Ucapan selamat natal sejak beberapa tahun ini menjadi kontroversi. Sebagian kalangan membolehkan kaum Muslimin untuk mengucapkan selamat natal kepada penganut agama Kristen (Nashrani) karena dianggap sebagai bentuk ihsan (berbuat baik).
Sudah sering kita mendengar ucapan semacam ini menjelang perayaan Natal yang dilaksanakan oleh mereka. Mengenai boleh atau tidaknya mengucapkan selamat natal kepada orang Nashrani, sebagian kaum Muslimin masih kabur mengenai hal ini. Sebagian di antara mereka dikaburkan oleh pemikiran sebagian orang yang dikatakan pintar (cendekiawan), sehingga mereka menganggap bahwa mengucapkan selamat natal kepada orang Nashrani tidaklah mengapa (alias ‘boleh-boleh saja’). Bahkan sebagian orang pintar tadi mengatakan bahwa hal ini diperintahkan atau dianjurkan.
Namun untuk mengetahui manakah yang benar, tentu saja kita harus merujuk pada al-Qur’an dan as-Sunnah, juga pada ulama yang mumpuni, yang betul-betul memahami agama ini. Ajaran Islam ini janganlah kita ambil dari sembarang orang, walaupun mungkin orang-orang yang diambil ilmunya tersebut dikatakan sebagai cendekiawan. Namun sayang seribu sayang, sumber orang-orang semacam ini kebanyakan merujuk pada perkataan orientalis barat yang ingin menghancurkan agama ini. Mereka berusaha mengutak-atik dalil atau perkataan para ulama yang sesuai dengan hawa nafsunya. Mereka bukan karena ingin mencari kebenaran dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan RasulNya, namun sekedar mengikuti hawa nafsu.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,“Jika kalian kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)kalian dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hambaNya; dan jika kalian bersyukur, niscaya Dia meridhai bagi kalian kesyukuran kalian itu.” (Qs. az Zumar : 7).
Allah Ta’ala juga berfirman, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian ni’matKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagi kalian.” (Qs. al Maidah: 3).
Perlu Dibedakan antara Ihsan (Ber-buat Baik) dan Wala’ (Loyal)
Harus dipahami bahwa birr atau ihsan (berbuat baik) itu jauh berbeda dengan wala’ (bersikap loyal). Ihsan adalah sesuatu yang dituntunkan. Ihsan itu diperbolehkan baik pada muslim maupun orang kafir. Sedangkan bersikap wala‘ pada orang kafir tidak diperkenankan sama sekali.
Tentang hal ini Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin Rahimahullah, pernah ditanya, “Apa hukum mengucapkan selamat natal (Merry Christmas) pada orang kafir (Nashrani) dan bagaimana membalas ucapan mereka? Bolehkah kami menghadiri acara perayaan mereka (perayaan Natal)? Apakah seseorang berdosa jika dia melakukan hal-hal yang dimaksudkan tadi, tanpa maksud apa-apa? Orang tersebut melakukannya karena ingin bersi-kap ramah, karena malu, karena kondisi tertekan, atau karena berbagai alasan lainnya. Bolehkah kita tasyabbuh (menyerupai) me-reka dalam perayaan ini?
Beliau Rahimahullah menjawab, “Bahwa mengucapkan ‘Happy Christmas (Selamat Natal)’ atau perayaan keagamaan mereka lainnya kepada orang-orang Kafir adalah haram hukumnya menurut kesepakatan para ulama (Ijma’). Hal ini sebagaimana dinukil dari Ibn al-Qoyyim Rahimahullah di dalam kitabnya ‘Ahkam ahl adz-Dzimmah’, beliau Rahimahullah berkata, “Adapun mengucapkan selamat berkenaan dengan syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi mereka adalah haram menurut kesepakatan para ulama, seperti mengucapkan selamat terhadap hari-hari besar mereka dan puasa mereka, sembari mengucapkan, ‘Semoga hari raya anda diberkahi’ atau anda yang diberikan ucapan selamat berkenaan dengan perayaan hari besarnya itu dan semisalnya. Perbuatan ini (dapat menyebabkan keku-furan), kalaupun orang yang mengucapkan-nya dapat lolos dari kekufuran, maka dia tidak dapat lolos dari melakukan hal-hal yang di haramkan.
Ucapan semacam ini setara dengan ucapannya terhadap perbuatan sujud terhadap salib bahkan lebih besar dari itu dosanya di sisi Alloh Subhanahu wa Ta'ala. Dan amat dimurkai lagi bila memberikan selamat atas minuman-minuman khomer, membunuh jiwa, melakukan perzinaan dan sebagainya. Banyak sekali orang yang tidak sedikitpun tersisa kadar keimanannya, yang terjatuh ke dalam hal itu sementara dia tidak sadar betapa buruk perbuatannya tersebut. Jadi, barangsiapa mengucap-kan selamat kepada seorang hamba karena melakukan suatu maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka berarti dia telah menghadapi kemurkaan Alloh Subhanahu wa Ta'ala dan kemarahan-Nya.”
Mengenai kenapa Ibnu Qoyyim Rahimahullah sampai menyatakan bahwa mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir berkenaan dengan perayaan hari-hari besar keagamaan mereka haram dan posisinya demikian, karena hal itu mengandung persetujuan terhadap syiar-syi’ar kekufuran yang mereka lakukan dan meridhai hal itu dilakukan oleh mereka sekalipun dirinya sendiri tidak rela terhadap kekufuran itu, akan tetapi adalah haram bagi seorang muslim meridhoi syi’ar-syi’ar kekufuran atau mengucapkan selamat kepada orang lain berkenaan dengannya karena Alloh Subhanahu wa Ta'ala tidak meridhoi hal itu, sebagaimana dalam firmanNya: “Jika kalian kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman) kalian dan Dia tidak meridhai keka-firan bagi hamba-Nya; dan jika kalian ber-syukur, niscaya Dia meridhai bagi kalian kesyukuran kalian itu.” (QS az-Zumar: 7).
Firman-Nya juga: “…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agama bagi kalian….”. (QS al-Maidah: 3).
Jadi, mengucapkan selamat kepada me-reka berkenaan dengan hal itu adalah haram,baik mereka itu rekan-rekan satu pekerjaan dengan seseorang (Muslim) ataupun tidak.
Bila mereka mengucapkan selamat ber-kenaan dengan hari-hari besar mereka kepada kita, maka kita tidak boleh menjawabnya karena hari-hari itu bukanlah hari-hari besar kita. Juga karena ia adalah hari besar yang tidak diridhoi Alloh Subhanahu wa Ta'ala, baik disebabkan per-buatan mengada-ada ataupun disyari’atkan di dalam agama mereka akan tetapi hal itu semua telah dihapus oleh Dinul Islam yang dengannya Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam diutus Alloh Subhanahu wa Ta'ala kepada seluruh makhluk. Alloh Subhanahu wa Ta'ala berfirman, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali Imron: 85).
Oleh karena itu, hukum bagi seorang Muslim yang memenuhi undangan mereka berkenaan dengan hal itu adalah haram, sebab lebih besar dosanya ketimbang mengucapkan selamat kepada mereka berkenaan dengannya. Memenuhi undangan tersebut mengandung makna ikut berpartisipasi bersama mereka di dalamnya.
Demikian pula, haram hukumnya bagi kaum Muslimin menyerupai orang-orang kafir, seperti mengadakan pesta-pesta berkenaan dengan hari besar mereka tersebut, saling berbagi hadiah, membagi-bagikan manisan, hidangan makanan, meliburkan pekerjaan dan semisalnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Daud).
Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata di dalam kitabnyaIqtidla ash-Shiroth al-Mustaqim, Mukhalafah Ashhab al-Jahim, “Menyerupai mereka di dalam sebagian hari-hari besar mereka mengandung konsekuensi timbulnya rasa senang di hati mereka atas kebatilan yang mereka lakukan, dan barangkali hal itu membuat mereka antusias untuk mencari-cari kesempatan (dalam kesempitan) dan menghinakan kaum lemah (iman).”
Dan barangsiapa yang melakukan sesuatu dari hal itu, maka dia telah berdosa, baik melakukannya karena berbasa-basi, ingin mendapatkan simpati, rasa malu, atau sebab-sebab lainnya karena ia termasuk bentuk peremehan terhadap Dinulloh dan merupakan sebab hati orang-orang kafir menjadi kuat dan bangga terhadap agama mereka.
Kepada Alloh Subhanahu wa Ta'ala kita memohon agar memuliakan kaum muslimin dengan Dien mereka, menganugerahkan kemantapan hati dan memberikan pertolongan kepada mereka terhadap musuh-musuh mereka, sesungguhnya Dia Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
Sumber:
Majmu Fatawa Fadlilah asy-Syaikh Muham-mad bin Shalih al-Utsaimin, Jld.III, hal.44-46, No.403.
Alloh Subhanahu wa Ta'ala berfirman: “Kebenaran itu adalah dari Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kalian termasuk orang-orang yang ragu.” (QS. al-Baqarah: 147).
Ibnu Mas’ud Radhiallahu anhu berkata, “Janganlah engkau menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, berjalanlah dengan ajaran al-Qur’an ke manapun ia mengarah. Barangsiapa yang datang kepadamu membawa kebenaran, terimalah ia meskipun ia orang yang jauh dan engkau benci. Barangsiapa yang datang kepadamu dengan membawa kebatilan, maka tolaklah ia meskipun ia termasuk kerabat yang engkau cintai.”