I. DEFINISI
Secara etimologi isti’adhah berarti minta i’adhah yaitu penjagaan atau perlindungan dari segala sesuatu yang dibenci. Dzat yang dimintai perlindungan disebut ma’ad dan malja’, sedangkan orang yang meminta dijaga atau dilindungi disebut dengan musta’idh.[1]
Pada hakekatnya berma’na: lari dari sesuatu yang dia takuti kepada orang yang bisa memberi perlindungan kepadanya.[2]
Menurut syar’i isti’adhah sebagaimana yang dikatakan Ibnu Katsir yaitu: Berlindung kepada Allah [swt] dan mendekatkan diri di sisinya agar terhindar dari kejahatan segala penjahat ( yang jahat).[3]
Istilah kata yang bersinggungan dengan kata isti’adhah ada dua macam:
- Al ‘Iyadh : untuk menolak keburukan.
- Al Liyadh : untuk meminta kebaikan
Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk beristi’adhah kepada Nya tidak hanya dalam satu ayat saja, begitu juga banyak sunnah dari Rasulullah [saw]. yang menerangkan hal itu.
Allah ta’ala berfirman:
“Dan jika syetan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(QS. Fushilat: 36)
“Dan katakanlah: “Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan syaitan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku.”(QS. Al Mukminun: 97-98)
“Maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Ghafir: 56).
Dan masih banyak ayat yang lain. Dengan ini maka menjadi jelaslah bahwasanya isti’adhah termasuk ibadah kepada Allah [swt] yang ia perintahkan kepada hamba-hambaNya. Maka memalingkannya kepada selain Allah [swt] adalah syirik dalam ibadah.
II. MACAM-MACAM ISTI’ADHAH[4]
- Beristi’adhah kepada Allah [swt], isti’adhah ini mengandung kesempurnaan ketundukan kepada Allah [swt], berpegang teguh terhadap tali-Nya, dan keyakinan terhadap kemampuan dan kesempurnaan perlindungannya dari setiap sesuatu (yang tidak disuka) yang ada sekarang atau yang akan datang , kecil atau yang besar, dari manusia atau yang selainnya. Dengan dalil firman Allah Ta’ala:
“Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuhdari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul. dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki.” (QS. Al Falaq: 1-5)
“Katakanlah: “Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia Sembahan manusia. Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia.” (QS. An Nas: 1-6)
- Beristi’adhah dengan wasilah sifat-sifat Allah seperti kalamNya, keagunganNya, dan kemuliaanNya. Dengan dalil sabda Rasulullah [saw].
أعوذ بكلمات الله التامات من شر ماخلق
“Aku berlindung dengan kalam Allah [swt] yang maha sempurna dari kejahatan mahluk yang Ia ciptakan.” (HR. Muslim)
- Beristi’adhah kepada orang yang sudah mati atau kepada orang yang masih hidup yang tidak hadir di situ dan tidak memiliki kemampuan untuk memberi perlindungan. Ini adalah bentuk kesyirikan.
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” (QS. Al Jin: 6).
- Beristi’adhah kepada mahluk baik manusia, tempat-tempat atau yang lainnya yang memungkinkan untuk memberi perlindungan, isti’adhah ini adalah diperbolehkan. Dengan dalil sabda Rasulullah [saw] ketika menerangkan fitnah:
ومن وجد ملجأ أو معاذا فليعذ به
“Barang siapa mendapatkan tempat bernaung atau berlindung hendaknya ia berlindung.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam sahih Muslim dari Jabir ra. bahwa ada seorang wanita dari bani makhzum yang mencuri lalu ia didatangkan kepada Nabi [saw]. maka ia berlindung kepada Ummu Salamah
III. ISTI’ADHAH YANG DILARANG
Sebagaimana yang telah disebutkan pada pembagian isti’adhah di atas bahwa yang dilarang adalah beristi’adhah kepada orang yang sudah mati atau kepada orang yang masih hidup yang tidak hadir di situ dan tidak memiliki kemampuan untuk memberi perlindungan. Pada hakekatnya isti’adhah harus kepada Allah Ta’ala karena ia bagian dari bentuk peribadahan yang harus diberikan kepada Nya, dan memalingkannya kepada selain Allah [swt] adalah perilaku syirik dalam ibadah. Karena barangsiapa memalingkan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah [swt] (mahluk) berarti ia telah menjadikannya sebagai sekutu bagi Allah [swt] dan tandingan dalam masalah ilahiyah Nya, sebagaimana orang yang shalat untuk Allah [swt] dan shalat untuk selainNya (mahluk) berarti ia telah menghamba kepada selain Allah [swt]. Begitu juga dalam masalah isti’adhah tidak ada bedanya.
Akan tetapi di sana ada pengecualian bolehnya beristi’adhah kepada mahluk yaitu yang diizinkan oleh Allah [swt], maksudnya dalam hal yang memungkinkan untuk memberi perlindungan dan penjagaan, sebagaimana yang telah disebutkan pada bagian keempat dari macam-macam isti’adhah.
Berbeda lagi dalam hal yang hamba tidak memiliki kemampuan untuk memberikan perlindungan kecuali Allah [swt] semata, maka mengarahkan isti’adhah kepada hamba tadi menjadi terlarang dan masuk dalam kesyirikan.
-
BERISTI’ADHAH KEPADA JIN
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan[5] kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS. Al Jin: 6)
Ibnu katsir berkata: “Maksudnya kami (jin)berpendapat, bahwa kami memiliki kelebihan/keutamaaan atas manusia, dikarenakan ketika mereka singgah di sebuah lembah atau tempat tertentu yang angker mereka berlindung kepada kami.”Seperti kebiasaan orang-orang arab pada zaman jahiliyyah, sebagian mereka meminta prlindungan kepada penguasa temapat itu yang berupa jin agar tidak tertimpa sesuatu yang membahayakan mereka, seperti salah seorang dari mereka memasuki negeri musuhnya di bawah perlindungan, kekuasaan dan penjagaan seorang pembesar. Ketika jin telah mengetahui bahwa manusia berlindung kepadanya lantaarn ketakutan mereka kepada jin, maka jin-jin itu membuatnya semakin takut, yaitu merasa takut, terancam dan bingung sehingga mereka terus semakin merasa takut dan semakin berlindung kepadanya.[6]
menurut Ibnu ‘Abbas dan Qatadah adalah “jin-jin itu menambah dosa bagi mereka”, sebagian yang lain menafsirkan dengan kesesatan, melampaui batas dan keburukan, kekufuran.[7]
Mula ‘Qali Qari Al Hanafi berkata: “Tidak boleh beristi’adhah kepada jin, karena Allah [swt] telah mencela orang-orang kafir atas hal itu.” Lalu beliau membaca Surat Al An’am: 128
“Dan (ingatlah) hari diwaktu Allah menghimpunkan mereka semuanya (dan Allah [swt] berfirman): “Hai golongan jin, sesungguhnya kamu telah banyak menyesatkan manusia”, lalu berkatalah kawan-kawan meraka dari golongan manusia: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya sebahagian daripada kami telah dapat kesenangan dari sebahagian yang lain”
Bentuk kesenangan yang diambil manusia dari jin adalah dikabulkan hajatnya, dilaksakan perintahnya dan diberitahu sesuatu yang ghaib. Sedangkan bentuk kesenangan yang diambil jin dari manusia adalah penghormatan manusia kepadanya, beristi’adhah dan beristighatsah kepadanya serta tunduknya manusia kepada jin-jin itu.
Ini sebagai bukti bahwa sesuatu yang bisa memberikan manfaat duniawi (menolak mara bahaya atau mendatangkan kebaikan) bukan berarti pasti bukan syirik.[8]
Korelasi antara ayat di atas dengan materi pembahasan adalah bahwasanya Allah [swt] menceritakan tentang kaum beriman dari golongan jin yaitu ketika mereka telah mengetahui hakikat dien yang dibawa Rasulullah [saw]. dan mereka beriman kepadanya, mereka menyebutkan mecam-macam kesyirikan yang mereka yakini pada zaman jahiliyah, diantaranya adalah beristi’adhah (mohon perlindungan) kepada selain Allah [swt].[9]
2. SALAH SATU BENTUK ISTI’ADHAH YANG DIPERBOLEHKAN
Diriwayatkan dari Haulah Binti Hakim, ia berkata; aku pernah mendengar Rasulullah S[saw]. bersabda: “ Barangsiapa yang singgah di suatu tempat, lalu berdoa
أعوذ بكلمات الله التامات من شر ماخلق
“Aku berlindung dengan kalam Allah yang maha sempurna dari kejahatan mahluk yang Ia ciptakan.” Maka tidak ada sesuatupun yang akan membahayakan dirinya sampai ia beranjak dari tempat itu.” (HR. Muslim)
بكلمات الله التامات” “ Menurut imam qurtubi maksudnya adalah kalimat-kalimat yang sempurna yang tidak mengandung kekurangan dan kecacatan sebagaimana perkataan manusia. Menurut pendapat yang lainnya, maksudnya: kalimat yang menyembuhkan dan mencukupkan, yang lain lagi mengatakan yang dimaksud adalah Al-Qur’an. [10]
من شر ماخلق”” Menurut Ibnul Qayyim : “ Maksudnya dari segala kejahatan pada mahluk yang memiliki sifat jahat, baik binatang, manusia, jin, binatang melata, burung hantu, angin, petir, atau segala macam bala’ di dunia dan akhirat.[11]
Allah [swt] mensyariatkan kepada orang islam supaya berlindung kepadaNya dengan berwasilah dengan Nama-nama Nya yang mulia dan Sifat-sifat Nya yang agung. Sebagai lawan dari apa yang dilakukan orang-orang jahiliyyah, yaitu berlindung kepada jin.
(Red-HASMI)
[1] Syarah Tsalatsatul Ushul, Syekh Muhammad Bin Shalih al Utsaimin, Daaruts Tsaraya Lin Nasyr, cet III, Th 1997 M/ 1417 H. hlm:63.
[2] Taisirul ‘Azizil Hamid, Syekh Sulaiman Bin ‘Abdullah Bin Muhammad Bin ‘Abdul Wahab, Al Maktab Al Islamiy, hlm:209.
[3] Idem, hlm:210
[4] Syarah Tsalatsatul Ushul, Syekh Muhammad Bin Shalih al Utsaimin,Daaruts Tsaraya Lin Nasyr, cet III, Th 1997 M/ 1417 H. hlm:63-64.
[5] Ada di antara orang-orang Arab bila mereka melintasi tempat yang sunyi, maka mereka minta perlindungan kepada jin yang mereka anggap kuasa di tempat itu.
[6] Tafsirul Qur’anil ‘Adzim, Ibnu Katsir, maktabah daarul fiiha’ dan maktabah Daarus Salam, cetakan IV, th 1998 , juz II/ 552
[7] Taisirul ‘Azizil Hamid, Syekh sulaiman Bin ‘Abdullah Bin Muhammad Bin ‘Abdul Wahab. Al Maktab Al Islamiy. Hlm:211.
[8] Idem, hlm:212.
[9] Idem, hlm:211.
[10] Dinukil dari Fathul Majid, Syekh Abdul Rahman Bin Hasan Alus Syekh,Darul Fiqr, cetakan th 1992 M/ 1412 H. hlm 197
[11] Idem, hlm198.