Masyarakat Pariaman sedang disibukkan dengan perayaan Tabuik yang biasa digelar setiap tahun dari tanggal 1-10 Muharram. Tabuik itu sendiri adalah sebuah benda berbentuk keranda bertingkat tiga yang terbuat dari kayu, rotan dan bambu. Tabuik tersebut merupakan benda utama yang diarak tepi pantai untuk di buang ke laut. Badan Tabuik dibuat berbentuk kuda besar, bersayap lebar, berkepala perempuan cantik berambut panjang. Bentuk Tabuik tersebut, oleh masyarakat setempat diasosiasikan seperti seekor burung “Bouraq” yang konon dipercaya telah membawa arwah Hasan dan Husein ke surga.
Pembuatan Tabuik dikerjakan dari tanggal 1 sampai tanggal 9 pada bulan Muharam oleh dua kelompok masyarakat Pariaman, yaitu kelompok Pasar dan kelompok Subarang untuk, dua buah Tabuik. Pembuatan Tabuik dilakukan secara bersama-sama dengan melibatkan banyak ahli seperti budayawan, sejarawan dan tokoh masyarakat setempat. Pembuatan Tabuik tersebut menelan biaya yang cukup banyak, rata-rata mereka mengeluarkan puluhan bahkan sampai ratusan juta rupiah. “Pemerintah Kota Pariaman mendanai acara ini sebesar Rp200 juta,” kata Kepala Dinas Pariwisata Pariaman, Tundra Laksamana.
Pesta Tabuik merupakan perayaan lokal dalam rangka memperingati Asyura, gugurnya Imam Husain, cucu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau di daerah pantai Sumatera Barat, khususnya di Kota Pariaman. Lokasi utama Pesta Tabuik biasanya berada di obyek wisata Pantai Gondoriah, sekitar 65 kilometer arah utara Kota Padang. Puncak Pesta Tabuik adalah bertemunya Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang. Petang hari kedua tabuik ini digotong menuju Pantai Gondoriah, dan menjelang matahari terbenam, kedua tabuik dibuang ke laut. Dikisahkan, setelah tabuik dibuang ke laut, saat itulah kendaraan bouraq membawa segala arak-arakan terbang ke langit (surga). Festival ini termasuk menampilkan kembali Pertempuran Karbala.
Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia, agama yang menjelaskan semua sendi kehidupan manusia. Jika ditimbang dari sudut pandang Islam sebagai agama yang sangat terang benderang dalam hukum-hukumnya, maka ada beberapa catatan dari perayaan tabuik yang diselenggarakan oleh masyarakat Pariaman tersebut.
Pertama, kaum muslimin dilarang meratapi orang yang sudah meninggal, baik yang meninggal tersebut adalah anggota keluarga kita ataupun orang yang tidak memiliki hubungan nasab dengan kita. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui sabdanya melarang kita untuk meratapi orang yang sudah meninggal, baik dengan merobek-robek baju, menampar pipi apalagi sampai dengan melukai tubuhnya sendiri dengan senjata tajam atau yang sejenisnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ
Nabi Shallallahu’alaihiwasallam telah bersabda: “Bukan dari golongan kami siapa yang menampar-nampar pipi, merobek-robek baju dan menyeru dengan seruan jahiliyyah (meratap) “ (HR. BUKHARI No. 1212)
Kedua, dalam perjalanan hidupnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah merayakan atau memperingati kematian seseorang, sekalipun orang tersebut adalah orang yang sangat dicintainya. Ketika pamannya yang sangat dicintainya yaitu Hamzah sang Singa Allah meninggal dalam keadaan yang mengenaskan, dimana perutnya terbelah, hatinya diambil oleh Hindun untuk dimakannya namun tidak bisa tertelan. Namun demikian, sekalipun kondisi mayat Hamzah sedemikian mengenaskan, tetapi Rasulullah tidak pernah memperingati ataupun menganjurkan kepada sahabat-sahabatnya untuk memperingati hari kematian paman tercintanya itu.
Ketiga, ketika ruh seorang muslim keluar dari jasadnya, maka ruh tersebut akan dibawa oleh para malaikat bukan dibawa oleh makhluk lainnya; bukan dibawa oleh buraq. Hal ini merupakan aqidah bagi seorang muslim. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya bila seorang yang mukmin menghadap ke alam akhirat dan meninggalkan alam dunia, turun kepadanya sejumlah malaikat berwajah putih yang seolah-olah seperti matahari. Mereka membawa sebuah kain kafan dan minyak wangi dari surga. Mereka pun duduk di dekatnya sejauh mata memandang. Lalu datanglah malaikat pencabut nyawa dan duduk di dekat kepalanya. Malaikat pencabut nyawa berkata:
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الطيبة، أخرجي إلي مغفرة من الله و رضوان
“Wahai jiwa yang baik, keluarlah engkau kepada keampunan dan keridhoan Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Maka nyawanya keluar dan mengalir seperti air yang mengucur dari mulut wadah. Lalu malaikat pencabut nyawa mengambilnya. Nyawanya tidak dibiarkan sekejap mata pun berada di tangan malaikat pencabut nyawa dan segera diambil oleh para malaikat yang berwajah putih tadi. Kemudian mereka meletakkannya pada kain kafan dan minyak wangi surga yang telah mereka bawa. Maka nyawanya mengeluarkan aroma minyak wangi misik yang paling terbaik di muka bumi. Lalu mereka menyertainya untuk naik ke langit. Tidaklah mereka melewati sekumpulan malaikat melainkan para malaikat itu akan bertanya: “Siapakah nyawa yang baik ini?” Mereka menjawab: “Ini adalah Fulan bin Fulan”, dan disebutkan namanya yang paling terbaik ketika mereka memanggilnya di dunia.
Keempat, biaya yang dikeluarkan hingga ratusan juta untuk perayaan tabuik termasuk pemborosan. Jika saja uang yang jumlahnya ratusan juta tersebut digunakan untuk santunan faqir miskin, pengadaan tempat tinggal yang layak bagi warga tidak mampu, pemberian modal usaha masyarakat kalangan bawah, ataupun bea siswa putra-putra daerah berprestasi tentu akan sangat bermanfaat. (Red-HASMI).