Imam asy-Syafi’i hidup di tengah-tengah masyarakat yang sedang mengalami keterpurukan diakibatkan oleh munculnya bermacam-macam aliran keagamaan yang mayoritas dari mereka ingin memusnahkan cahaya Sunnah dari muka bumi. Di antara mereka ada yang hanya menerima as-Sunnah yang mutawatir saja dan menolak dengan tegas as-Sunnah yang bersifat ahad; bahkan adapula di antara mereka yang mengingkari secara total atas keberadaan dan kehujjahan as-Sunnah di samping al-Qur’an.
Pergulatan dan keseriusan Imam Asy-Syafi’i dalam mengkaji dan mendalami ilmu hadits serta memperjuangkan kehujjahan as-Sunnah di hadapan para penentangnya menjadikan beliau mendapatkan julukan dari para ulama yang ada pada masa itu sebagai Nashirus Sunnah (pembela as-Sunnah). Penghargaan yang telah disematkan untuk beliau ini tentu merupakan penghargaan yang sangat tinggi bagi seorang sosok mujtahid seperti beliau.
Penghargaan yang telah disematkan untuk beliau ini, tentu tidak berlebihan; karena perjuangan beliau dalam memegang, membela dan menegakkan Sunnah sangat nampak dalam sikap, ucapan dan karya-karya tulis beliau sangat jelas menggambarkan perjuangan beliau dalam membela Sunnah Rosululloh .
Sebagai seorang mujtahid yang mengikuti manhaj Ashabul Hadits, beliau selalu menjadikan al-Quran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukum dalam menetapkan suatu masalah terutama dalam masalah aqidah. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam membungkam dan mematahkan hujjah penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam yang lebih mengedepankan akal mereka daripada nash atau dalil yang ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Hal ini dapat dicermati dari pernyataan-pernyataan beliau sendiri yang selalu siap rujuk dari pernyataan beliau. Jika memang apa yang telah beliau ucapkan keliru atau menyelisihi hadits yang shohih dari Rosululloh .
Beliau berkata: “Jika kalian mendapatkan hal-hal yang bertentangan dengan Sunnah atau hadits Rosululloh di dalam kitabku, maka berpeganglah kalian dengan Sunnah Rosululloh dan tinggalkan apa yang telah aku ucapkan (pendapatku) tersebut.”
Bahkan beliau sendiri dengan tegas menyatakan adanya ijma’ tentang kewajiban memegang teguh Sunnah sebagai landasan hidup seorang Muslim.
“Kaum Muslimin telah sepakat (secara ijma’) bahwa barangsiapa yang sudah jelas baginya suatu Sunnah (hadits) dari Rosululloh , maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya lantaran ucapan seseorang.”
Beberapa nukilan dari ucapan Imam asy-Syafi’i di atas tentang pentingnya berpegang teguh dengan as-Sunnah, kiranya dapat membuat kita bersikap seperti beliau dalam menerima hadits yang sudah jelas keshohihannya dan meninggalkan taqlid buta yang amat tercela.