Zakat Fitrah, “Hikmah Kepedulian Terhadap Sesama” – Idul Fitri tak lama lagi menjelang. Setiap Muslim tentu berharap kemenangan berpihak kepadanya. Kesucian Romadhon yang agung tertoreh dalam bilik jiwanya. Dan menjadi bekal meniti jalan kehidupan yang masih panjang.
Namun, belumlah sempurna kemenangan itu bila setiap individu lupa menunaikan zakat fitrah yang merupakan penutup rangkaian ibadah bulan Romadhon. Sebab Alloh subhanahu wata’ala telah mewajibkan setiap Muslim atasnya. Di dalam zakat fitrah terkandung beragam tujuan serta hikmah yang tak hanya terkait dengan hubungan manusia dengan Robbnya, melainkan juga hubungan dengan sesamanya.
Seperti diungkapkan oleh para ulama, bahwa zakat fitrah merupakan jenis zakat yang wajib dikeluarkan oleh setiap Muslim. Artinya, kewajiban ini tak hanya menempel pada mereka yang berpuasa. Tetapi, anak-anak, orang tua, orang yang sakit, bahkan bayi yang lahir di bulan Romadhon pun wajib dikeluarkan zakat fitrahnya.
Ada tujuan di balik kewajiban tersebut. Salah satunya adalah jangan sampai terjadi ada orang yang kelaparan pada hari raya idul fitri. Tertunaikannya zakat fitrah diharapkan membuat semua orang berbahagia, karena memiliki makanan yang dapat mereka konsumsi di hari raya umat Islam tersebut.
Bahkan Rosululloh Muhammad sholallohu’alaihi wasallam menegaskan, “Jangan sampai ada orang yang meminta-minta pada hari raya.”.
Selajutnya, zakat fitrah ini merupakan sebuah simbol, yaitu kepedulian seorang individu terhadap sesamanya. Jadi puasa saja tidak cukup untuk mengantarkan seseorang kepada kebajikan. Agar puasanya sempurna maka seorang Muslim wajib mengeluarkan zakat fitrah.
Namun, zakat fitrah dengan ketentuan setara dengan 2,5 kg beras tentu sangatlah sedikit jumlahnya. Seharusnya kita semua menyepakati, agar setelah menunaikan zakat jangan berpandangan bahwa kewajiban menunaikan zakat telah selesai.
Kewajiban zakat fitrah adalah hanya sebagai simbol kepedulian pada nasib orang lain. Ada kewajiban lain yang juga harus ditunaikan, seperti zakat mal, infak, dan sedekah yang harus dikeluarkan untuk membantu mereka yang dalam keadaan papa.
Kita harus mengakui, bahwa kesadaran umat akan kewajiban ini amatlah kurang. Masih perlu sosialisasi yang lebih intens. ”Masyarakat selalu menganggap kalau sudah berzakat fitrah maka tak ada kewajiban lain yang harus ia tunaikan. Padahal zakat fitrah hanya senilai 2,5 kg beras,” kata salah seorang pakar zakat di negeri kita ini.
Tegakah seorang Muslim hanya mengeluarkan 2,5 kg beras dalam kurun waktu setahun sekali. Padahal di sekelilingnya masih banyak fakir miskin yang membutuhkan bantuan. Tak seharusnya mereka menahan lapar dan dahaga padahal di sebelah mereka tegak orang yang lebih mampu.
Nabi Muhammad sholallohu’alaihi wasallam menyatakan, bukanlah golongan umatnya jika dia tertidur dalam keadaan kenyang sedangkan tetangganya tak bisa tidur karena rasa lilitan kelaparan yang mereka tahan begitu lama.
Dalam surat Al-Ma’un juga diuraikan mereka yang membiarkan anak yatim dan tak memberikan bagian hartanya kepada fakir miskin dapat digolongkan sebagai orang yang mendustakan agama.
Di belahan bumi ini masih banyak kita temukan saudara-saudara seiman yang hidup di bawah garis kemiskinan. Baik itu disebabkan oleh ketidak stabilan politik dan perekonomian, maupun dikarenakan faktor minimnya sumber daya manusia. Tengoklah misalnya di negara Afganisthan, Irak, dan Bosnia yang sampai saat ini rakyatnya terus dirundung ketidak jelasan nasib dan keburaman sosial yang diakibatkan tidak stabilnya kondisi politik dan ekonomi negara. Atau tak usah jauh bila kita mau menengoknya. Di belahan negeri kita ini, wilayah mana yang tidak terjajah oleh kemiskinan. Hampir di semua sudut dan tempat, bisa kita dapati fenomena menyedihkan ini.
Di berbagai media massa akan banyak kita temukan gambaran kesengsaraan mereka, kondisi jauh dari kesejahteraan menjadi topik utama dalam mengisi harian surat kabar dan layar televisi rumah kita. Realitas buruk ini tidak cukup dengan membiarkan mereka untuk membangun kembali keterpurukan politik dan ekonomi negaranya yang selama ini menjadi sumber utama kesengsaraan, sementara kita yang menjadi saudara seimannya hanya sibuk dengan urusan pribadi bahkan dengan kebahagiaan nisbi dalam perayaan-perayaan. Justru adanya langkah nyata dari kita lah yang akan membantu mengeluarkan mereka dari belenggu kesengsaraan, tentunya dengan bantuan baik berupa moril maupun materil. Dan zakat fitrah adalah salah satu dari bentuk bantuan materil yang bisa kita salurkan kepada mereka.
Apalah artinya kalau kita berbahagia bersama anak cucu, kerabat, dan teman-teman dekat kalau mereka yang notebene saudara seiman justru merasakan suasana kebalikannya. Akankah fenomena kesengsaraan dan kematian akibat kelaparan yang setiap saat menghantui mereka menjadi sesuatu yang lumrah mengisi hari-hari kita, hingga sama sekali tidak membangkitan rasa peduli kita? atau bahkan kita akan menganggapnya sebagai sebuah konsekuensi dari sikap dan perbuatan mereka dalam menjalani kehidupan berbangsa? Sungguh sangat naif kalau dalam diri kita tersimpan sikap-sikap di atas. Bukankah Rosul sholallohu’alaihi wasallam pernah mengingatkan umatnya akan efek dari sebuah kemiskinan, bahwa kemiskinan akan menjerumuskan seseorang ke dalam kekufuran.
Apakah kita rela kekufuran akan mengganti intisari keimanan mereka? Bukankah Rosul sholallohu’alaihi wasallam juga pernah bersabda, “Bahwa orang yang tidak peduli dengan kondisi umat Islam maka dia tidak termasuk darinya.”
Dari hadist ini saja sebenarnya dianggap cukup untuk mencambuk ke”relaan” kita dalam melihat realitas ketimpangan sosial dan kondisi tidak meratanya kesejahteraan dalam komunitas kaum muslim.