“…Apa yang diberikan Rosul kepada kalian, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh amat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Umat Islam telah sepakat bahwa sumber ajaran Islam yang pertama dan utama adalah al-Qur’an. Ia diturunkan melalui malaikat Jibril dan diteruskan kepada umat manusia secara mutawatir dengan bentuknya yang sangat global (mujmal). Oleh karena keadaannya yang masih global sedangkan ia harus dipedomani sebagai petunjuk oleh manusia, maka ia perlu dijelaskan dan dijabarkan. Dengan demikian umat yang hendak menjadikannya sebagai pedoman hendaklah mencari sumber ajaran kedua sebagai pendamping al-Qur’an, yakni as-Sunnah.
Kehujjahan As-Sunnah
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taatilah Rosul -Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu ber-lainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh (al-Quran) dan Rosul (Sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian. Yang demi-kian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (QS. an-Nisa’ (4): 59)
Ibnu Katsir [rahimahu] menafsirkan ayat di atas, bahwa Alloh [swt] mengabarkan tentang hamba dan Rosul-Nya [saw], bahwa barang-siapa yang taat kepadanya, maka itu termasuk taat juga ke-pada Alloh, barangsiapa yang bermaksiat kepadanya maka itu termasuk bermaksiat kepada Alloh, dan tidaklah hal itu melain-kan bahwa apa yang dikatakan-nya bukan berasal dari hawa nafsunya, melainkan wahyu yang diturunkan kepadanya. (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1. hal. 528).
Dalil-dalil yang telah dikemu-kakan dari al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijma’ sangatlah jelas bahwa tidak boleh bagi siapapun menolak Sunnah Nabi [saw] dengan alasan hanya berpegang kepada al-Qur’an saja. Karena satu hal yang mustahil bagi orang yang berkata bahwa ia kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, tetapi ia sendiri menolak dalil-dalil as-Sunnah dengan alasan tidak cocok dengan akal atau yang lainnya. Adapun sebagian mereka yang menolak as-Sunnah karena memang belum jelas baginya kedudukan as-Sunnah dalam syari’at, atau karena kebodohan-nya, maka kepada orang seperti ini harus diberikan pemahaman melalui proses wajib belajar. Sedangkan bagi mereka yang menolaknya dengan sengaja dan terang-terangan meng-ingkari hujjah-hujjah as-Sunnah padahal ia mengetahui wajibnya berpegang kepada as-Sunnah, maka orang ini adalah kafir.
Sesungguhnya pada masa Shahabat sendiri telah ada segelintir orang yang tidak mem-perhatikan nilai tasyri’ as-Sunnah, seperti yang terjadi pada seseorang yang bertanya kepada Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, dan ‘Imran bin Husain. Beberapa orang yang menolak as-Sunnah pada masa Shahabat tidaklah mewakili satu firqoh atau jama’ah, akan tetapi dari kegoncangan per individu. Seiring perkembangan zaman mereka akan menjadi firqoh atau jama’ah.
Penolakan as-Sunnah pada masa Shahabat ini ada yang perlu digarisbawahi, yaitu pe-nolakan terhadap as-Sunnah tidak terjadi secara menyeluruh di semua negeri Islam, tetapi hanya terdapat pada beberapa orang saja. Itupun terjadinya di Iraq, karena pada waktu itu Sahabat ‘Imran bin Husain di-bantah oleh penolak as-Sunnah ketika beliau berada di Iraq, sedangkan Sahabat Ayub as-Sikhtiyani berada di Bashrah. Dan untuk kemudian para penentang as-Sunnah terus berkembang di masa Imam asy-Syafi’i dan Imam Ahmad.
As-Sunnah Menurut Pandangan Khawarij, Mu’tazilah dan Syi’ah
1. Pandangan Khawarij
Kaum Khawarij dengan ber-bagai sektenya menganggap bahwa sebelum peristiwa fitnah (Th. 37 H) seluruh Shahabat adalah adil. Tetapi setelah itu mereka mengingkari ‘Ali, ‘Utsman, dan Sahabat yang tergolong Ashhabul Jamal, kedua hakim Arbitrasi (yang ditunjuk oleh masing-masing golongan) serta mereka yang menerima keputusan-nya dan membenarkannya ataupun yang mengakui kepu-tusan salah satu dari kedua hakim tersebut. Dengan demikian mereka menolak hal-hal yang diriwayat-kan jumhur setelah peristiwa fitnah. Penolakan ini didasarkan kepada tidak adanya kesediaan mereka menerima keputusan kedua hakim serta mengikuti kepemimpinan yang menurut anggapan Khawarij termasuk zholim. Karena itu Khawarij tidak menganggap para Sahabat sebagai rawi (periwayat) tsiqah lagi.
Menurut Dr. Muhammad Musthafa al-A’zhamy, bahwa sebagian Khawarij menerima Sunnah Nabi [saw] dan percaya bahwa as-Sunnah sebagai sumber asasi bagi tasyri’ Islam. Karena itu tidaklah mutlak bahwa seluruh Khawarij menolak as-Sunnah yang diriwayatkan para Sahabat sesudah tahkim maupun sebelumnya.
2. Pandangan Mu’tazilah
Di antara ulama terdapat perbedaan pendapat mengenai pandangan Mu’tazilah terhadap as-Sunnah, apakah mereka sejalan dengan jumhur ulama tentang penggunaan as-Sunnah sebagai hujjah dan juga tentang pembagian hadits menjadi mutawatir dan ahad, ataukah mereka menolak hadits ahad saja, atau menolak as-Sunnah secara keseluruhan.
Kaitannya dengan Khobar Ahad Al-Amidi mengutip panda-ngan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abul Husain al-Bashri, yaitu: “Secara rasional, ibadah berdasarkan khabar ahad wajib diamalkan.” Selanjutnya ia mengutip pandangan al-Jubba’i dan sebagian mutakallimin yang menyatakan: “Secara rasional melaksanakan ibadah atas dasar khobar ahad tidak dapat dibenarkan.”
Ulama perbandingan agama mengemukakan tentang pan-dangan kaum Mu’tazilah mengenai masalah ini. Abu Manshur al-Baghdadi penulis al-Muwaaqif dan ar-Razi mengemukakan pandangan sekte Nizhamiyah, salah satu sekte Mu’tazilah sebagai berikut:
- Mereka mengingkari mu’jizat-mu’jizat Nabi [saw].
- Mereka mengingkari hujjahnya hadits ahad, dan
- Mereka mengingkari hujjahnya ijma’ dan qiyas.
Kemudian ia menyebutkan bahwa umumnya kaum Mu’tazilah mengikuti pemikiran an-Nazhzham (sekte Nizhamiyah) ini.
3. Pandangan Syi’ah Tentang As-Sunnah
Syi’ah mempunyai berbagai sekte, Syi’ah dulunya masih dianggap sebagai salah satu madzhab dalam Islam, tatkala madzhab ini masih berpegang dengan ajaran para ulama. Perlu diketahui bahwa dahulu para ulama membeda-kan antara Rafidhoh dan Syi’ah. Rafidhoh riwayatnya tidak boleh diterima sama sekali dan tidak boleh meriwayatkan dari mereka. Adapun Syi’ah masih boleh kita menerima hadits darinya dengan syarat dia tidak menda’wahkan bid’ahnya. Sedang Syi’ah yang sekarang berkembang (Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah) adalah satu sekte yang sama dengan Rafidhoh. Ajaran tauhid mereka diambil dari Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah, Mu’tazilah, dan ‘Asy’ariyah. Ajaran mereka sangat bertentangan dengan ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan perbedaan yang sangat menonjol, yaitu tentang Al-Qur’an, ‘aqidah, Sunnah, Malaikat, Imamah, Taqiyyah, Mut’ah, Sahabat dan Ahlul Bait.
Sebelum masuk kepada masalah as-Sunnah, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu pandangan Syi’ah tentang al-Qur’an. Di mana para ulama Syi’ah mengatakan: “Telah terjadi pemalsuan terhadap al-Qur’an yang dilakukan oleh para Sahabat Rosululloh [saw].”
Bila dilihat dari segi keyakinan mereka terhadap al-Qur’an saja, maka dapatlah disimpulkan bahwa kaum Syi’ah sudah keluar dari Islam.
Tentang masalah as-Sunnah, kaum Syi’ah menolak semua hadits yang ada pada kaum Sunni yang dianggap tidak melalui jalur ahlul bait (ahlul bait menurut pengertian mereka), karena itu 96 % hadits-hadits Rosululloh mereka tolak, dan hanya sekitar 4 % saja mereka terima.
Kitab-kitab hadits yang diakui para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah yang menjadi pegangan dan rujukan kaum muslimin ditolak oleh mereka, karena kaum Syi’ah mempunyai kitab hadits yang nilainya menurut mereka jauh lebih tinggi dari hadits-hadits yang diriwayatkan al-Bukhori dan Muslim.
Dengan berbekal kedustaan dan kesesatan, firqoh-firqoh sesat di atas mencoba meruntuh-kan pondasi-pondasi Islam, yakni al-Qur’an dan as-Sunnah, yang mana keduanya merupakan rujukan suci kaum Muslimin, mereka usik keabsahannya, ma-nusia-manusia terbaik umat ini dari para sahabat Rosululloh mereka rendahkan martabatnya.
Lalu, Islam manakah yang ada pada mereka ketika kitab suci dan orang-orang mulia kaum Muslimin mereka injak-injak kehormatannya?!
Allohu Al-Musta’an.
(Red-HASMI)