Suatu peristiwa “Heroik” terjadi pada Rabu sore 7 Desember 2011 silam. Sondang Hutagalung membakar diri di depan Istana Merdeka Jakarta. Dengan predikat-nya sebagai aktivis demonstran, tindakan nekadnya itu diterjemahkan sebagai protes terhadap seabreg persoalan bangsa. Entah terinspirasi oleh aksi self-immolation Muham-mad Bouazizi seorang penjual sayur dan buah keliling pada 19 Desember 2010 di Tunisia yang konon memicu revolusi, atau beberapa aksi serupa yang bersifat protes terhadap penguasa, tindakan nekadnya dipandang beragam oleh berbagai pihak.
Terutama para aktivis, mereka berde-monstrasi menuntut agar pemerintah segera menuntaskan berbagai kasus hak asasi manusia, korupsi, serta penuntasan ke-miskinan rakyat Indonesia sebagai wujud solidaritas lanjutan dari aksi bakar diri Sondang Hutagalung, bahkan anehnya ada pula yang menggelar shalat ghaib yang ditujukan kepada non-Muslim ini. Boleh jadi, para aktivis mempersepsi self-immolation (kesengajaan diri sendiri untuk dikonsumsi oleh api) sebagai cara heroik seperti halnya biksu Buddha mengorbankan dirinya ketika memprotes kesewenangan penguasa Cina terhadap rakyat sebagaimana terjadi di Tibet belum lama ini.
Tidak hanya itu, para aktivis sangat menyayangkan komentar yang mengatakan bahwa di usianya yang 22 tahun, mungkin Sondang mengalami gangguan kepribadian ambang (borderline personality disorder), meskipun pakar kejiwaan melandasi analisisnya dengan realitas kasus. Dikatakan bahwa kondisi semisal itu mengakibatkan penderitanya sulit menerima penolakan dan mudah melakukan sesuatu yang berisiko berhubungan dengan penolakan itu. Gejalanya adalah sifat pasif-agresif yaitu ekspresi emosional yang pasif tetapi agresif secara perilaku. Juga impulsif yang mengakibatkan tindakan bakar diri seolah terdorong oleh gerak hatinya atas kekecewaan yang sangat berat, atau frustasi yang menimbulkan kejengkelan yang me-muncak dan kebuntuan solusi. Apalagi realitasnya, Sondang menimpakan emosinya terhadap dirinya sendiri dengan tendensi sublimasi yaitu mengalihkan kejengkelan yang dipendam kepada suatu nilai yang dianggap luhur seperti nilai-nilai sosial atau etika. Namun, aksi self-immolation ini dipersepsi sebagai medium agar pesan tersampaikan dan “terbaca” oleh mata orang istana, dicium rekan media, dan didengar warga dunia.
Bakar Diri ≠ Martir
Di kalangan agamawan selain Islam (khususnya Buddha) menafsirkan Self-immolation sebagai salah satu tindakan martir (mati syahid). Filo-sofinya, pelaku self-immolation memiliki motivasi asketis (zuhud) atau devotion (kesetiaan) kepada sang Buddha sebagaimana banyak biksu Tibet yang melakukan bakar diri untuk memprotes penguasa Cina.
Meski ada indikasi bahwa nilai-nilai keagamaan berpotensi menjadi motivasi, pada dasarnya hampir semua agama mengecam tindakan yang dikategorikan bunuh diri ini. Pantas dicatat pula bahwa dari lima ratusan pelaku self immolation sejak 1960 hingga 2011, banyak diantara mereka yang dikenal tidak religius, namun lebih dikenal sebagai aktivis HAM. Jika agama bukan motivasi utama, mungkin frustasi bisa menjadi penyebabnya.
Adapun Islam secara tegas mengharamkan bunuh diri sebagaimana firman Alloh [swt], “Janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Alloh Maha Penyayang kepada kalian.” (QS. an-Nisaa’ [4]: 29)
Bahkan para ulama menegaskan bahwa bunuh diri termasuk deretan dosa besar. Karena banyak hadits yang memberikan ancaman keras bagi pelaku bunuh diri. Rosululloh [saw] bersabda, “Siapa yang membunuh dirinya dengan cara tertentu di dunia maka dia akan disiksa pada hari kiamat dengan cara yang sama.” (HR. Ahmad dan Muslim)
Demikian pula sabda beliau [saw], “Siapa yang menjatuhkan dirinya dari gunung hingga mati, maka di neraka jahanam dia akan menjatuhkan dirinya, kekal di dalamnya selamanya. Siapa yang nenggak racun sampai mati, maka racun itu akan diberikan di tangannya, kemudian dia minum di neraka jahanam, kekal di dalamnya selamanya. Siapa yang membunuh dirinya dengan senjata tajam maka senjata itu akan diberikan di tangannya kemudian dia tusuk perutnya di neraka jahanam, kekal selamanya.” (HR. Bukhori dan Muslim)
“Dulu di antara umat sebelum kalian ada orang yang terkena luka, sampai dia tidak sabar. Kemudian dia mengambil pisau dan dia potong nadi tangannya. Darah terus mengalir sampai dia mati. Lalu Alloh berfirman, ‘Hamba-Ku mendahului-Ku dengan bunuh dirinya, Aku haramkan untuknya surga’.” (HR. Bukhori)
Waspadai Implikasinya
Kita tidak berharap seorang Aiptu Yosef Resubun anggota Polres Serui, Papua Barat yang membakar diri telah terinspirasi oleh Sondang. Kita pun tidak berharap pernyataan berikut diamini oleh banyak orang : “Aksi ini (bakar diri Sondang Hutagalung) merupakan gambaran bahwa masih ada perjuangan yang digerakkan oleh idealisme. Aksi yang memberi harapan masih adanya perjuangan bagi orang-orang yang termarjinalkan dan terabaikan. Aksi yang memilih mengakhiri hidup daripada dipaksa melupakan segala ketidakadilan di tengah bangsa ini.”
Bukankah pernyataan tersebut mencerminkan para aktivis HAM yang frustasi ketika menghadapi para penguasa yang kental dengan pragmatisme individualis? Adapun kita, justru menilai hal ini sebagai realitas sistem. Sistem yang tidak membentuk penguasa sebagai individu yang sadar akan kesejatian penciptaan dirinya sebagai hamba yang bertanggung jawab kepada Alloh atas amanah yang diembannya. Juga sistem yang melingkari para aktivis dengan konsep pengorbanan “hati nurani” non-Islami meskipun demi kepentingan orang banyak. Mungkin orang yang berjiwa pragmatisme individualis senantiasa dihujat karena memperkaya diri sendiri, mungkin pula orang yang berjuang tersematkan penghargaan karena “kerelaannya” mengorbankan nyawa, namun keridhoan sejati hanyalah di sisi Alloh .
(Red-HASMI/Alimuddin Nur)