“keharusan kita berlaku adil kepada orang lain, adalah investasi yang kebaikannya akan kembali kepada diri kita sendiri”
S |
eperti biasa, Abdullah bin Rawahah menunaikan tugasnya. Sahabat Rosululloh yang agung itu, setiap tahunnya pergi ke kampung orang-orang Yahudi Bani Quraidah untuk menghitung taksiran panen kurma. Sesuai perjanjian, panen itu dibagi dua. Satu bagian untuk kaum muslimin di Madinah, dan setengahnya lagi untuk orang-orang Yahudi itu.
Abullah bin Rawahah terkenal kejaliannya dalam merinci taksiran hasil panen. Dari sana ia bisa membagi dengan sama kurma-kurma itu. Keadilan Abdullah bin Rawahah justru tidak disukai oleh orang-orang Yahudi. Maka, seuatu hari, mereka berusaha menyuap Abdullah bin Rawahah, agar bisa mendapatkan bagian kurma yang lebih anyak. Mengetahui hal itu, Abdullah bin Rawahah berang. Kepada orang-orang yahudi itu ia berkata, “Wahai musuh-musuh Alloh, kalian hendak menyodorkan makanan yang haram padaku? Padahal demi Alloh aku datang dari sisi orang yang paling kucintai (Rosululloh ) dan kalian adalah orang yang paling aku benci, lebih besar dari kebencianku terhadap kera dan babi. Tapi kebencianku kepada kalian dan kecintaanku kepada Rosululloh tidak mempengaruhiku untuk tidak berbuat adil terhadap kalian.”
Orang-orang Yahudi itu terdiam. Bahkan mereka kemudian memuji sikap Abdulloh seraya berkata, “karena perbuatan seperti inilah, maka langit dan bumi menjadi tegak.”
Ya, keadilan memang tiang pancang kehidupan. Kisah di atas tidak sekedar menggambarkan tabiat yahudi yang kotor. Tetapi juga gambaran yang sangat sempurna bagaimana sebuah keadilan diperankan. Tanpa keadilan seluruh sendi-sendi kebersamaan akan runtuh. Sebab, di dalam kebersamaan itu, setiap kita menjadi penanggung jawab orang lain, sekecil apapun bentuk tanggung jawab itu. Ada yang menjadi ketua, kepala, direktur, atasan atau apa saja bagi orang lain. Semuanya harus berlaku adil.
Di rumah, seorang ayah harus adil kepada keluarganya. Seorang kepala perusaan harus bersikap adil kepada seluruh karyawannya. Seorang ketua RT, harus adil dalam memperlakukan warganya. seorang pemimpin harus berbuat adil kepada orang yang dipimpinnya. Apalagi seorang penguasa, harus adil kepada rakyat yang mengangkatnya.
Hidup ini ibarat roda, yang tidak akan lancar berputar tanpa pelumas keadilan. Berputarnya hidup adalah berputarnya tanggung jawab dan penuaian hak antara satu orang dengan yang lain. Semuanya bertalian, seperti anak-anak tangga yang sangat tinggi. Yang di atas bertanggung jawab terhadap siapa yang di bawahnya, begitu seterusnya. Bila anak tangga di atas patah, yang menjadi korban adalah anak tangga yang di bawahnya. Karena setiap kita, seperti kata Rosululloh, adalah pemimpin. Tanpa keadilan, terlalu mengerikan akibat yang ditimbulkan dari perputaran hidup ini. Tak akan ada tanggung jawab. Tak akan ada penunaian hak.
Dalam pengertian yang lebih korelatif, keharusan kita berlaku adil kepada orang lain, adalah investasi yang kebaikannya akan kembali kepada diri kita sendiri. Karena berlaku adil akan membuat kita dekat kepada ketakwaan. Sedang takwa itu sendiri merupakan inti dari sumber ketenangan. Alloh berfirman, “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Maidah: 8). Maka, adil kepada siapa saja atau apa saja, sama artinya dengan adil kepada diri sendiri.
Adil lebih dekat dengan takwa, artinya, siapa yang berlaku adil akan lebih takut kepada Alloh . Itu membuatnya selalu mengingat-Nya. Dan, hanya dengan mengingat Alloh, justru hati kemudian menjadi tentram. Maka, adil adalah ketenangan dalam ketangguhan, ketika seseorang harus berbuat apa saja, tanpa manipulasi, tanpa interest yang buruk, dan tanpa kepentingan hawa nafsu. Karena ia sadar sepenuh hati, bahwa Tuhannya menyuruh untuk berlaku adil. Adil adalah kebahagiaan terdalam bagi orang-orang yang tidak pernah sempat melirik apa yang bukan menjadi haknya. Adil adalah ketulusan tanpa penghinaan diri.
Hanya keadilan satu-satunya jembatan yang dijamin bisa mengantarkan dari orang-orang yang tidak berhak. Ini makna lain dari rasa aman kolektif yang lebih luas dan berlapis-lapis, sebagai buah dari perilaku adil. Puncaknya, adalah rasa aman yang diterima orang karena ia tahu bahwa hak-haknya tidak akan diambil orang lain. Ia juga tahu, bahwa dirinya tidak akan dibebani dengan apa yang memang bukan keharusannya. Artinya ia merasa punya andil bagi keberadaan orang lain. Bahwa orang dapat menghargai peran dirinya, sekecil apapun. Seperti seorang pengangkut sampah yang cukup terhibur dari rasa lelah, ketika para warga menghargai keberadaannya, walau hanya dengan ucapan terimakasih dan senyum tipis.
Kareananya, berlaku adil adalah tuntutan seluruh sisi kehidupan. Pada setiap kita ada hak-hak orang lain. Selalu saja ada sebagian dari nasib orang lain yang dititipkan Alloh kepada kita. Setiap kita harus berlaku adil. Setidaknya mendekat-dekat kepada keadilan. Agar hidup bisa berjalan dalam irama yang semestinya. Memang berat berlaku adil. Terlebih di sebuah negeri yang berhamburan orang-orang culas. Tetapi bagaiamanapun, kita harus memulainya. □
Ahmad Zairofi AM,
Lelaki Pendek Hitam lebih jelek dari untanya