Tujuan asasi diturunkannya kitab suci al-Qur’an adalah mengeluarkan manusia dari gelap-gulita kesesatan dan kekufuran menuju terang-benderangnya hidayah dan kebenaran iman. Ini diterangkan dalam firman Alloh [swt]:
“Inilah kitab yang Kami turunkan kepadamu untuk mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada terang-benderang dengan izin Robb mereka kepada jalan yang perkasa, lagi terpuji.” (QS. Ibrahim[14]: 1)
Untuk bisa mencapai tujuan itu, al-Qur’an menyebutkan beberapa metode dakwah yang revolusioner sebagaimana firman Alloh [swt]:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari Jalan–Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS.al-Nahl [16]:125)
Tiga metode dakwah yang terkandung dalam ayat ini, yaitu : metode al-Hikmah, metode al-Mau’izhoh dan metode mujadalah.
Metode al-Hikmah
Secara etimologis, al-Hikmah berarti kebijaksanaan, pendapat atau pikiran yang bagus, sarat ilmu dan keadilan. Hikmah juga diartikan ungkapan singkat yang padat isinya. Ibnu Jarir [rahimahu] menyebutkan al-Hikmah berarti al-Qur’an dan al-Hadits.[1] Kata hakama dan derivasinya terulang kurang lebih 210 kali dalam al-Qur’an.[2]
Makna al-Hikmah yang tersebar dalam al-Qur’an, mengandung tiga pengertian. Pertama, al-Hikmah dalam arti “penelitian terhadap segala sesuatu secara cermat dan mendalam dengan menggunakan akal dan penalaran.” Kedua, al-Hikmah yang bermakna “memahami rahasia-rahasia hukum dan maksud-maksudnya.” Ketiga, al-Hikmah yang berarti “kenabian atau nubuwwah.”
Adapun kata al-Hikmah menurut tafsir al-Maroghi, berarti perkataan yang jelas disertai dalil atau argumen yang dapat memperjelas kebenaran dan menghilangkan keraguan. al-Hikmah sebagai ilmu yang sahih yang mampu membangkitkan kemauan untuk melakukan suatu perbuatan yang bermanfaat dan kemampuan mengetahui rahasia dan faedah setiap sesuatu. al-Hikmah ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dan yang batil.
Sementara itu Sayyid Qutb [rahimahu] berpendapat yang dimaksud dengan hikmah adalah melihat situasi dan kondisi obyek dakwah. Memperhatikan kadar materi dakwah yang disampaikan kepada mereka, sehingga mereka tidak merasa terbebani terhadap perintah agama (materi dakwah) tersebut, karena belum siap mental untuk menerimanya. Memperhatikan metode penyampaian dakwah dengan bermacam-macam metode yang mampu menggugah perasaan, tidak memancing kemarahan, penolakan, kecemburuan dan terkesan berlebih-lebihan, sehingga tidak mengandung hikmah di dalamnya.
Dengan demikan, ungkapan bi al-hikmah ini berlaku bagi seluruh manusia sesuai dengan perkembangan akal, pikiran dan latar belakangnya, yang dapat diterima oleh orang yang berpikir sederhana serta dapat menjangkau orang yang lebih tinggi pengetahuannya. Sebab, yang dipanggil adalah pikiran, perasaan dan kemauan. Dengan begitu, dipahami bahwa al-hikmah berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya dan pada tujuan yang dikehendaki dengan cara yang mudah dan bijaksana.
Metode al-Mau’idhoh al-Hasanah
Kata mau’idhoh dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 9 kali.[3] Maw’idhah al-hasanah berarti nasehat yang baik. Ibnu Jarir menjelaskan bahwa pelajaran yang baik termasuk peringatan, teguran dan kejadian-kejadian yang telah dialami oleh manusia. Rosululloh diminta untuk mengingatkan umat supaya mereka lebih hati-hati dan waspada dengan adzab Alloh .[4]
Metode dakwah berbentuk nasehat ini ditemukan dalam al-Qur’an dengan memakai kalimat-kalimat yang menyentuh hati untuk mengarahkan manusia kepada ide-ide yang dikehendakinya, seperti nasehat Luqman al-Hakim kepada anaknya.
Metode dakwah al-Mau’izoh al-Hasanah merupakan cara berdakwah yang disenangi; mendekatkan manusia kepadanya dan tidak menjerakan mereka; memudahkan dan tidak menyulitkan. Singkatnya, ia adalah suatu metode yang mengesankan obyek dakwah. Peranan sang da’i adalah sebagai teman dekat yang menyayanginya, dan yang mencari segala hal yang bermanfaat baginya dan membahagiakannya.
al-Mau’izoh al-Hasanah adalah sesuatu yang dapat masuk ke dalam kalbu dengan penuh kelembutan; tidak berupa larangan terhadap sesuatu yang tidak harus dilarang; tidak menjelek-jelekkan atau membongkar aib orang. Sebab, kelemahlembutan dalam menasehati seringkali dapat meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar.
Metode al-Mujàdalah
Al-Mujàdalah bermakna diskusi atau perdebatan. Kata jadala (diskusi) dan turunannya terulang sebanyak 29 kali dengan berbagai bentuknya di beberapa tempat dalam al-Qur’an.[5]
Berdiskusi membutuhkan pemikiran yang tinggi dan wawasan keilmuan yang cukup. Sebab, al-Qur’an menyuruh manusia dengan istilah ahsan (dengan cara yang terbaik). Jidal (diskusi) disampaikan dengan ahsan (yang terbaik) menandakan jidal mempunyai tiga macam bentuk, ada yang baik, yang terbaik dan yang buruk.
Tafsir al-Maroghi mengartikan kalimat ‘wa jadilhum billatihiya ahsan’ dengan berdialog dan berdiskusi agar mereka patuh dan tunduk. Sedangkan Sayyid Qutb mengartikannya dengan: ‘berdialog dan berdiskusi bukan untuk mencari kemenangan, akan tetapi agar patuh dan tunduk terhadap agama untuk mencapai kebenaran. Diskusi atau perdebatan tidak boleh dilakukan dengan sikap emosional. Sebab, hal itu tidak akan mendekatkan orang kepada Islam, bahkan bisa terjadi sebaliknya.
Ibnu Katsir [rahimahu] berkata, “Jika diantara mereka ada yang mengajak diskusi dan berdebat, maka hendaklah hendaklah membantah mereka dengan wajah yang berseri, lemah lembut dan bahasa yang sopan. Sebagaimana firman Alloh [swt] dalam QS. al-‘Ankabut [29]: 46
“Dan janganlah kalian berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka.”
Sayyid Qutb [rahimahu] memberikan penjelasan al-mujàdalah bil lati hiya ahsan ialah dakwah yang tidak mengandung unsur pertikaian, kelicikan dan kejelekan, sehingga mendatangkan ketenangan dan kelegaan bagi juru dakwah. Tujuan perdebatan bukanlah mencapai kemenangan, tetapi penerimaan dan penyampaian kepada kebenaran. Jiwa manusia itu mengandung unsur keangkuhan, dan itu tidak dapat ditundukkan dengan pandangan yang saling menolak, kecuali dengan cara yang halus sehingga tidak ada yang merasa kalah. Dalam diri manusia bercampur antara pendapat dan harga diri, maka jangan ada maksud untuk tidak mengakui pendapat, kehebatan dan kehormatan mereka. Perdebatan yang baik adalah perdebatan yang dapat meredam keangkuhan ini; dan pihak yang berdebat merasa bahwa harga diri dan kehormatan mereka tidak tersinggung. Sesungguhnya sang da’i tidaklah bermaksud lain, kecuali mengungkapkan inti kebenaran dan menunjukkan jalan ke arah itu, yakni di jalan Alloh, bukan di jalan kemenangan suatu pendapat dan kekalahan pendapat yang lain.
Dalam melaksanakan dakwah dengan model diskusi ini, seorang da’i, selain harus menguasai ajaran Islam dengan baik juga harus mampu menahan diri dari sikap emosional dalam mengemukakan argumennya. Dia tidak boleh menyinggung perasaan dan keyakinan orang lain, sebab akan merugikan da’i, sehingga usaha dakwah dapat mengalami kegagalan. Yang paling baik ialah bahwa seorang da’i harus mampu bersikap lemah lembut dan menghargai pendapat orang lain diskusi sehingga tercipta suasana yang kondusif di medan diskusi.
(Red-HASMI)
[1]Ath-Thabari (XVII/321)
[2] Al-Mu’jam al-Mufahros
[3] Al-Mu’jam al-Mufahros
[4] Sahih Tafsir Ibnu Katsir V/280
[5] Al-Mu’jam al-Mufahros