Beliau adalah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Al-Mughiroh bin Bardizbah. Menurut pendapat lain bukan Bardizbah, tetapi Bazduzbah yang merupakan bahasa daerah Bukhara yang berarti petani. Sedangkan nama panggilan Imam Al-Bukhori adalah Abu Abdillah.
Abu bakar Ahmad bin Ali bin Tsabit Al-Hafizh yang sering disebut Al-Khathib Al-Baghdadi menceritakan kepada kita bahwa Bardizbah adalah seorang yang beragama Majusi dan meninggal dalam keadaan Majusi. Sedangkan anak Bardizbah Al-Mughirah telah masuk Islam di masa Al-Yaman Al-Bukhori Al-Ja’fi, seorang walikota daerah Bukhara.
Nama Yaman Al-Bukhori yang dimaksud di sini adalah Abu Abdillah Ja’far bin Yaman Al-Musnadi yang juga merupakan salah satu guru Imam Al-Bukhori.
Penduduk daerah Bukhara disebut Ja’fi karena penduduknya merupakan budak Yaman Al-Ja’fi sebagai pembawa panji-panji bendera Islam.
Al-hafizh berkata, “Ketika Ismail bin Ibrahi meninggal, Muhammad bin Ismail masih kecil. Oleh karena itu, Muhammad bin Ismail tumbuh dalam asuhan ibunya. Ibu Muhammad adalah seorang perempuan yang taat beribadah yang dikaruniai karomah. Di kisahkan Ghunjar dalam Tarikh Baghdad dan dalam Syarh As-Sunnah, Bab Karamatul Al-Auliya’ bahwa pada waktu kecil, kedua mata Muhammad bin Ismail telah buta. Kemudian ibu Muhammad dalam tidur melihat Nabi Ibrahim Al-Khalil [alayhis] berkata kepadanya, “Wahai kaum perempuan, sungguh Alloh telah mengembalikan kedua mata putramu karena kamu sering berdoa kepada-Nya.” Perawi menambahkan, “Di pagi harinya, sungguh Alloh telah mengembalikan penglihatan kedua mata Imam Al-Bukhori.”
Imam Al-Bukhori lahir di salah satu kota dari wilayah khurasan, tepatnya di daerah yang bernama Bukhara. Bukhara adalah kota tua yang indah dari sekian kota yang berada di wilayah Wara’ An-Nahar. Sebelum Islam masuk ke sana, Bukhara merupakan ibu kota Samaniyin. Ahli sejarah sepakat bahwa Islam masuk ke sana pada masa pemerintah Daulah Umayyah.
Al-Hafizh berkata, “Imam Al-Bukhori lahir di Bukhara pada hari Jum’at setelah sholat Jum’at dilaksanakan, tepatnya pada tanggal 13 syawal tahun 194 Hijriyah.”
Al-Mustanir bin Atiq berkata, ‘Dengan pesan tertulis dari ayahku, akhirnya pengasuhan Muhammad bin Ismail diserahkan kepadaku.’
Awal Menuntut Ilmu dan Semangatnya yang Tinggi
Tidak di sangka lagi bahwa awal pemberangkatan Imam Al-Bukhori adalah baik serta dari dasar yang murni dan tulus setelah mendapatkan pertolongan, penjagaan dan pemeliharaan dari Alloh [swt] yang demikian itu adalah faktor pendukung utama kebrilianan Imam Al-Bukhori dalam menuntut ilmu sejak masih dalam usia dini sekali.
Ayahnya adalah seorang ulama besar dalam bidang hadits dan ibunya seorang hamba Sholihah yang taat beribadah. Oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan bahwa Imam Al-Bukhori terlahir dari tempat keilmuan sehingga tidak mengherankan apabila muncul sosok Imam Al-Bukhori yang berilian sedemikian rupa.
Dari Al-Khathib Al-Baghdadi dari Abu Ja’far Muhammad bin Abi Hatim Al-Warraq An-Nawawi, dia berkata, “Aku bertanya kepada Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhori, “Apakah tujuanmu pertama kali dalam menuntut hadits.
Imam Al-Bukhori menjawab, “Ketika aku masih di Kuttab (tempat belajar untuk tingkat rendah bagi anak-anak), aku diberi semangat untuk menghafal hadits.” Muhammad bin Abi Hatim bertanya lagi, “Pada waktu usiamu sudah berapa tahun?” Imam Al-Bukhori menjawab, “Usiaku baru mencapai sepuluh tahun atau kurang dari itu. Aku keluar dari sekolah setelah Ashar, namun aku tidak langsung keluar bagitu saja. Aku terkadang masih tetap di ruang kelas di saat teman-temanku pulang.
Pada suatu hari, sesorang telah membacakan hadits untuk manusia, ia berkata, “Sufyan dari Abu Az-Zubair dari Ibrahim,” lalu berkata, “Wahai Abu Fulan, sesungguhnya Abu Az-Zubair tidak meriwayatkan hadits dari Ibrahim.
Karena perkataanku ini, akhirnya orang itu lalu menghardikku. Tetapi hardikan itu tidak membuat aku takut, lalu aku katakan kepadanya, “Apabila kamu memiliki catatan hasilnya, maka lihatlah kembali catatanmu tersebut.” Catatannya dan tidak berselang lama ia pun kembali lagi. Lalu ia berkata kepadaku, “Bagaimana mungkin ini terjadi nak! Lalu siapakah dia Ibrahim.” Mendengar penjelasanku, ia lalu mengambil penaku untuk membetulkan kitab catatannya. Setelah itu, ia berkata, “Kamulah yang benar.”
Sebagian teman Imam Al-Bukhori bertanya kepadanya, “Pada waktu itu, usiamu sudah berapa tahun?” Imam Al-Bukhori menjawab, sebelas tahun. Ketika aku telah menginjak dewasa, dalam usia enam belas tahun, aku sudah hafal kitab karya Ibnul Mubarak dan Waqi bin Jarrah, dan aku juga telah mengerti maksud perkataan mereka dalam kitab karya mereka.” Maksudnya adalah buah pikiran dan pandangan mereka yang termuat dalam kitab.
Akhirnya hanya kepada Alloh [swt] kami memohon semoga ini bermanfaat. Shalowat salam serta rahmat dari Alloh semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad [saw] keluarga dan para sahabatnya. Walloh a’lam bishowab.
(Red-HASMI)