Geliat dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah semakin hari semakin menunjukkan grafik peningkatan. Dakwah kebenaran ini tidak hanya ‘menjangkiti’ kota-kota besar, namun desa-desa kecil dan terpencil pun mulai ‘dimasuki’ nya.
Tidak ada yang bisa membendung sunnatullah, meski dengan gencar diadakan seminar-seminar “anti wahabi, radikalisme, fundamentalis dan sebutan-sebutan lainnya”, disampaikan di pengajian-pengajian, bahkan dengan tuduhan-tuduhan keji, semua itu tidak dapat membendung sunnatullah, sebagaimana Firman Alloh [swt]:
“Dan katakanlah: ‘Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.’ Sesungguhnya yang bathil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (QS. al-Isro’ [17]: 81]
Itulah janji Alloh [swt], ketika kebenaran sudah datang dan menyebar ke masyarakat maka sekuat apapun usaha dari musuh-mush Islam untuk menghalang-halangi dakwah islam yang benar yakni ahlussunnah wal jama’ah, tidak akan mampu untuk ‘mencegahnya’ karena sudah merupa-kan sunatulloh apabila kebenaran telah datang dan tersebar maka secara otomatis akan melenyapkan yang bathil atau kesesatan.
Begitupun sudah menjadi sunatulloh juga, setiap ada dakwah kebenaran maka akan ada dakwah kesesatan, yakni upaya dari musuh-musuh islam baik kalangan kafirin dan musyrikin atau juga dari orang-orang munafik, untuk menghalang-halangi manusia dari kebenaran.
Alloh [swt] berfirman :
“Maka di antara mereka (orang-orang yang dengki itu), ada orang-orang yang beriman kepadanya, dan di antara mereka ada orang-orang yang menghalangi (manusia) dari beriman kepadanya. Dan cukuplah (bagi mereka) Jahannam yang menyala-nyala apinya.” (QS. an-Nisa’ [4]: 55)
Jurus Labelisasi
Diantara strategi musuh-musuh islam untuk menghalang-halangi dakwah islam yang benar sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah adalah dengan memberikan pelabelan (julukan) kepada para pengemban dakwahnya. Gejala labelisasi sebenarnya bukan barang baru yang digunakan musuh-musuh islam untuk memalingkan manusia dari ajaran islam yang murni, bahkan Rosululloh yang mulia pun dahulu ketika berdakwah diberikan julukan-julukan yang tidak sepantasnya disematkan kepada Beliau , seperti julukan gila, tukang sihir, penyair dan lain-lain yang tujuan asasinya adalah memalingkan manusia agar berpaling sebelum mereka mengetahui apa yang dibawa oleh juru dakwah tersebut.
Cara labelisasi dianggap sebagai cara paling efektif dalam penjaringan massa dan pembentukan public opinion. Lihat saja apa yang gencar dilakukan oleh seorang tokoh ormas Islam nomor wahid di Indonesia, dia berusaha memopulerkan label “wahabi” lalu menyematkan kepada lembaga dan personal tertentu. Kemudian orang-orang sekuler, liberal dan pluralis ( JIL ) juga mengatakan fundamentalis, intoleran, radikal, tradisional dan julukan-julukan lainnya kepada orang-orang yang berusaha mengamalkan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan sebenaranya.
Alloh [swt] berfirman :
“Apabila dikatakan kepada mereka: Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Alloh telah turunkan dan kepada hukum Rosul, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.” (QS. an-Nisa’ [44]: 61)
Itulah strategi musuh-musuh islam yang berusaha memalingkan umat dari dakwah kemurnian. Jadi mereka tidak perlu kerja dua kali, cukup menjelaskan apa itu wahabi, kaum radikal, ekstrimis atau yang lainnya sesuai keinginannya, kemudian mencap dan melabelisasi musuh-musuhnya dengan label ini, maka dengan sendirinya masyarakat akan bertindak atau bersikap!
Cara ini dianggap efektif dan efisien oleh musuh-musuh Islam untuk menghadang manusia dari dakwah yang benar sebelum mereka mendengar kebenaran tersebut. Cara ini juga dijadikan alat oleh musuh-musuh Islam untuk memecah belah persatuan kaum Muslimin dengan diberikannya pelabelan sehingga kaum Muslimin menjadi terkotak-kotak yang akibatnya akan melemahkan kekuatan umat Islam itu sendiri.
Lantas bagaimana sikap kita?
Pada hakikatnya, sebuah ‘istilah’ yang tidak datang dari Alloh dan Rosul-Nya memiliki multi tafsir, sebagai contoh istilah “wahabi” tadi. Coba kita pikirkan, kira-kira mana yang benar, mengatakan : “saya seorang wahabi”, atau “saya bukan wahabi”!! Tentu saja tidak ada yang benar dan juga tidak ada yang salah, Kenapa demikian ? Setidaknya ada tiga alasan:
- Jika istilah wahabi diartikan sebagai “teroris perusak”, maka tidak benar kita mengatakan “saya seorang wahabi”. Namun jika wahabi diartikan sebagai “penyeru dakwah tauhid”, maka tidak benar kita mengatakan “saya bukan wahabi”.
- Lalu yang benar istilah wahabi itu apa? Teroris atau penyeru dakwah tauhid?? Jawabnya relatif, karena istilah ini bukan istilah yang syar’i (datang dari Alloh dan Rosul-Nya ) maka tidak akan ada kata sepakat diantara manusia.
- Untuk apa kita mengatakan saya wahabi atau bukan wahabi, toh kita tidak dituntut sebuah pengakuan yang seperti ini, yang dituntut adalah pengakuan keislaman, syahadat, mengakui Alloh sebagai Robb, Muhammad sebagai Nabi dan Islam sebgai agama. Bukankah demikian???
Begitupun dengan dengan julukan-julukan yang lainnya, ambil contoh kata fundamental, secara bahasa maka yang dimaksud fundamental adalah bersifat dasar (pokok) atau mendasar (lihat kamus besar bahasa Indonesia). Maka islam fundamental maksudnya adalah umat Islam yang mengamalkan ajarannya sesuai dengan prinsip-prinsip pokok yang ada dalam islam yakni Tauhid. Akan tetapi yang dimaksud Islam fundamental oleh sang pemberi label (musuh-musuh Islam) adalah orang islam yang keras kepala, intoleran, dan ekstrim dalam beragama. Begitulah ketika istilah-istilah tersebut bukan istilah syar’i maka akan memiliki beragam penafsiran yang bertolak belakang, tergantung siapa yang menafsirkannya dikarenakan tidak ada dasarnya dari al-Qur’an dan as-Sunnah.
Maka sikap kita simpel saja, biarkan anjing menggonggong kafilah tetap berlalu..!!Walloh a’lam. (Red-HASMI/IH/Ade Eris)