatuh…
Bismillah…
Sahabat Gerimis.. kaifa haalukum???, semoga selalu dalam rahmat dan bimbingan-Nya.. amin.
Pada kesempatan kali ini, kami akan berbagi fenomena yang sering terjadi di lingkungan asrama, kos-kosan, atau bahkan ponpes sekalipun. Yuk disimak..!! ^_^
Indri dan Ayu adalah sepasang sahabat di sebuah asrama putri. Suatu hari, Indri yang sedang berdiam diri di asrama menitip jajan kepada Ayu yang belum pulang ke asrama. Indri kirim sms kepada Ayu yang isinya daftar jajanan titipannya, Indri berjanji akan mengganti uang Ayu setelah sampai di asrama. Beberapa saat kemudian, Ayu sampai di asrama.
Indri: “Asiik, titipanku datang… thank’s ya bu?!, nanti uangnya saya ganti..! (sambil senyum)”
Ayu : “duh segitu senengnya, laper ya bu?, hehe.. oke, sip deh!.”
Setelah menyampaikan pesanan sahabatnya, Ayu segera melanjutkan aktivitasnya yang lain, dan tak lupa pula, ia mencatat semua pengeluaran harian uang sakunya. Itulah kebiasaan Ayu, yang sepertinya patut kita contoh.
Dua hari berselang, Indri titip sesuatu lagi kepada Ayu, mau tau apa?, hehe.. makan siang, dan seperti dua hari yang lalu, si A janji akan mengganti uang si B setelah si B sampai di asrama. Si B pun segera membelikannya tanpa harus berpikir berulang kali apalagi berprasangka buruk kepada sahabatnya itu. Sesampainya di asrama, si B segera menyampaikan titipan si A yang sudah menunggunya di ruang tamu asrama di lantai satu.
Si A: “waah.. akhirnya dateng juga makan siangku, aku makan dulu ya, nanti uangnya tak ganti di kamar (sambil menunjukkan jari telunjuknya ke atas), dah laper niii bu..!.”
Si B: “hehehe… laper amat nih bu kayaknya, emang tadi pagi gak sarapan kah?!. Siiip, sok deh dimakan dulu. Aku ke atas dulu ya?!.”
Seperti biasa, si B segera melanjutkan aktivitasnya yang lain, dan tak lupa, sudah menjadi rutinitas.. malam harinya dia pun mencatat segala pengeluaran hariannya, termasuk titipan sahabatnya itu untuk yang kedua kalinya (tentunya dengan tambahan note: ‘piutang si A’). Jam pun berputar, berganti menjadi hari-hari. Si A nampaknya lalai dengan hutangnya kepada si B, namun si B menghadapi sikap sahabatnya itu dengan prasangka baiknya, katanya dalam hati, “ahh.. mungkin dia khilaf atau mungkin juga, belum ambil uang lagi dari ATMnya”. Hemmhh.. sikap si A patut untuk tidak kita contoh ya sahabat?!, karena Rasululloh shallallohu ;’alaihi wa sallam bersabda, dari Abi Hurairah radhiallohu ‘anhu, ”Barangsiapa mengambil (berutang) orang sedang dia berniat untuk melunasinya, niscaya Allah akan (membantu) melunasi bagi pihaknya. Dan barangsiapa mengambilnya (mengutangnya) dengan niat merusaknya (mengingkarinya), niscaya Allah akan membinasakannya.” (HR. Al-Bukhari) (yang ini boleh dapet dari internet, gak tau lafazh arabnya, bantuin cari di maktabah syamilah ya??? Hehe ^^)
Hari pun berganti menjadi pekan, dan.. genap sudah dua pekan berlalu. Saatnya tanggal tua, hhi.. buat anak perantauan, tanggal tua itu.. tanggal yang mendebarkan. si B mengecek ulang catatan keuangan hariannya dan saldo uang sakunya yang masih tersisa. Awal bulan masih satu minggu lagi ternyata. Pikirnya.. masih cukup untuk 3 hari ke depan, sebelum akhir bulan dan sambil menunggu kiriman dari rumah. Tapi.. 4 hari lainnya bagaimana? (tanyanya dalam hati). Atas izinNya, pandangan Si B tertuju pada sebuah note dengan tinta merah dalam catatan keuangannya, di situ tercatat piutangnya pada teman karibnya, si A. Dalam hati dia berkata, “Alhamdulillah, aku kan masih ada piutang dengan si A. Jumlahnya lumayan cukup untuk memenuhi kebutuhanku pada sisa 4 hari berikutnya. Besok pagi ku coba mengingatkan si A ahh.” Pada sisi ingatannya yang lain.. dia pun teringat akan sabda Rasululloh shallallohu ‘alaihi wa sallam, yang bunyinya: Dari Abu Hurairah radhiallohu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda untuk orang yang memiliki hak pada orang lain,
خُذْ حَقَّكَ فِى عَفَافٍ وَافٍ أَوْ غَيْرِ وَافٍ
“Ambillah hakmu dengan cara yang baik pada orang yang mau menunaikannya ataupun enggan menunaikannya.” (HR. Ibnu Majah no. 1966. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih).
Ke esokan harinya setelah sarapan bersama si A, si B pun mencoba berbicara mengenai piutangnya. Akan tetapi, sambil tak hentinya mengulangi kata maaf atas kelalaiannya terhadap hutangnya kepada si B, si A mengaku pada si B kalau sisa uang sakunya juga hanya mencukupi untuk 3 hari ke depan sebelum awal bulan, dan dia pun terpaksa meminjam dengan teman asrama mereka yang lain, sebut saja si C, untuk mencukupi kebutuhannya pada sisa 4 hari berikutnya. Si A pun berkata bahwa dia baru bisa mengganti uang sahabatnya itu di awal bulan, sambil menawarkan solusi kepada si B untuk meminjam sejumlah uang juga kepada si C. Subhanalloh… Allohu Al Musta’an… entah si A berkata jujur atau tidak, tapi yang pasti… si B pun menyikapinya tetap dengan ketenangan dan senyum manisnya. Si B pun dengan tegas namun tetap berbahasa santun, menolak tawaran solusi dari si A. Meskipun dapat dipastikan juga ada rasa kecewa dalam hati si B, namun.. si B segera menepisnya dan kembali meyadarkan dirinya pribadi, bahwa semuanya telah terjadi atas kehendakNya. Dia masih bisa mengantisipasinya dengan saum sunnah dan sedikit berhemat dengan kebutuhan hariannya tanpa harus mengeluarkan uang tabungannya.
Sahabat Gerimis, bagaimana jika kisah yang dialami si B ini terjadi pada kita..?, haruskah sikap kita berbeda dengan sikap si B yang tetap tenang dan tersenyum..??. mmm… bagaimanakah solusi yang ditawarkan oleh agama Islam?. Mari kita simak sejenak kisah seorang Abu Qotadah.
Dulu Abu Qotadah pernah memiliki piutang pada seseorang. Kemudian beliau mendatangi orang tersebut untuk menyelesaikan utang tersebut. Namun ternyata orang tersebut bersembunyi tidak mau menemuinya. Lalu suatu hari, kembali Abu Qotadah mendatanginya, kemudian yang keluar dari rumahnya adalah anak kecil. Abu Qotadah pun menanyakan pada anak tadi mengenai orang yang berutang tadi. Lalu anak tadi menjawab, “Iya, dia ada di rumah sedang makan khoziroh.” Lantas Abu Qotadah pun memanggilnya, “Wahai fulan, keluarlah. Aku dikabari bahwa engkau berada di situ.” Orang tersebut kemudian menemui Abu Qotadah. Abu Qotadah pun berkata padanya, “Mengapa engkau harus bersembunyi dariku?”
Orang tersebut mengatakan, “Sungguh, aku adalah orang yang berada dalam kesulitan dan aku tidak memiliki apa-apa.” Lantas Abu Qotadah pun bertanya, “Apakah betul engkau adalah orang yang kesulitan?” Orang tersebut berkata, “Iya betul.” Lantas dia menangis.
Abu Qotadah pun mengatakan bahwa beliau pernah mendengar Rasululloh shallallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ نَفَّسَ عَنْ غَرِيمِهِ أَوْ مَحَا عَنْهُ كَانَ فِي ظِلِّ الْعَرْشِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa memberi keringanan pada orang yang berutang padanya atau bahkan membebaskan utangnya, maka dia akan mendapatkan naungan ‘Arsy di hari kiamat.”
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shohih. (Lihat Musnad Shohabah fil Kutubit Tis’ah dan Tafsir Al Qur’an Al Azhim pada tafsir surat Al Baqarah ayat 280)
Inilah keutamaan yang sangat besar bagi orang yang berhati mulia seperti Abu Qotadah. Demikian pula dengan si B. Semoga dia dan kita semua termasuk ke dalam hambaNya yg memperoleh naunganNya.
Disebutkan pula bahwa orang yang berbaik hati untuk memberi tenggang waktu bagi orang yang kesulitan, maka setiap harinya dia dinilai telah bersedekah. Seperti sabda Rasululloh shallallohu ‘alaihi wa sallam, dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya,
“من أنظر معسرًا فله بكل يوم صدقة قبل أن يحل الدين فإذا حل الدين فأنظره كان له بكل يوم مثلاه صدقة.”
“Barangsiapa memberi tenggang waktu pada orang yang berada dalam kesulitan, maka setiap hari sebelum batas waktu pelunasan, dia akan dinilai telah bersedekah. Jika utangnya belum bisa dilunasi lagi, lalu dia masih memberikan tenggang waktu setelah jatuh tempo, maka setiap harinya dia akan dinilai telah bersedekah dua kali lipat nilai piutangnya.” (HR. Ahmad, Abu Ya’la, Ibnu Majah, Ath Thobroniy, Al Hakim, Al Baihaqi. Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 86 mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Jadi nih sahabat Gerimis yang dirahmati Alloh, sikap yang dilakukan oleh sahabat kita, si B, tadi adalah sikap yang benar dan sesuai dengan ajaran agama Islam. Sikap si B yang dimulai dari mencatat piutangnya kepada si A, sampai sikap tenang dan sabarnya ketika menagih haknya kepada si A. Karena beberapa adab yang harus dilakukan dalam hal utang piutang, salah satu diantaranya adalah mencatat perihal utang piutang tersebut, minimal waktu dan jumlahnya, dan jika memungkinkan, hendaklah menghadirkan minimal dua orang saksi. Adapun mengenai sikap si A yang lalai terhadap hutangnya, sangatlah tidak patut untuk dicontoh ya sahabat? ^_^.
Dari contoh kisah dua sahabat tadi, bila kita perhatikan, nampaknya si A adalah seseorang yang memiliki kebiasaan menjadikan hutang sebagai bagian dari hidupnya ketika datang tangal tua dan persediaan uang sakunya menipis. Meskipun pada dasarnya, utang piutang bukanlah hal yang diharamkan dalam Islam. Namun, bukan berarti kita sebagai ummat Rasululloh shallallohu ‘alaihi wa sallam diperkenankan untuk membudayakan hutang dalam konsep kehidupan kita. Rasulullah sendiri, seringkali berlindung dalam do’anya agar supaya dihindarkan dari keterlilitan hutang. Ini menunjukkan bahwa beliau sejatinya tidak berkenan terlilit hutang. Simaklah hadits dari Abdulloh bin ‘Amr berikut ini:
“عن عبد الله ابن عمر و قال: كان رسول الله صلى الله عليه و سام يقول: اللهم غني أعوذ بك من غلبة الدين و غلبة العدو و شماتة الأعداء.”
“Dari Abdulloh bin ‘Amr ia berkata: Rasululloh shallallohu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a: “Ya Alloh, aku berlindung kepadaMu dari lilitan hutang, dari kesewenang-wenangan musuh, dan dari kegembiraan mereka di atas penderitaan kami”.” ( HR. An-Nasa’i dan dishahihkan oleh Al-Hakim. An-Nasa’i (8/265) dan Al-Hakim (1/104) )
Dengan demikian sahabat, adanya suri tauladan dari Rasululloh shallallohu ‘alaihi wa sallam tadi, sepertinya telah jelas bagi kita untuk berusaha menghindarkan diri dari perihal hutang dan senantiasa berdo’a kepadaNya agar dijauhkan dari keterlilitan hutang. Jangan sampai hanya karena hawa nafsu untuk memenuhi segala keinginan kita setiap harinya, kita rela berhutang ke sana kemari. Ingat sahabat.. satu kiat yang seyogyanya menjadi prinsip hidup kita adalah segala sesuatunya haruslah atas dasar ‘butuh’ bukan hanya sebatas ‘ingin’. Jika dengan jajan tubuh kita bisa tercukupi kebutuhannya, bukan hanya sekedar keinginan kita, maka jajanlah. Tapi… jika yang berbicara adalah hawa nafsu, maka berlindunglah padaNya dan janganlah kita turuti hawa nafsu kita tadi. Sekiranya kita memang terpaksa harus berhutang untuk suatu kepentingan yang mendesak, maka berazzam lah untuk dapat melunasinya dengan diiringi do’a kepadaNya, semoga Dia memudahkan kita untuk segera terbebas dari hutang tersebut. Wallohu ta’ala a’lam.
Was-salaamu’alaikum wa rahmatullohi wa barakaatuh