KRITERIA PEMIMPIN UMAT
Tidak ada nikmat yang wajib senantiasa kita syukuri melainkan karena kita tetap dijadikan Alloh sebagai ummatulquran. Dan ketika kita membanggakan diri sebagai ummatulquran, maka wujud syukur kita adalah dengan berusaha secara maksimal untuk menjadikan alquran sebagai pijakan hidup ini dalam semua aspeknya. Termasuk diantaranya adalah menjadikan alquran sebagai pijakan dan rujukan dalam memilih pemimpin. Sebab, alquran adalah petunjuk bagi orang-orang bertakwa.
Maka diantara panduan alquran dalam memimpin adalah Firman Alloh subhanahu wata’ala dalam surah Al Anbiya ayat 73,
“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami dan telah kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami-lah mereka selalu menyembah”.
Ayat ini menyinggung sosok pemimpin ideal seperti yang ada pada diri para nabi manusia pilihan Alloh. Karena secara korelatif, sebelum dan setelah ayat ini berbicara tentang para nabi dan rasul. Mereka adalah orang-orang pilihan Alloh sekaligus pemimpin umat yang telah berhasil membawa kepada kebaikan kehidupan masyarakat pada masa itu. Kita-pun berharap mendapatkan para pemimpin yang mampu membawa kebaikan dan keberkahan di dunia dan dapat membawa kebahagiaan kelak di akhirat.
Yang sangat menarik untuk dicermati secara redaksional adalah pilihan kata ‘aimmah’ dalam ayat di atas. Kepemimpinan umumnya menggunakan terminologi khalifah atau Amir. Tentu pilihan kata tersebut bukan semata-mata untuk memenuhi aspek keindahan bahasa Al-Qur’an sebagai bagian dari kemu’jizatan al-qur’an, tetapi lebih dari itu merupakan sebuah isyarat tentang sosok pemimpin yang sesungguhnya diharapkan, yaitu sosok pemimpin ideal dalam sebuah negara atau masyarakat adalah juga layak menjadi pemimpin dalam kehidupan beragama bagi mereka. Mereka bukan hanya tampil di depan dalam urusan dunia, tetapi juga tampil di barisan terdepan dalam urusan agama. Inilah yang sering diistilahkan dengan agamawan yang negarawan atau negarawan yang agamawan.
Dan memang sejarah kesuksesan kepemimpinan terdahulu yang berdampak pada kebaikan dan kesejahteraan masyarakatnya seperti kepemimpinan di era Rosululloh dan para sahabatnya adalah bahwa pemimpin negara di masa itu juga pada masa yang sama adalah pemimpin shalat. Tidak pernah terjadi, bahwa pemimpin Negara saat itu hanya memiliki kualifikasi kepemimpinan dalam memenej negara, tetapi juga dalam memelihara dan mempertahankan kehidupan beragama umat. Karena urusan duniawi dan ukhrawi sesungguhnya merupakan satu kesatuan yang sinergis dalam totalitas ajaran Islam.
Kemudian ayat yang senada adalah disurah As-Sajdah ayat 24,
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”.
Kesabaran yang dimaksud dalam ayat ini yang menjadi pembeda dengan ayat pada surah Al-Anbiya’ adalah kesabaran dalam menegakkan kebenaran dengan tetap komitmen menjalankan perintah dan meninggalkan larangan Alloh. Selain itu sebelumnya mereka adalah orang-orang yang memiliki kwalitas keyakinan yang sangat tinggi.
Tentu bagi seorang pemimpin, tetap komitmen dengan kebenaran memerlukan mujaahadah (kesungguhan), keberanian dan kesabaran yang jauh lebih besar karena bisa dipastikan dirinya akan berhadapan dengan pihak yang justru menginginkan tersebarnya kebathilan dan kemaksiatan di tengah-tengah umat.
- Memberi Petunjuk Dengan Perintah Alloh
Menurut Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, ciri utama yang disebutkan di awal kedua ayat yang berbicara tentang kepemimpinan ideal adalah bahwa para pemimpin itu senantiasa mengajak rakyatnya kepada jalan Alloh dan kemudian secara aplikatif mereka memberikan keteladanan dengan terlebih dahulu. Mereka mencontohkan pengabdian dalam kehidupan sehari-hari yang dicerminkan dengan menegakkan shalat dan menunaikan zakat, sehingga mereka termasuk kelompok ‘abid’ yang senantiasa tunduk dan patuh mengabdi kepada Alloh Ta’ala dengan merealisasikan ajaran-ajaranNya yang mensejahterakan.
Tentunya, melahirkan pemimpin yang senantiasa “Memberi Petunjuk dengan Perintah Alloh” tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tidak cukup dengan popularitas, pencitraan, kedekatan maupun faktor keturunan dan seterusnya. Tapi memerlukan episode pembinaan kehidupan yang panjang untuk mendapatkan kriteria pemimpin ideal.
- Mereka Mengerjakan Kebajikan
Imam Asy-Syaukani dalam Tafsir Fathul Qadir menambahkan bahwa kriteria pemimpin yang memang harus ada adalah keteladanan dalam kebaikan secara universal sehingga secara eksplisit Alloh menegaskan tentang mereka: “Telah Kami wahyukan kepada mereka untuk senantiasa mengerjakan beragam kebajikan”. Fi’lal khairat yang senantiasa mendapat bimbingan Alloh adalah beramal dengan seluruh syariat Alloh secara integral dan paripurna dalam seluruh segmen kehidupan.
Pemimpin sejati harusnya senantiasa berpikir secara serius bahwa semua kebijakan dan keputusannya dipastikan mampu membawa kebaikan dalam kehidupan agama umatnya, keluarga, ekonomi, sosial masyarakatnya dan lain sebagainya. Ia tidak berpikir secara parsial, tetapi berpikir bagaimana kebaikan tersebut ada dalam semua lini kehidupan masyarakatnya.
- Mendirikan Shalat
Kenapa ketika menyinggung kriteria seorang pemimpin menyinggung hal shalat? Karena mengukur kebaikan seseorang yang utama dalam perspektif islam mau tidak mau haruslah melihat sejauh mana ia melaksanakan shalat.
Ini penting, karena yang menyampaikan tentang pentingnya shalat ini adalah Alloh Ta’ala sendiri yang mengulang-ulang dalam banyak ayat alquran ketika menyampaikan kriteria orang mukmin yang beruntung dan berbahagia.
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya…,”
(QS. Al Mu’minun: 1-5)
Begitu juga ketika Alloh Ta’ala menyampaikan tentang kriteria calon penghuni neraka adalah mereka yang meninggalkan shalat.
(QS. Al Mudattsir: 42-44)
Kalau kita melihat pemimpin sudah tidak pernah terlihat shalat, maka bagaimana kita berharap ia mampu menunaikan amanahnya sebagai pemimpin. Padahal shalat adalah amalan pertama kali yang akan diaudit oleh Alloh Ta’ala kelak di akhirat. Hal yang sangat penting ini saja diabaikan, bagaimana mungkin dirinya dijadikan pemimpin untuk keluarga dan masyarakat kita?!
- Menunaikan Zakat
Zakat adalah representasi simbol pengorbanan seseorang apalagi bagi seorang pemimpin. Zakat itu diambil dari orang-orang yang mampu kemudian dibagikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Maknanya, seorang pemimpin harus berpikir bagaimana cara mendistribusikan kekayaan kepada mereka yang membutuhkan. Ia berpikir agar kekayaan tidak dimonopoli oleh pihak-pihak tertentu, tetapi ia berpikir untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya, salahsatu sumbernya adalah pendistribusian zakat dan sumber-sumber lainnya.
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka …”.
(QS. At Taubah: 103)
- Dan Hanya Kepada Alloh Mereka Selalu Menyembah
Alloh berfirman: “Wakanu Lana Abidin” bukan “Wakanu Abidin” merupakan penegasan bahwa perbuatan baik yang mereka perbuat lahir dari rasa iman kepada Alloh dan jauh dari kepentingan politis maupun semata-mata malu dengan jabatannya. Maka kata ‘lana (hanya kepada Kami)’ adalah batasan bahwa hanya kepada dan karena Alloh mereka berbuat kebaikan, membuat kebijakan dan keputusan selama masa kepemimpinannya bahkan selama hidupnya.
Oleh karena itu, para pemimpin adalah harus dari hamba-hamba Alloh, bukan mereka yang menghamba dunia, jabatan, menghamba kepentingan asing yang merugikan kaum muslimin dan sebagainya. Ini penting untuk senantiasa kita perhatikan, karena hidup ini adalah amanah dan pilihan kita pun adalah amanah. Dan seluruh aktivitas yang kita lakukan di dunia ini, pasti akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Alloh Subhanahu Wa Ta’ala.
Wallohu A’lam..