Mekah bergejolak. Dada-dada para pem-besar Quraisy sesak. Betapa tidak?! Da’wah Rosululloh sama sekali tidak bergo-yah, meski seujung kuku. Justru semakin kukuh, kokoh, mengakar dan terus tumbuh. Segala ma-cam bentuk kekerasan telah dicoba diterapkan namun hasilnya buntu. Haluan harus dirubah, perlu ada tawaran yang wah, yaitu iming-iming gemerlap dunia yang mewah. Lalu meluncurlah kalimat itu melalui lisan kafir Quraisy:
“Jika dengan da’wahmu ini semua, engkau menginginkan kekayaan, kami akan mengumpul-kan seluruh kekayaan kami hingga engkau men-jadi orang yang paling kaya di antara kami. Jika dengan da’wahmu ini semua, engkau mengingin-kan kehormatan, maka kami akan menjadikan engkau sebagai pemimpin kami. Jika engkau menginginkan menjadi raja (presiden), kami mengangkatmu sebagai raja (presiden) kami. Jika apa yang engkau alami adalah karena faktor jin yang tidak mampu engkau usir, kami akan me-ngeluarkan seluruh kekayaan kami sebagai biaya untuk mencari dokter hingga engkau sembuh darinya.” (Sirah Nabawiyah, Ibnu Hisyam)
Kalimat lugas muncul dari lisan Rosul :
“Demi Alloh, sekali-kali aku tidak akan mening-galkan da’wahku, seandainya matahari diletakan di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku, aku bersumpah tidak akan meninggalkan da’wahku…!” (Sirah Nabawiyah, Ibnu Hisyam)
Jawaban yang Rosululloh sampaikan ke-pada sang paman begitu jelas terang benderang akan arti da’wah bagi kehidupan. Da’wah adalah jalan. Benar-benar tak tergantikan. Da’wah tidak bisa ditukar dengan kekayaan, kehormatan, ja-batan apalagi sekedar logika-logika politik narsis tentang kemaslahatan.
Di waktu yang lain, setelah merasakan ber-bagai siksaan dan penderitaan yang dilancarkan kaum Quraisy, Rosululloh berangkat ke Thaif berharap agar mereka dapat menerima ajaran yang dibawanya dari Alloh. Tak dinyana, bangsa Arab yang terkenal memuliakan tamu, tiba-tiba beringas terhadap pelaku da’wah. Para pembesar Thaif tidak sekedar menolak, bahkan mengejek dan menghina. Rakyat jelatanya tak jauh beda, mengusir Rosululloh , lalu anak-anak dan para budak Thaif melempari Rosul dengan batu, hingga berdarah-darah.
Rosul kemudian meninggalkan Thaif dan mencari tempat yang aman. Di lokasi itu, Rosul berdoa. “Ya Alloh, Aku mengadukan kepadamu lemahnya kekuatanku, dan sedikitnya daya upayaku pada pandangan manusia. Wahai yang Maha Pengasih, Engkaulah Tuhan orang-orang yang merasa lemah, dan Engkaulah Tuhan-ku. Kepada siapakah Engkau serahkan diriku, kepada musuh yang akan menguasaiku atau ke-pada keluargaku yang Engkau berikan segala uru-sanku. Tiada suatu keberatan asal tetap dalam ridla-Mu. Afiatmu lebih berharga bagiku. Aku berlindung kepada-Mu dengan nur wajah-Mu, yang menyinari segala kegelapan, dan yang mem-perbaiki urusan dunia dan akhirat, dari turunnya murka-Mu atasku atau turunnya azab-Mu atasku. Kepada Engkaulah kuadukan, hingga Engkau ridho. Tiada daya dan upaya melainkan dengan-Mu.”
Demikian sedihnya doa Nabi yang di-panjatkan kepada Alloh. Kemudian Alloh meng-utus Jibril untuk menyampaikan bahwa Alloh menerima doanya. “Wahai Muhammad! Sesung-guhnya Alloh telah mendengar apa yang dika-takan bani Tsaqif serta jawaban mereka atas ajakanmu. Bersamaku ini adalah malaikat pen-jaga bukit yang diutus Alloh untukmu. Maka perintahkanlah apa saja yang engkau kehendaki. Seandainya engkau ingin dia menghimpitkan bukit Abu Qubais dan bukit Ahmar kepada me-reka, niscaya dia akan melakukannya!”.
Malaikat itu pun datang dan memberi salam kepada Rosululloh seraya berkata, “Apapun yang engkau perintahkan, akan kulaksanakan, kalau engkau mau, saya akan benturkan kedua gunung di samping kota ini, sehingga siapapun yang tinggal di antara keduanya akan mati ter-himpit. Jika tidak, apa pun hukuman yang engkau perintahkan, saya siap melaksanakannya segera!.”
Lelah yang luar biasa dan sakit dari luka aki-bat lemparan batu masih beliau rasakan. Namun Rosul menolak tawaran Malaikat penjaga bukit. Dengan sifat kasihnya beliau berkata, “Walau-pun mereka menolak ajaran Islam, saya berharap dengan kehendak Alloh, mudah-mudahan ketu-runan mereka pada suatu saat nanti akan me-nyembah Alloh dan beribadah hanya kepada-Nya”. Di riwayat yang lain beliau malah mendo’a-kan, “Allohummahdii qaumii fainnahum laa ya’lamuun” (Ya Alloh berilah hidayah kepada kaumku ini, karena mereka masih juga belum faham tentang arti Islam).
Rosululloh telah membuat blueprint untuk kita semua dalam menghadapi perlakuan orang-orang yang zhalim. Bukan dengan logika bom untuk meledakkan sebagian umat ini. Ro-sululloh saja yang ditawari lebih dari sekedar bom untuk membinasakan musuh da’wah yang telah menoreh luka hingga berdarah-darah. Namun beliau menolak, dan tetap berharap da’wah bisa tetap masuk meski menunggu gene-rasi berikutnya.
Pandangan beliau senantiasa tertuju pada masa depan da’wah. Yang menjadi standar beliau adalah kemanfaatan untuk dien ini. Melihat man-faatnya untuk da’wah ke depan dan didasarkan atas rasa kasih sayang yang sangat besar kepada umat, beliau berharap dari kota Thaif akan lahir suatu generasi rabbani, generasi yang akan mem-bela dien-Nya.
Tegas sekali Rosululloh dalam memper-tahankan kaedah jalan da’wah ini. Maka apa yang dilakukan oleh Rosululloh ini kemudian mem-berikan pengaruh yang cukup lekat di hati dan sanubari para sahabat. Semangat da’wah telah merasuki relung hati terdalam para sahabat . Ketika baju perang disandangkan dan dua pasukan telah saling berhadapan, naluri da’wah mereka membuat mereka masih saja menawarkan tiga opsi: masuk Islam, bayar jizyah atau perang.
Hidayah ada dengan mengikuti jalan Rosu-lulloh . Alloh telah menegaskan:
“Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Alloh kepada kalian semua, yaitu Alloh yang mempunyai kerajaan langit dan bumi, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kalian kepada Alloh dan Rosul-Nya”, Nabi yang Ummi yang beriman kepada Alloh dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu men-dapat petunjuk.” (QS. Al A’raf: 158)
Ayat ini berisi perintah mengikuti jejak Ro-sululloh dalam segala hal. Sebagai konsekuensi iman kita kepada Rosululloh, dalam menerima Islam yang diterangkan dalam al-Qur’an dan sunnah secara utuh. Mengikuti Rosululloh dalam masalah tauhid dan iman serta implemen-tasinya dalam da’wah. Ketegasan dalam kebe-naran, hak dan batil, halal dan haram, tapi lembut dalam tutur kata dan sikap.
Bekal kita bukanlah tongkat Musa . yang mampu menyibak Laut Merah, atau kapak Ibra-him yang mampu melumatkan berhala mem-batu. Rosululloh membekali kita dengan Al Qur’an yang dengan itu kita berda’wah. Jangan pernah dilupa, da’wah pernah mampu membuat musuh yang menyerang, esok harinya, tiba-tiba datang menjadi pembela. Da’wah pernag mem-buat Laut Merah mengijinkan pejuang da’wah berjalan di atasnya. Da’wah pernah membuat se-ekor singa Afrika tidak jadi melumat malah tun-duk pada juru da’wah. Sungguh, da’wah adalah sebuah keajaiban tanpa batas. Da’wah membuat segalanya menjadi mungkin. Dan satu-satunya hal yang mustahil pada da’wah adalah kata “tak mungkin”. Da’wah adalah perhiasan yang men-juntai di dada kaum optimis. Tentunya mereka adalah manusia seperti yang lain dengan segala keterbatasannya, namun mereka memiliki Alloh yang mampu menerbitkan matahari dari tempat tenggelamnya.
Da’wah bukan sekedar meluangkan sedikit waktu, menyisakan sejumput kesempatan, atau-pun kerja sampingan. Da’wah adalah segalanya. Segala waktu, segala kesempatan, segala kerja harus dikerahkan untuk da’wah. Apabila kita me-ngaku cinta pada Rosululloh, mengaku sebagai pengikut Rosululloh, mengaku beriman pada Rosululloh, da’wah adalah medan pembuktian.