Sesungguhnya yang dibutuhkan umat pada zaman globalisasi seperti sekarang ini adalah para da’i yang istiqomah menyeru kepada kemurnian dan kebenaran yang hakiki. Permasalahan yang amat sangat komplek yang di hadapi umat dikarenakan mereka semakin jauh dari jalan da’wah yang di usung oleh pendahulu kita yaitu Rosululloh [saw] dan salafussholeh.Tidak ada jalan lain untuk kita kembali meraih kejayaan kecuali jika kita kembali ke jalan da’wah ini.
Da’wah tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kita, karena da’wah adalah sunnatulloh yang berlaku pada umat manusia hingga akhir masa. Alloh [swt] telah memilih dari hamba-hamba-Nya yang mulia para Nabi dan pengikut-pengikutnya yang setia untuk mengusung tugas yang mulia, surgalah tempat mereka. Dan Alloh [swt] pun telah memilih dari hamba-hamba-Nya musuh dari golongan jin dan manusia untuk menghalangi tugas para Nabi dan auliya, mereka adalah penghuni neraka.
Dua jalan telah di buka, dimanakah posisi kita??? Sesungguhnya hujjah telah nyata, tidak ada jalan yang ketiga.
Alloh [swt] berfirman:
“Katakanlah: ‘inilah jalan (agamaku), aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) kepada Alloh dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Alloh , dan aku tidak termasuk orang-orang yang yang musyrik’.” (QS. Yusuf [12]: 108)
Di alam realita untuk meraih tujuan da’wah dengan semaksimal mungkin, seorang da’i sangat dituntut untuk melaksanakan strategi da’wah yang telah dicontohkan oleh pendahulu kita Rosululloh [saw] dan salafus sholeh. Diantara strategi da’wah yang telah ditempuh oleh pendahulu kita adalah:
1) Mendahulukan da’wah kepada iman dan tauhid sebelum da’wah kepada amal dan hukum
Alloh [swt] berfirman:
“Dan sesungguhnya kami telah mengutus seorang Rosul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan) ‘sembahlah Alloh semata dan jauhilah thogut’.”(QS.an-Nahl [16]: 36)
Terbentuknya daulah Islamiyah pada zaman keemasan Islam adalah karena kesuksesan da’wah Rosululloh [saw] kepada iman dan tauhid yang benar. Iman dan tauhid adalah intisari da’wah, jika rusak maka rusaklah seluruh amalnya. Jika iman seseorang telah kuat maka ia akan mudah melaksanakan hukum, baik yang mudah maupun yang sulit, dan tunduk serta patuh untuk meninggal-kan larangan dan melaksanakan perintah. Iman yang benar adalah kunci kebahagiaan dan kesuksesan di dunia dan akhirat.
Strategi ini bukan berarti tidak menda’wahkan amal dan hukum seperti halal dan haram, tetapi mendahulukan da’wah iman dan tauhid di atas amal dan hukum dalam tingkatan da’wah. Iman adalah pondasi dasar amal, sebuah bangunan tidak akan berdiri kokoh kecuali dengan pondasi yang kokoh.
Kesuksesan da’wah iman dan tauhid ini sangat didukung oleh beberapa metode yaitu:
- Memahami dan mengenal sifat-sifat dan nama-nama Alloh [swt] dengan sebenar-benarnya.
- Mengetahui betul manfaat ketaatan dan bahaya kemaksiatan.
- Memperhatikan dan memikirkan kebesaran Alloh [swt] pada ciptaan-Nya
- Mengetahui sifat surga dan kenikmatannya sebagai tempat orang yang taat, dan mengenal sifat neraka dengan azabnya sebagai tempat orang yang bermaksiat.
- Menguatkan iman dengan ibadah yang benar sesuai dengan apa yang di ajarkan Rosululloh [saw], karena iman bisa bertambah dan berkurang. Bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.
Ini adalah strategi umum yang bukan berarti harus diterapkan pada setiap keadaan dan setiap orang, bisa jadi mengiringi da’wah iman dengan hukum atau mengutamakan da,wah hukum di atas iman.
2) Mengajarkan dan menyampaikan hujjah dan bukan menghakimi
Alloh [swt] berfirman:
“Tidak ada kewajiban atas para Rosul, selain menyampaikan (amanat) Alloh dengan jelas.” (QS. an-Nahl [16]: 35)
Tidak boleh kita menghakimi seseorang sebelum sampai hujjah yang jelas kepada orang itu, kewajiban seorang da’i adalah menyampaikan dan mengajarkan, setelah itu gugur-lah kewajiban dan pertanggung jawaban di hadapan Alloh .
Inilah strategi yang dicontohkan para Nabi. Alloh [swt] telah memerintah-kan Nabi Musa [alayhis] untuk menyeru Fir’aun menyembah hanya kepada Alloh tanpa menghakiminya. Nabi Muhammad [saw] berda’wah selama 13 tahun menyeru umatnya kepada tauhidulloh dengan tanpa mem-buat perhitungan dengan umatnyahingga sampainya hujjah yang nyata.
3) Seimbang antara ayat-ayat azab(ancaman) dengan ayat-ayat rahmat(motivasi)
Jelas sekali jika kita perhatikan bagaimana metode al-Qur’an yang tersusun rapi dalam satu ayat atau surat, jika Alloh [swt] sebutkan ayat-ayat ancaman neraka dan azdab di iringi dengan ayat-ayat rahmat, ni’mat dan surga. Contoh dalam satu ayat yaitu firman Alloh [swt]:
“(apakah) perumpamaan (penghuni) jannah yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khomr yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalam-nya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Robb mereka.
Setelah menyebutkan ni’mat surga Alloh [swt] akhiri dengan azdab neraka dalam ayat yang sama,
“Sama dengan orang yang kekal dalam Jahannam dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong ususnya?.” (QS.Muhammad[47]:15)
Ini sangat sesuai dengan fitroh manusia, karena manusia di ciptakan dengan sifat takut dan harapan. Maka dari itu seorang da’i tidak boleh mengutamakan satu sisi dan meninggalkan yang lain, tetapi harus berjalan seiring.
Hikmahnya adalah jika seorang muslim melakukan suatu dosa maka ia akan takut azab Alloh , dia tidak akan putus asa dari rahmat Alloh , tetapi dia akan kembali bertaubat setelah melihat besarnya rahmat Alloh . Jika dia mendengar ayat-ayat ancaman maka dia takut melakukan dosa, sebaliknya jika mendengar ayat-ayat rahmat maka semakin menambah ketaatan kepada Alloh dengan mengharapkan ni’mat dan balasan Alloh .
4) Berda’wah sesuai dengan kondisi mad’u (orang yang di da’wahi)
Seorang da’i harus mengetahui kondisi mad’u dari segi latar belakang pendidikan, lingkungan, dan kebutuhan pribadi. Setiap orang mempunyai kebutuhan rohani yang berbeda, ada yang lebih membu-tuhkan penjelasan aqidah, ada yang lebih membutuhkan penjelasan tentang ibadah, dan ada yang lebih membutuhkan da’wah tentang akhlaq dan budi pekerti.
Semuanya ini dibutuhkan kejelian seorang da’i di lapangan, dan yang paling penting adalah cara dan bahasa pengantar yang akan di sampaikan kepada mad’u sesuai dengan latar belakang pendidikan dan lingkungan. Berbeda berda’wah kepada seorang mahasiswa dengan seorang yang hanya lulus SD, dan berbeda pula berda’wah kepada seorang yang hidup di kota dengan orang yang hidup di kampung. Sebagaimana yang telah di katakan oleh Ali :
“Dan Ali berkata:”sampaikanlah kepada manusia apa yang telah mereka ketahui(sesuai dengan kadar akal mereka), apakah kalian ingin jika Alloh dan Rosul-Nya didustakan.?” (HR. Bukhori)
Jika seorang da’i mengetahui kondisi seorang mad’u, maka dia akan lebih mudah berkomunikasi dan beradaptasi.
5) Bertahap dan berkesinam-bungan dalam da’wah
Maksudnya adalah memulai da’wah dari yang paling penting sampai yang kurang penting, dari tingkatan yang paling rendah sam-pai yang paling tinggi, dari yang paling mudah sampai yang paling sulit, memulai da’wah dengan teori kepada praktek, dan dari tauhid kepada ibadah dan dari iman kepada amal.
Bertahap dalam da’wah telah dicontohkan Alloh [swt] ketika menurunkan al-Qur’an secara bertahap dari hukum yang paling ringan sampai yang paling berat.
Seorang da’i dituntut untuk mengetahui tahapan da’wah dengan sebaik-baiknya untuk mencetak kader da’wah yang militan.
Demikian strategi da’wah yang telah dicontohkan oleh pendahulu-pendahulu kita, semoga kita dapat melaksanakannya di alam realita dengan sebaik-baiknya untuk meraih kembali kejayaan umat dan kesela-matan dunia akhirat. Semoga kita istiqomah di jalan da’wah. Amin…
(Red-HASMI)