Beliau adalah putra dari salah seorang Khulafaur Rosyidin, kholifah kedua, ‘Umar ibn Khoththob al-Faruq [ranhu]. Beliau juga bersaudara dengan salah seorang ummahatul Mu’minin, Hafsoh Binti ‘Umar [ranha]. Beliau adalah salah satu dari al-Abadillah al-Arba’ah atau Abdulloh yang empat, yang terkenal sebagai pemberi fatwa. Beliau masuk Islam ketika masih kecil, bahkan beliau lebih dahulu hijrah ke Madinah daripada ayahnya al-Faruq.
Keistimewaan yang memikat kita terhadap Ibnu ‘Umar [ranhum] tidaklah sedikit. Ilmunya, kerendahan hatinya, kebulatan tekad dan keteguhan pendirian, kedermawanan, kesholihan dan ketekunannya dalam beribadah serta berpegang teguhnya kepada contoh yang diberikan oleh Rosululloh [saw]. Semua itu benar-benar telah mendarah daging dalam tubuhnya, membimbing kepribadiannya yang suci lagi benar.
Ada kisah menarik dari sosok Ibnu Umar ketika ia menghadiri majlis Rosulolloh [saw]. Ibnu ‘Umar [ranhum] adalah peserta termuda dalam majelis Rosululloh [saw] ini. ‘Umar [ranhu] pun merasa bangga bila sang putra memiliki ilmu lebih daripada yang dimiliki orang lain yang ada di situ. Peristiwa ini dikisahkan sendiri oleh ibnu ‘Umar [ranhu]:
“Kami dulu pernah duduk di sisi Rosululloh, lalu beliau bertanya pada kami, ‘Beritahukan padaku tentang sebuah pohon yang menyerupai atau seperti seorang muslim, tak pernah gugur daunnya, tidak demikian dan demikian, selalu berbuah sepanjang waktu.’ Ibnu ‘Umar berkata, ‘Waktu itu terlintas dalam benakku bahwa itu adalah pohon kurma. Namun aku melihat Abu Bakr dan ‘Umar tidak menjawab apa pun sehingga aku pun merasa segan pula untuk menjawabnya. Ketika para sahabat tidak menjawab sedikit pun, Rosululloh bersabda, ‘Itu pohon kurma.’ Saat kami telah bubar, kukatakan pada ayahku ‘Umar, ‘Wahai ayah, demi Alloh, sesungguhnya tadi terlintas dalam benakku, itu adalah pohon kurma.’ Ayahku pun bertanya, ‘Lalu apa yang membuatmu tidak menjawab?’ Ibnu ‘Umar menjawab, ‘Aku melihat anda semua tidak berbicara sehingga aku merasa segan pula untuk menjawab atau mengatakan sesuatu.’ Kata ‘Umar, ‘Sungguh kalau tadi engkau menjawab, itu lebih kusukai daripada aku memiliki ini dan itu!’.” (HR al-Bukhori no. 4698)
Dalam segi ilmu dia memang seorang ulama dari kalangan sahabat. Dia meriwayatkan hadits terbanyak kedua setelah Abu Huroiroh , yaitu sebanyak 2.630 hadits., karena ia senantiasa menyertai Rosululloh pergi. Bahkan ‘Aisyah pernah memujinya dan berkata: “Tak seorang pun mengikuti jejak Rosululloh ditempat-tempat pember-hentiannya, seperti yang telah dilakukan Ibnu ‘Umar”.
Ibnu ‘Umar [ranhum] adalah orang yang bersikap sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadist Nabi [saw]. Ia tidak meyampaikan satu Hadits pun kecuali jika ia ingat seluruh kata-kata Rosululloh [saw].
Demikian pula dalam mengeluarkan fatwa, ia amat berhati-hati dan lebih suka menjaga diri. Pada suatu hari seorang penanya datang kepada-nya untuk meminta fatwa. Dan setelah orang itu mengajukan pertanyaan, Ibnu ‘Umar [ranhum] menjawab “Aku tidak tahu tentang masalah yang anda tanyakan itu”. Orang itu keheranan, seorang yang senantiasa menyertai Rosululloh [saw] kemanapun pergi hingga mengikuti gerak-geriknya tapi tidak tahu? Orang tersebut kemudian pergi.
Ia tidak berijtihad untuk memberikan fatwa, karena takut berbuat kesalahan. Walaupun Islam sebenarnya menyediakan satu pahala bagi orang-orang yang bersalah, dan dua pahala bagi orang yang benar dalam ijtihadnya, tetapi demi menghindari berbuat dosa menyebabkan ia tidak berani berfatwa.
Mungkin pendirian Ibnu ‘Umar ini tampaknya sebagi hal yang negatif. Tetapi tidaklah demikian halnya! Ibnu ‘Umar [ranhum] tidak mau berfatwa jika ada orang yang lebih berhak menjawab dan juga lebih tinggih ilmunya dari pada dia.
Nah, barulah ketika saat masa tabi’in tiba, barulah ia berfatwa sebagaimana yang ia ketahui dari Rosululloh [saw] dan ayahnya ‘Umar [rahhu] yang telah mendidiknya. Biasanya ia memberi fatwa pada musim haji atau pada kesempatan lainnya. Di antara para tabi’in yang paling banyak meriwayatkan darinya ialah Salim dan hamba sahayanya, Nafi’.
Ibnu ‘Umar [ranhum] mengakhiri usianya pada usia 80 tahun, sekitar 60 tahun setelah wafatnya Rosululloh [saw],dan ia adalah salah satu sahabat yang paling akhir meninggal di kota Mekah.
Semoga kita diistiqomahkan oleh Alloh [swt] dalam meniti jejak Rosululloh [saw] dan para sahabatnya [ranhum].
(Red-HASMI)