Al-Qur’an itu bukan hiburan dan bukan untuk kesenangan di waktu-waktu senggang. Akan tetapi al-Qur’an adalah manhaj (petunjuk jalan) bagi para da’i yang menempuh jalan dien ini sampai hari kiamat, mengikuti jejak langkah penghulu para rasul dan pemimpin semua umat manusia, Muhammad [saw].
“Katakanlah (Wahai Muhammad), inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku menyeru kepada Alloh di atas bashiroh, dan maha suci Alloh, aku bukanlah termasuk golongan musyrikin”. (QS. Yusuf : 108)
Orang yang mengikuti beliau , wajib berda’wah mengajak kepada Alloh [swt] di atas bashiroh, tidak di atas kejahilan.
Ibnu Katsir [rahimahu] mendefinisikan “bashiroh” sebagai :
“Sebuah hujjah, keyakinan, dalil yang sesuai dengan akal dan syariat.” (Tafsir Ibnu Katsir).
Menurut Imam As Syaukani [rahimahu], “bashiroh” adalah :
“Pengetahuan yang mampu memisahkan yang hak dari yang bathil, yang benar dari yang salah dan begitulah seterusnya.” (Fathul Qadir)
Sayid Quthb [rahimahu] menyebut “bashiroh” sebagai hidayah dan cahaya Alloh yang sangat dikenali para da’i. Mereka berjalan di atasnya dengan penuh kesadaran, pengetahun dan pengenalan. (Fi Zhilalil Qur’an)
Bashiroh inilah ciri khas para du’at di jalan Alloh. Mereka harus memngumumkan bahwa mereka berbeda dengan orang-orang yang tidak sama aqidahnya dengan mereka. Mereka harus membedakan diri dan tidak bercampur aduk. Tidak cukup hanya menda’wahkan para pemeluk idiologi lain agar pindah memeluk Islam, sedang diri mereka masih tetap berbaur dan mencair dalam masyarakat jahiliyah. Da’wah tanpa identitas bashiroh tidak bermanfaat apa-apa dan tidak bernilai.
Makna bashiroh dalam surat Yusuf: 108 tadi mencakup bashiroh dalam tiga hal, yaitu:
Pertama, bashiroh dalam materi da’wah.
Maksudnya adalah ia harus berilmu terhadap hukum syar’i yang ia da’wahkan. Memahami hakikat tauhid dan syirik, iman dan kufur, sunnah dan bid’ah, hukum halal haram. Mengetahui fiqih prioritas dalam da’wah, mana yang paling urgen dan mendasar untuk diketahui umat dan mana yang masih bisa ditunda.
Wajib bagi setiap manusia untuk memiliki bashiroh dalam materi da’wah. Jangan menjadikan pendapat pribadi sebagai tolak ukur wala’ dan baro’, yakni apabila ia menjumpai seseorang yang berbeda pendapat dengannya, ia benci dan marah dengannya, padahal pendapatnya sendiri telah menyelisihi al-Kitab dan as-Sunnah. Namun, apabila pendapat seseorang sesuai dengan pendapatnya, ia pun mencintainya, atau mencintai ulama tertentu, dengan sebab ia berfatwa sesuai dengan yang mereka yakini sebagai kebenaran, dan membenci ulama lain, dengan sebab ia berfatwa dengan apa yang tidak mereka yakini sebagai kebenaran.
Kedua, bashiroh terhadap kondisi objek da’wah (mad’u).
Sebagaimana sabda Nabi [saw] ketika mengutus Mu’adz [ranhu] ke Yaman dalam rangka mengenalkan kondisi objek da’wah.
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan Ahli Kitab” (HR. Bukhori dan Muslim).
Mungkinkah kita berda’wah kepada seseorang tanpa tahu kondisinya? Seberapa tingkat ilmunya? Tentu tidak. Sebab kondisi objek da’wah adalah hal yang mutlak harus diketahui sebelum kita menyampaikan materi da’wah atau memulai diskusi.
Jangan sampai kita menyampaikan sesuatu yang tidak bisa dimengerti oleh objek da’wah. Atau mengalami kekalahan saat berdiskusi akibat tidak mengenal lawan bicara, sehingga hal tersebut menjadi bencana besar bagi al haqq, dan kitalah penyebabnya.
Jangan dikira bahwa setiap ahlul bathil pasti memiliki argumen yang lemah (mungkin dikarenakan kita telah mengetahui syubhat dan berbagai bantahannya), karena sesungguhnya Rosululloh [saw] bersabda:
“Sesungguhnya kalian saling mengalahkan di hadapanku, dan boleh jadi sebagian kalian lebih cerdas dalam mengemukakan argumen daripada sebagian yang lain, maka aku memutuskan perkara berdasarkan apa yang aku dengar. Barangsiapa yang mengajukan perkara demi mengambil hak saudaranya, janganlah diambil. Sesungguhnya barangsiapa yang berhenti dari hal itu, terputuslah api neraka baginya.” (HR. Bukhori 2680 dan Muslim 1713).
Ini adalah dalil bahwa sebagian ahlul bathil memiliki argumen yang lebih cerdas dibanding sebagian lainnya, maka hadapilah sesuai dengan kondisi lawan bicara.
Ketiga, bashiroh dalam cara da’wah.
Sebagian da’i memiliki semangat yang besar dalam berda’wah, namun tanpa ia tak mengiringinya dengan hikmah. Alloh [swt] berfirman:
“Serulah kepada jalan Robb-mu dengan hikmah, nasihat yang baik, dan perdebatlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An Nahl : 125).
Sebagian da’i yang Alloh [swt] penuhi hatinya dengan ghiroh terhadap agama ini, tidak mampu menguasai diri mereka sendiri. Mereka menyerang setiap kemunkaran sebagaimana seekor elang yang menyantap daging, tanpa memikirkan akibat dan dampak selanjutnya. Kemudian mereka menisbatkan diri sebagai da’i yang menyeru kepada kebenaran. Karena yang mereka ketahui, kebenaran adalah musuh bagi kejahatan.
Wajib bagi setiap da’i sebelum mereka bergerak, untuk memikirkan dan memandang dampak dari setiap perbuatan mereka. Ibaratnya, perbuatan mereka akan menimbulkan api yang besar, maka dengan hikmah, api tersebut dapat dipadamkan dan tidak menimbulkan kebakaran yang lebih besar lagi di masa depan.
Alloh [swt] berfirman:
“Alloh menganugerahkan al hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak.” (QS. Al Baqarah: 269).
Hendaklah pula kita mengambil Rosululloh [saw] sebagai contoh dalam mengajarkan kebaikan dan da’i yang paling utama.
Ibnul Qayyim [rahimahu] menyebutkan bangunan da’wah harus diawali dengan: Memiliki landasan ilmu atas apa yang ia sampaikan (Al-Ilmu Bima Yuballigh) yang diteruskan dengan sikap jujur dan benar terhadap apa yang ia sampaikan (Ash-Shidqu Fima Yuballigh).
Bashiroh berarti juga profesional dalam da’wah, mencakup tekun, sabar, tahan godaan, sentiasa bergerak dinamis dan mencari ide-ide kreatif dalam berda’wah. Sebab, kita tidak akan rela jika da’wah kita menjadi “kosong dari isinya” dan berjalan namun tidak mendapat tempat di hati umat.
Contoh paling tepat adalah Nabi Nuh [alayhis]. Di tengah-tengah penolakan kaumnya, ia tetap mencari cara-cara baru dalam berda’wah agar da’wah terus berjalan dan tersampaikan kepada setiap orang. Ia tetap komitmen dan teguh, bahkan mencari alternatif wasilah da’wah yang sesuai dengan keadaan dan tuntutan kaumnya.
“Nuh [alayhis] berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (kemukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat. Kemudian se-sungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam”.” (QS. Nuh: 5-9)
Inilah prinsip yang senantiasa dipegang oleh para pendahulu da’wah, mereka yakin bahwa kecintaan Alloh [swt] hanya akan dianugerahkan kepada mereka yang beramal dengan profesional, meliputi tulus, cerdas, sempurna, dan serius.
Rosululloh [saw] bersabda :
“Sesungguhnya Alloh mencintai seseorang yang bekerja secara itqan (profesional).” (HR. Bukhori)
(Red-HASMI)