IMAN DAN AMAL SHALEH SEBAGAI STANDAR KEBAIKAN
Al-Qur’ân memberikan petunjuk bahwa standar baiknya seseorang adalah keimanan dan amal shalehnya. Al-Qur’ân juga menunjukkan bahwa mengukur kebaikan seseorang berdasarkan pengakuan hampa, kekayaan yang Allâh subhanahu wata’ala berikan kepada seseorang atau berdasarkan jabatan adalah metode orang-orang menyimpang
Kaidah ini menunjukan bahwa bukti baiknya keadaan seseorang adalah keistiqamahannya dalam iman dan amal shaleh serta semangatnya untuk selalu bergegas melakukan kebaikan, bukan harta melimpah, bukan pula pengakuan-pengakuan hampa. Orang yang senantiasa melakukan perbuatan taat dan konsisten menjalankan al-Qur’an dan sunnah, dialah orang baik, sebaliknya yang tidak seperti itu berarti dia buruk, bagaimanapun pengakuan dan perkataannya.
Kaidah dijelaskan dalam banyak ayat, diantaranya firman Allâh subhanahu wata’ala:
Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun, tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal (shaleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan.
(Qs. Saba’ [34]:37)
Juga firman-Nya :
(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allâh dengan hati yang bersih,
(Qs. As-Syu’ara [26]:88-89)
Sebagian orang mengira bahwa harta melimpah yang diberikan oleh Allâh subhanahu wata’ala kepada seseorang adalah tanda kedekatan mereka kepada Allâh subhanahu wata’ala dan kecintaan Allâh subhanahu wata’ala kepada mereka. Ini merupakan sangkaan yang keliru. Seandainya karunia harta itu merupakan bukti kecintaan Allâh subhanahu wata’ala kepada mereka tentu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang paling banyak menerima anugerah ini. Namun faktanya, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam miskin dan beliau n menjelaskan bahwa dunia diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki sedangkan akhirat hanya diberikan kepada insan yang bertaqwa.
Adapun tentang kelompok kedua yaitu kelompok menyimpang. Allâh subhanahu wata’ala menceritakan perkataan orang-orang yahudi dan Nashara :
Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani”. demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah, “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”.
(Qs. Al-Baqarah [2]:111)
Kemudian Allâh subhanahu wata’ala menyebutkan burhân (bukti) yang bisa menghantarkan seseorang masuk surga dengan firman-Nya :
(Tidak demikian) bahkan barangsiapa menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Rabbnya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
(Qs. Al-Baqarah [2]:112)
Allâh subhanahu wata’ala juga berfirman :
Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat kami yang terang (maksudnya), niscaya orang-orang yang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman, “Manakah di antara kedua golongan (kafir dan mukmin) yang lebih baik tempat tinggalnya dan lebih indah tempat pertemuan(nya)?”
(Qs. Maryam [19]:73)
Dalam ayat ini, mereka menjadikan kebagusan tempat tinggal dan tempat pertemuan mereka sebagai indikasi baiknya keadaan mereka.
Juga firman-Nya:
Dan mereka berkata, “Mengapa al-Quran ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini ?”
(Qs. Ukhruf [43]:31)
Diantara para Ulama ahli tafsir ada yang menjelaskan bahwa yang mereka maksud dengan orang besar adalah al-Walîd bin al-Mughîrah dan Urwah bin Mas’ûd ats-Tsaqafi. Standar mereka adalah kekayaan dan ketokohan mereka, padahal Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tokoh terbaik.
Dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa orang-orang kufar menjadikan keunggulan mereka dalam hal dunia dan ketokohan sebagai bukti bagusnya kondisi mereka. Sebaliknya, mereka mencela kaum Muslimin dan menganggap kekurangan kaum Muslimin dalam dua hal di atas sebagai bukti rusaknya agama kaum Muslimin.
Oleh karena itu, seyogyanya seorang Muslim menjadikan kwalitas keistiqamahan seseorang dalam menjalankan agama sebagai standar baik atau buruknya seseorang, bukan harta melimpah serta bukan pula jabatan yang berhasil diraih.
Wallahu’alam..
(Red-HASMI)