Yang dimaksud takdir adalah ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Alloh [swt] bagi segala sesuatu sesuai dengan pengetahuan-Nya dan hikmah yang diinginkan-Nya.
Iman kepada takdir ini mencakup empat aspek:
Aspek Pertama, mangimani bahwa Alloh [swt] mengetahui segala sesuatu, baik secara global maupun terperinci, baik yang berkaitan dengan perbuatan hamba-hamba-Nya.
Aspek Kedua, mengimani bahwa Alloh [swt] mencatat takdir di Lauh Mahfuudz. Mengenai kedua aspek tersebut, Alloh [swt] telah berfirman, “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Alloh mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuudz). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Alloh.” (QS. al-Hajj [22]: 70)
Aspek Ketiga, mengimani bahwa segala sesuatu tidak akan ada kecuali dengan kehendak Alloh [swt], baik yang berkaitan dengan perbuatan Alloh [swt] maupun perbuatan makhluk-makhluknya. Mengenai hal-hal yang berkaitan dengan perbuatannya, Alloh [swt] telah berfirman, “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang dia kehendaki dan memilihnya.” (QS. al-Qashash [28]: 68). Pada ayat lain Alloh berfirman, “Dan memperbuat apa yang dia kehendaki,” (QS. Ibrahim [14]: 27). Alloh [swt] juga berfirman, “Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendakinya.” (QS. ali-‘Imron [3]: 6)
Sedangkan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan makhluk-makhluk-Nya, Alloh [swt] berfirman, “Kalau Alloh [swt] menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu, (QS. an-Nisa [4]: 90). Alloh juga berfirman, “Dan kalau Allohlmenghendaki, niscaya mereka tidak akan mengerjakannya, maka tingkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS. al-An’am [6]: 137)
Aspek Keempat, mengimani bahwa segala sesutu yang ada di alam ini, baik dzat, sifat maupun gerakan-gerakannya adalah diciptakan oleh Alloh. Alloh [swt] telah berfirman, “Alloh menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu,” (QS. al-Furqon [25]:2). Kemudian Alloh [swt] menjelaskan tentang sosok Nabi Ibrahim [alayhis] yang berkata kepada kaumnya, “padahal Alloh-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. ash-Shaffat [37]:96)
Iman kepada takdir seperti yang telah dijelaskan di atas bukan berarti seorang hamba tidak memiliki kehendak dan kemampuan untuk melakukan perbuatan-perbuatan-nya yang bersifat ikhtiari (yang ditentukan oleh kehendaknya sendiri), sebab baik dalil-dalil syar’i (al-Qur’an dan hadits) maupun realitas yang ada menunjukan adanya hal tersebut.
Adapun dalil-dalil syar’i yang dimaksud adalah firman Alloh [swt], “Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya menempuh jalan kembali kepada Tuhannya.” (QS. an-Naba’ [78]: 39). Alloh [swt] juga berfirman, “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanamu itu bagaimana kamu kehendaki.” (QS. al-Baqoroh [2]: 223). Pada ayat lain, Allohlberfirman, “Maka bertakwalah kamu kepada Alloh menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah.” (QS. at-Taghaabun [64]: 16). Allohljuga berfriman, “Alloh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya, Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan yang dikerjakannya).” (QS. al-Baqoroh[2]:286)
Sedangkan realitas yang membuktikan hal tersebut adalah bahwa pada hakikatnya setiap manusia mengetahui bahwa ia memiliki kehendak dan kemampuan, dimana dengan kehendak dan kemampuan itu ia dapat melakukan sesuatu ataupun meninggalkannya, lalu ia juga dapat membedakan antara perbuatan yang terjadi karena kehendaknya seperti “berjalan” dengan perbuatan yang terjadi bukan karena kehendaknya seperti “gemetar badannya”, akan tetapi kehendak dan kemampuan seorang hamba itu ada karena adanya kehendak dan qudrah (kekuasaan) Alloh [swt], sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya, “(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Alloh, Tuhan semesta alam.” (QS. at-Takwir [81]: 28-29)
Iman kepada takdir seperti yang telah di jelaskan di atas tidak dapat dijadikan sebagai argumen atau alasan bagi seorang hamba untuk meninggalkan kewajiban-kewajiban ataupun untuk melakukan perbuatan-perbuatan maksiat. Sebab, alasan semacam itu merupakan alasan yang batil (salah) bila dilihat dari beberapa sisi:
1. Dilihat dari isi firman Alloh [swt], “Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan, ‘Jika Alloh menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukannya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun.’ Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para Rosul) sampai mereka merasakan siksaan kami, ‘Katakanlah, ‘Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada kami?’ kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta.” (QS. al-An’am [6]:148)
2. Dilihat dari sisi firman Alloh [swt], “(Mereka kami utus) selaku Rosul-rosul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Alloh sesudah diutusnya Rosul-rosul itu. Dan adalah Alloh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. an-Nisa’ [4]:165) Seandainya takdir dapat dijadikan alasan bagi orang-orang yang melanggar perintah perintah-perintah Alloh, niscaya alasan itu tidak akan hilang meskipun Alloh telah mengutus para Rosul, sebab pelanggaran yang mereka lakukan setelah diutusnya para Rosul kepada mereka itu ada karena adanya takdir Alloh.
3. Bahwa Alloh [swt] telah memberikan sejumlah perintah dan larangan kepada hamba-Nya, namun dia tidak membebani hamba-Nya itu kecuali apa yang ia mampu. Alloh [swt] berfirman, ‘Maka bertakwalah kamu kepada Alloh menurut kesanggupanmu.” (QS. at-Taghaabun [64]:16)
4. Takdir (ketentuan) Alloh [swt] merupakan satu hal rahasia yang masih tersimpan dan tidak diketahui kecuali setelah terjadi, sedangkan kehendak seorang hamba untuk melakukan suatu perbuatan adalah lebih dulu ada dari pada perbuatannya itu. Karenanya, kehendak untuk melakukan perbuatan tersebut tidaklah didasarkan pada pengetahuannya tentang takdir Alloh [swt]. Pada saat itulah, ia tidak dapat menggunakan takdir Alloh sebagai alasan bagi perbuatannya, sebab alasan seseorang tidak bisa didasarkan pada sesuatu yang tidak diketahuinya.
5. Kita dapat melihat seseorang yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk satu urusan duniawi yang sesuai dengan keinginan hatinya hingga ia benar-benar dapat memperoleh apa yang diinginkannya, dan pada saat itu orang tersebut tidak mau berpaling kepada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan hatinya, ia beralasan bahwa tindakannya itu disebabkan takdir Alloh [swt].
Manfaat mengimani Takdir-takdir Alloh
Iman kepada takdir Alloh memiliki sejumlah manfaat yang besar, di antaranya adalah:
1. Dengan beriman kepada takdir Alloh [swt], seseorang akan selalu bersandar kepada Alloh lketika sedang melakukan hal-hal yang menjadi sebab dari keberhasilannya, dan ia tidak hanya bersandar pada sebab-sebab tersebut, karena ia mengetahui bahwa segala sesuatu berdasarkan takdir Alloh [swt].
2. Dengan beriman kepada takdir Alloh [swt], seseorang tidak akan membanggakan dirinya ketika berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya, sebab keberhasilannya itu merupakan nikmat dari Alloh yang dikaruniakan kepadanya karena ia telah melakukan hal-hal yang menjadi sebab bagi tercapainya suatu kebaikan atau kesuksesan. Ia menyadari bahwa sifat membanggakan diri dapat menyebabkan dirinya lupa bersyukur kepada Alloh [swt] atas nikmat tersebut.
3. Beriman kepada takdir Alloh [swt] dapat membuahkan ketenangan dan kepuasan batin seseorang terhadap ketentuan-ketentuan Alloh yang ditetapkan untuk dirinya, sehingga ia tidak akan merasa gelisah ketika tidak berhasil mendapatkan sesuatu yang disukai atau yang tidak disukai, sebab ia mengetahui bahwa hal itu terjadi karena takdir Alloh [swt], Tuhan yang menguasai kerajaan langit dan bumi. Mengenai hal itu, Alloh [swt] telah berfirman, “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kita (Lauh Mahfuudz) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikan itu adalah mudah bagi Alloh. (kami jelaskan yang demikan itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Alloh tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. al-Hadid [57]:22-23)
(Red-HASMI)