Jual Beli Dalam Islam – Islam mengatur hubungan di antara manusia, bagaimana ketika mereka berada di pasar, toko, bercocok tanam, dalam perjalanan, saat di rumah dan di jalan. Tidak ada sesuatu pun yang mereka butuhkan dalam kehidupan mereka melainkan dijelaskan Islam dengan aturan yang adil dan susunan yang baik. Islam merupakan agama yang mulia. Islam agama yang mengatur seluruh aktifitas kehidupan manusia, baik itu sifatnya ibadah maupun muamalah. Dalam ibadah, agama Islam sudah mempunyai rukun Iman dan rukun Islam dengan berbagai rinciannya. Begitupun dalam masalah muamalah, tata aturan manusia semuanya diatur sedemikian rupa termasuk di dalamnya adalah masalah jual beli.
Sebagian manusia membutuhkan sebagian yang lain dalam kehidupan dunia ini, karena manusia merupakan makhluk sosial, membutuhkan rekannya, sebagaimana rekannya juga membutuhkan dia. Oleh karena itu manusia disebut sebagai makhluk sosial.
Jual beli merupakan salah satu aktifitas kehidupan manusia yang berjalan hampir setiap waktu. Kebutuhan hidup yang semakin tinggi menjadikan aktifitas ini selalu rutin dilakukan baik itu di pasar, warung maupun di toko-toko. Tetapi sadarkah kita bahwa aktifitas jual beli yang kita anggap sesuatu yang sepele itu ternyata mempunyai tempat tersendiri dalam syariat Islam? Di bawah ini kita akan sama-sama mempelajari apa dan seperti apa aktifitas jual beli yang diajarkan oleh Islam.
Definisi Jual Beli
Secara bahasa, jual beli adalah mengambil sesuatu dengan memberikan sesuatu. Sedangkan secara istilah, maka para ulama berbeda pendapat dalam mendifinisikannya. Secara umum jual beli didefinisikan sebagai berikut, yaitu saling bertukar harta, walaupun dalam bentuk jaminan atau manfaat (jasa) yang dibolehkan bersifat permanen, yang tidak berupa riba dan tidak pula berupa pinjaman.
Hukum Jual Beli
Para ahli fikih telah sependapat bahwa jual-beli disyariatkan sebagai kegiatan yang dibolehkan.
Alloh subhanahu wata’ala berfirman:
“Dan persaksikanlah apabila kalian berjual-beli.” (QS. al-Baqarah [2]: 282)
“Padahal Alloh telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (QS. al-Baqarah [2]: 275)
Nabi sholallohu’alaihi wasallam bersabda,
“Dua orang yang melakukan jual-beli berhak untuk khiyar (memilih untuk melangsungkan atau mem-batalkan transaksi) selama mereka belum berpisah.” (HR. al-Bukhori dan Muslim)
Adapun ijma’, maka kaum Muslimin secara umum telah sepakat tentang bolehnya jual-beli.
Rukun Jual-Beli
Mengenai hal ini, ada tiga pendapat ahli fiqih:
Pertama, transaksi jual-beli tidak sah kecuali dengan ungkapan ijab-qabul (serah-terima), dan ini adalah hukum asal akad, baik dalam jual-beli, sewa-menyewa, hi-bah, nikah, pemerdekaan budak dan se-bagainya. Ini adalah zhahir pendapat asy-Syafi’i, dan ini juga satu pendapat dalam madzhab Ahmad, sementara jumhur ulama telah memastikan demikian.
Kedua, akad hukumnya sah hanya de-ngan perbuatan untuk hal-hal yang akad-nya banyak dilakukan dengan perbuatan, seperti jual-beli dengan serah-terima barang-barang yang murah bukan untuk barang-barang yang berharga. Seperti halnya wakaf, orang yang membangun masjid dan mengizinkan khalayak untuk shalat di dalamnya. Demikian juga seperti sebagian jenis persewaan (penggunaan jasa/tenaga), seperti orang yang menyerahkan pakaiannya kepada tukang cuci atau penjahit untuk mengerjakannya dengan upah dan sebagainya. Demikian pendapat yang dikatakn oleh Abu Hanifah dan Ibnu Suraij. Ini juga satu pendapat dalam madzhab Ahmad dan sebagian dari madzhab asy-Syafi’i.
Ketiga, akad dianggap sah dengan segala hal yang menunjukkan pada tujuannya, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Jadi, setiap hal yang dianggap oleh manusia sebagai jual-beli dan persewaan, maka itu adalah jual-beli dan persewaan, walaupun manusia berbeda-beda dalam pengungkapan dan perbuatan. Inilah pendapat yang dominan berdasarkan prinsip-prinsip madzhab Malik, zhahir madzhab Ahmad, dan satu riwayat dari Abu Hanifah.
Jual-Beli yang Diharamkan
- Riba
Riba secara bahasa, berarti bertambah. Sedangkah menurut istilah syariat, adalah penambahan nilai pada sesuatu yang khusus. Hukumnya adalah haram berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijma’. - Gharar (Penipuan)
Gharar adalah yang tidak diketahui akibatnya, tidak diketahui apakah ada atau tidak. - Jahalah (Ketidakjelasan)
Adalah ketidakjelasan yang parah atau yang bisa menyebabkan perselisihan yang sulit dipecahkan, yaitu perselisihan yang berpangkal pada kesamaan kuatnya argumen kedua belah pihak akibat ketidakjelasan. Misalnya, seseorang menjual seekor kambing di antara kawanan kambing yang ada (tanpa menyebutkan secara jelas kambing mana yang dijual). - Dharar (Merugikan)
Jika barang dagangan yang tidak mungkin diserahkan, ketika penyerahan, kecuali dengan menimbulkan mudharat terhadap penjual berkenaan dengan hartanya selain barang yang dijualnya. Misalnya, seseorang menjual pondasi tertentu pada suatu bangunan, atau menjual lengan dari sebuah pakaian yang menyebabkan kerugian bila dipotong. Karena pelaksanaan jual-beli ini bisa menyebabkan runtuhnya bangunan di sekitar pondasi yang dijual, dan menyebabkan terpotongnya pakaian tersebut. - Maisir (Judi)
Al-Maisir adalah al-qimar (judi). Kata ini berasal dari kata al-yusr yang artinya as-suhulah (kemudahan), karena praktik ini merupakan usaha tanpa kesulitan dan tidak perlu bersusah payah. Atau bisa juga berasal dari kata al-yasar yang artinya al-ghina’ (kaya), karena praktik ini dimaksudkan untuk cepat kaya. Atau bisa juga berasal dari kata al-yasar yang bermakna at-tajzi’ah dan al-iqtisam (berbagi). Ada yang mengatakan, setiap yang megandung ke-rugian adalah maisir.
Jual beli yang diharamkan karena Mengandung Unsur Gharar dan Ketidakjelasan.
- Jual-beli munabadzah.
Yaitu seseorang mengadakan transaksi jual-beli dengan melemparkan bajunya kepada orang lain, dan orang lainnya pun melemparkan bajunya kepadanya tanpa mencermati lebih dahulu, dan masing-masing (keduanya) mengatakan, “Ini dijual dengan ini.”Atau penjual mengatakan kepada pembeli, “Baju manapun yang aku lemparkan kepadamu, maka harganya tiga puluh pound (junaih).” Padahal harga baju yang ada di tempat itu beragam. Begitu pula bila pembeli mengatakan kepada penjual, “Baju manapun yang engkau lemparkan kepadaku, maka harganya sekian.”Semua transaksi ini dilarang, berdasarkan larangan yang disebutkan dalam hadits shohih.
Dari Abu Sa’id al-Khudri, Rasululloh sholallohu’alaihi wasallam melarang munabadzah, yaitu seseorang melemparkan bajunya kepada orang lain untuk dijual (kepadanya) sebelum ia (si pembeli) membelikannya atau melihatnya.
- Jual-beli Mulamasah
Yaitu seseorang hanya menyentuh pakaian tanpa membentangkannya dan tidak mengetahui apa yang ada di dalam-nya, atau membelinya pada malam hari dan tidak mengetahui apa yang ada di dalamnya.Diriwayatkan dari Abu Hurairah rodhiyallohu’anh, Rasululloh sholallohu’alaihi wasallam bersabda:
“Dan (dilarang pula) dua macam jual-beli, yaitu: limas (mulasamah) dan nibadz (munabadzah). (HR. al-Bukhori: 2145) - Jual-beli hashah
Yaitu penjual atau pembeli melemparkan kerikil. Pada pakaian mana pun yang terkena lemparan, maka itulah yang dijual, tanpa dicermati, dilihat dan khiyar (hak pilih) setelahnya.Diriwayatkan dari Abu Hurairah rodhiyallohu’anh, ia mengatakan, “Rasululloh melarang jual-beli hashah dan jual-beli gharar. (HR. Muslim) - Jual-beli buah-buahan sebelum tampak kelayakannya (mu’awamah dan mukhadharah)
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, “Nabi sholalllou’alaihi wasallam melarang jual-beli buah-buahan sampai tampak kelayakannya. Beliau melarang, baik penjual maupun pembelinya.” (HR. al-Bukhori dan Muslim)Alasan pelarangannya, karena jual-beli ini termasuk jual-beli buah-buahan sebelum tampak matangnya (sebelum layak diambil). Alasan lainnya, bila terjadi jual-beli untuk beberapa tahun, maka se-bagaimana diketahui bahwa pada tahun kedua buah-buahan itu belum ada. Bila jual-beli buah-buahan yang sudah ada na-mun belum tampak matangnya saja dila-rang, maka sebagaimana halnya dengan jual-beli buah-buahan yang belum ada? - Jual-beli ‘Inah
Secara bahasa, al-‘Inah adalah as-salaf (pinjaman). Adapun pengertiannya, menurut istilah syariat, yaitu penjual menjual sesuatu kepada orang lain dengan pembayaran bertempo, dan ia menyerahkan barangnya kepada si pembeli, kemudian ia membelinya kembali secara tunai sebelum menerima pembayaran si pembeli itu dengan harga yang lebih rendah daripada harga saat ia menjualnya.Contohnya, penjual mengatakan, “Saya menjual sebuah mobil kepada Zaid seharga dua puluh ribu riyal dengan tempo satu tahun.” Ini adalah jual-beli nasi’ah (kredit/bertempo). “Lalu saya membelinya kembali dari orang tersebut seharga delapan belas ribu riyal.”
Jual beli semacam ini haram, tidak boleh dilakukan, karena cara ini merupakan tipu daya yang sangat jelas. Karena, dalam praktiknya, seseorang menyerahkan uang dan menerima uang.Rasululloh sholallohu’alaihi wasallam bersabda:
“Jika kalian melakukan jual-beli dengan sistem ‘inah, mengikuti ekor sapi, rela dengan pertanian, dan meninggalkan jihad, maka Alloh menimpakan kepada kalian dengan kehinaan yang tidak akan dilepaskan-Nya hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud) - Jual-beli Muhaqalah
Secara bahasa, muhaqalah berasal dari kata haql, yaitu ladang atau tempat menanam. Sedangkan menurut istilah syariat, muhaqalah adalah menjual gandum yang masih dalam bulirnya dengan gandum yang sudah dikupas dengan cara diterka dan diperkirakan.Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah, ia mengatakan, “Rosululloh telah melarang muhaqalah dan muzabanah.” (HR. al-Bukhori dan Muslim)Demikianlah beberapa hal seputar jual-beli dalam Islam. Tentu ini adalah hanya sebagian kecil yang kita bahas seputar jual-beli dalam Islam masih banyak hal-hal yang yang belum diungkap. Semoga apa yang disajikan bisa bermanfaat dan berfaidah besar bagi kita semuanya. Amin.
Dari Berbagai Sumber
Baca juga artikel Harta Keutamaan Ilmu