Di Nganjuk, Jawa Timur, warga sebuah desa di tengah hutan rela berjalan kaki hingga berkilometer untuk mengarak dua orang sinden ke makam seorang tokoh leluhur mereka di puncak Gunung Perahu.
Di makam tersebut, warga lantas menyampaikan segala permintaannya, sementara dua sinden yang di arak menyanyikan tembang-tembang Jawa dengan iringan musik mulut.
Pada tahun-tahun sebelumnya, pagi adalah hari istimewa bagi warga yang tinggal di lereng Gunung Kendeng, tepatnya di Desa Bajang Kecamatan Ngluyu Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.
Bertepatan dengan 1 Rajab di bulan Jawa, warga beramai-ramai mengarak dua orang sinden menuju ke sebuah makam keramat di puncak gunung perahu (yang berdekatan dengan Gunung Kendeng).
Sembari berjalan kaki, warga juga membawa berbagai perlengkapan ritual, termasuk nasi selamatan lengkap dengan lauk pauknya.
Pada proses arak-arakan ini, dua sinden ataupun warga tidak boleh naik kendaraan, tetapi harus murni berjalan kaki hingga sejauh 3 kilometer dengan jalanan yang menanjak.
Sampainya di puncak gunung perahu, warga langsung menuju ke makam Dampu Awing, yakni seorang tokoh pada zaman kerajaan Mataram yang kini dikeramatkan.
Melalui sang juru kunci yang menjaga makam, warga langsung menyampaikan segala keinginannya, baik dalam hal pekerjaan, kesembuhan dari berbagai macam penyakit, hingga putranya lulus dalam ujian nasional.
Sementara itu, dua sinden yang diarak langsung membawakan sejumlah tembang Jawa dengan iringan musik tradisional. Uniknya, musik yang mengiringi bukan lagi gamelan, tetapi musik yang didengungkan dari mulut para panjak (musisi gamelan).
Darmini mengaku, sengaja menggelar ritual seperti ini tiap tahun karena yakin segala keinginannya akan terkabul jika sudah mempersembahkan sesaji dan berdoa di makam Dampu Awing.
“Sebaliknya, jika tradisi ini ditinggalkan, warga takut desa mereka yang berada di tengah hutan ini akan ditimpa bencana,” paparnya.
Selain itu, Perangkat Desa Bajang Mardi menjelaskan, tradisi ini sudah rutin di gelar secara turun temurun oleh warga di Desa Bajang.
“Dahulunya tempat di sekitar gunung perahu ini adalah danau yang sangat luas,” terangnya.
Mardi menambahkan, sang Dampu Awang yang datang dengan mengendarai kapalnya tiba-tiba terdampar di tempat ini, hingga lama kelamaan air danau mengering, kawasan ini berubah menjadi hutan dan perahu Dampu Awang membentuk gundukan tanah.
“Gundukan tanah dari puing-puing perahu inilah yang kemudian di sebuah gunung perahu dan setelah meninggal dunia, jasad Dampu Awang dimakamkan di tempat ini,” imbuhnya.
Mardi menjelaskan, setelah nasi selamatan yang dibawa di bacakan doa, lauk pauk dan seluruh makanan inipun di bagikan dan dimakan bersama.
Sudah jelas bahwa hal ini merupakan kesyirikan yang amat dahsyat, bukannya dapat terkabul keinginan malah menambah murka Alloh Subhanahu wa Ta’ala. (Redaksi HASMI/Okezone)