Perangkap Setan Dibalik Seni Budaya

Perangkap setan dibalik seni budaya

Seni budaya. Meski terdengar familiar di telinga kita, paduan kata ini memiliki kekhasan tersendiri yang begitu memikat hati para pengagumnya. Banyak kalangan meyakini bahwa seni budaya adalah warisan tak ternilai harganya yang harus diperjuangkan mati-matian agar tak punah termakan zaman apapun bentuknya. Penyelenggaraan pentas seni budaya pun terus digalakkan demi menjaga kelestariannya sekalipun ongkos yang dikeluarkan sangat mahal.

Mengetahui animo masyarakat yang tinggi terhadap seni budaya, media nusantara pun tak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Meski tengah berada di zaman globalisasi modern, media televisi masih menjagokan acara bertemakan seni budaya untuk menghibur penonton setianya. Ironisnya, mayoritas pertelevisian di nusantara lebih gandrung menayangkan acara bertemakan seni budaya yang  berlumur kesyirikan. Ya, kesyirikan. Inilah yang menjadi titik utama perhatian kita. Sebuah tindak kejahatan terbesar sepanjang sejarah manusia terhadap Alloh .

Inilah faktanya. Di negeri kita Indonesia, beragam seni dan budaya daerah seakan tak pernah lepas dari unsur syirik. Jikalaupun ada yang terbebas dari kesyirikan, maka jumlahnya hanya sedikit. Kepercayaan animisme dan dinamisme di masa lampau masih mengakar kuat. Kepercayaan leluhur yang diwariskan turun-temurun, tercermin lewat prosesi pertunjukan dengan beragam makna “batin”nya. Seringkali pertunjukan seni budaya di Indonesia bukanlah upacara atau atraksi biasa. Dalam seni upacara ada makhluk lain yang diberikan penghormatan ataupun “bingkisan” sebagai ungkapan rasa terima kasih sekaligus untuk menghindari kemurkaannya. Dalam seni atraksi ada ‘mahluk kedua’ yang harus diundang untuk membantu jalannya acara. Walhasil, kita bisa mendapati belasan, bahkan puluhan seni budaya yang mengandung unsur syirik alias penyembahan terhadap setan.

Secara umum pelanggaran terhadap nilai-nilai tauhid itu dapat terlihat jelas dalam berbagai jenis seni budaya seperti seni ritual, seni panggung, bela diri, tari, seni tarik suara dan berbagai jenis kesenian lainnya. Tulisan ini akan menjadi berhalaman-halaman, jika membahas semua jenis seni budaya yang mengandung kesyirikan karena saking banyaknya. Sebagai contoh mari kita amati sebagian seni tari yang ada di negeri ini.

Sebut saja Kuda Lumping. Tentu seni tari ini sudah tidak asing lagi di telinga kita. Kesenian tari kuda lumping lebih populer lagi di daerah Jawa Timur khususnya Malang, Blitar, Tulungagung dan sekitarnya. Sebelum dimulai, seorang pawang telah mempersiapkan sesaji berupa bunga, pisang rajamala, ayam muda, nasi tumpeng, kemenyan dan lain-lain. Untuk siapakah sesaji tersebut? Ya, siapa lagi kalau bukan untuk setan.

Aksi pun dimulai. Dalam keadaan kesurupan para penari melakukan aksi mengerikan seperti memakan kaca, memakan bara api, berjalan di atas pecahan beling dan bara api, mengangkat benda berat, disayat pisau, dibacok  dengan golok. Dan tidak satupun dari mereka yang cedera dalam melakukan aksinya. Sungguh merugi, hanya untuk melakukan aksi ini mereka harus membelinya dengan harga yang sangat mahal. Yaitu menghinakan diri untuk menyembah setan!

Selanjutnya, tari Seblang. Kesenian ini berasal dari Desa Olehsari. Konon seni tari ini harus dilakukan setiap tahunnya selama tujuh hari berturut-turut dan jika tidak, maka bencana serta kesempitan rezeki akan menimpa. Seblang merupakan upacara adat berupa tarian yang diiringi oleh gamelan. Mula-mula, seorang sesepuh dukun melakukan ritual untuk menanyakan kepada jin waktu dan tempat pelaksanaan ritual Seblang.

Pada saat pementasan, seorang pawang membaca mantra-mantra syirik untuk mengundang kehadiran jin dan merasuk pada jasad penari. Dengan dipandu pawang, sang penari mulai melenggak-lenggok mengitari lingkaran arena dengan berputar pada satu poros tiang payung. Perhatikanlah, seni ini dari awal telah di“pesan” dan dipersembahkan untuk makhluk ghoib!

Dan satu lagi, yaitu tari Sintren. Sebuah kesenian tari tradisional masyarakat Jawa, khususnya di Cirebon. Seperti tari Seblang, sebelum dimulai para dukun dalam tari Sintren membakar kemenyan dan membaca mantra-mantra syirik untuk memanggil jin. Sang penari pun beraksi hingga selesai dalam keadaan kesurupan.

Selanjutnya Reog Ponorogo, Bedhoyo Ketawang, Tari Angguk, Andholanan Bahhong dan ternyata masih banyak lagi seni tari Nusantara yang wujud aslinya adalah bentuk penyembahan kepada setan. Ini hanya dari satu jenis seni budaya saja, yaitu budaya seni tari. Bagaimana dengan yang lain? Wallohul musta’an.

Mereka yang mengaku Muslim masih saja memohon pertolongan kepada selain Alloh . Masih pula meminta perlindungan agar terhindar dari bala bencana. Padahal tiadalah pertolongan dan perlindungan itu kecuali dari Alloh . Bukankah dalam sehari semalam kita senantiasa mengulang-ulang ayat:

“Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.” (QS. Al-Fatihah [1]: 5)

Lalu mana realisasi dari pembacaan ayat agung ini? Mengapa masih saja beribadah kepada setan dengan meminta pertolongan dan perlindungan kepadanya?

Ironis memang, ketika berbagai seni budaya warisan masyarakat jahiliyah tersebut terus dipertahankan dari generasi ke generasi. Malah ditumbuhkembangkan dengan dalih melestarikan seni budaya bangsa. Kemudian, agar nampak seperti tradisi Islam, setan membisikkan agar seni budaya tersebut dibumbui hiasan dan label Islami. Dibisikkanlah bahwa seni budaya tersebut merupakan ungkapan rasa syukur terhadap nikmat yang telah diperoleh. Sebuah penipuan luar biasa. Lihatlah bagaimana perbuatan syirik dan kufur berubah nama menjadi syukur.

Setan memahami betul bahwa manusia membenci stigma yang buruk. Maka disematkanlah nama yang indah untuk membalut buruknya kesyirikan. Hal ini memang sudah menjadi keahlian setan. Kita tahu setanlah yang memberi nama pohon larangan Alloh  yang harus dijauhi dengan nama pohon khuldi (pohon kekekalan). Alloh menceritakannya di dalam Al-Qur’an:

“Kemudian setan membisikkan pikiran buruk kepadanya dengan berkata, ‘Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi (pohon kekekalan) dan kerajaan yang tidak akan binasa?.” (QS. Thoha [20]: 120)

Setan membisikkan kepada manusia agar menamai riba sebagai bunga, berpose telanjang sebagai seni dan hak asasi, hingga perbuatan syirik pun disulap menjadi seni budaya, ungkapan syukur, mengais berkah agar makmur dan nama-nama indah lainnya. Dengan strategi ini setan pun meraih kesuksesan besar dalam melaksanakan misinya. Misi melencengkan manusia dari Shirotulmustaqim, jalan yang lurus, yaitu Islam yang berasaskan tauhid.

Pembaca yang budiman, kita harus segera sadar dari kepalsuan dan penipuan ini. Sudah saatnya kita bangkit dari jeratan iblis bernama seni budaya yang membawa jaring-jaring kesyirikan. Kita harus segera menerangi mata dengan ilmu agar dapat melihat mana tauhid dan mana syirik.

Kita juga harus sadar, bahwa realita kaum Muslim saat ini sangat memprihatinkan. Ribuan bahkan jutaan manusia terjebak dalam lumpur kesyirikan yang ancamannya kekal di neraka. Tidak ada waktu untuk berpangku tangan. Kita harus andil dalam upaya kebangkitan menuju masyarakat Islami.

Wallohu a’lam.

(Red-HASMI)

Check Also

Melihat Masa Depan Melalui Telapak Tangan, MUNGKINKAH…??

Melihat Masa Depan Melalui Telapak Tangan, MUNGKINKAH…?? Hari ini tak sulit untuk kita dapatkan orang-orang …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

slot