Apa definisi dari gadai atau Ar Rahn, bagaimana hukum nya? dan apa rukun serta syarat transaksi gadai ini? lalu kapan dinyatakan sah serah terima dalam transaksi dengan sistem gadai ini? Berikut ini ulasan selengkapnya :
– Definisi Gadai atau Rahn
Gadai atau Rahn dalam bahasa Arab memiliki pengertian tetap dan kontinyu.
Sedangkan definisi Rahn dalam istilah Syari’at, dijelaskan oleh para ulama dengan menjadikan harta benda sebagai jaminan hutang untuk dilunasi dengan jaminan tersebut ketika tidak mampu melunasinya.
Adapun Syeikh Al Basaam mendefinisikan, Al Rahn sebagai jaminan hutang dengan barang atau dari nilai barang yang memungkinkan hutang itu bisa lunas apabila orang yang berhutang tidak mampu melunasinya.
Kemudian mengenai hukum dari gadai itu sendiri
Sistem hutang piutang dengan cara gadai ini diperbolehkan dan disyariatkan dengan dasar Al-Qur’an, Sunnah dan ijma’ kaum muslimin.
Dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an adalah firman Alloh di Surat Al-Baqoroh ayat ke 283 yang artinya :
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Alloh Rabbnya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Alloh Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Dalam ayat tersebut walaupun ada pernyataan ‘dalam perjalanan’ namun tetap menunjukkan keumumannya, baik dalam perjalanan atau dalam keadaan mukim, karena kata ‘dalam perjalanan’ dalam ayat hanya menunjukkan keadaan yang biasa membutuhkan sistem ini.
Hal itu pun dipertegas dengan amalan Rosululloh yang melakukan pegadaian sebagaimana dikisahkan oleh umul mukminin Aisyah radiyallahu’anha dalam pernyataan beliau bahwa :
“Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam membeli dari seorang yahudi bahan makanan dengan cara hutang dan menggadaikan baju besinya.”
Demikian juga para ulama bersepakat menyatakan pensyariatan Al Rahn ini dalam keadaan safar atau perjalanan.
Ibnu Qudamah berkata Diperbolehkan Al rahn dalam keadaan tidak safar atau menetap sebagaimana diperbolehkan dalam keadaan safar alias bepergian.
Setelah jelas pensyariatan Al Rahn yaitu dibolehkan, berikutnya kita akan mengulas sedikit tentang Rukun dan syarat yang harus dipenuhi ketika akan melakukan transaksi muamalah dengan sistem gadai atau Rahn tersebut.
Rukun Rahn atau gadai :
Mayoritas ulama memandang rukun rohn atau Gadai ada empat yaitu :
Al Marhuun atau barang yang digadaikan, kemudian Al Marhun bihi atau hutang, selanjutnya Shighah atau akad, dan yang terakhir adanya Dua pihak yang bertransaksi yaitu Raahin atau orang yang menggadaikan juga Murtahin alias pemberi hutang.
Syarat Al Rahn :
Pertama, syarat yang berhubungan dengan transaktor atau orang yang bertransaksi yaitu Orang yang menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh, berakal dan rusyd atau memiliki kemampuan dalam mengatur hartanya.
Kedua, Syarat yang berhubungan dengan Al Marhun atau barang gadai, dalam hal ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan, diantaranya :
Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi hutangnya baik barang atau nilainya ketika tidak mampu melunasinya, kemudian barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang dizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai. Dan Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis dan sifatnya, karena Al rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini.
Ketiga, Syarat yang berhubungan dengan Al Marhun bihi alias hutang yaitu hutang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib.
Kapan dianggap sah serah terima transaksi dengan sistem gadai?
Barang gadai adakalanya berupa barang yang tidak dapat dipindahkan seperti rumah dan tanah, maka disepakati serah terimanya dengan mengosongkannya untuk pemberi hutang tanpa ada penghalangnya. Ada kalanya berupa barang yang dapat dipindahkan, bila berupa barang yang ditakar maka disepakati serah terimanya dengan ditakar pada takaran, bila barang timbangan maka disepakati serah terimanya dengan ditimbang dan dihitung bila barangnya dapat dihitung serta diukur bila barangnya berupa barang yang diukur.
Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah terima yang berhubungan dengan pembiayaan atau pemeliharaan, pertumbuhan barang gadai dan pemanfaatan serta jaminan pertanggung jawaban bila rusak atau hilang, diantaranya:
Pertama mengenai “Pemegang barang gadai”
Barang gadai tersebut berada ditangan pemberi hutang selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Alloh disurat al baqoroh ayat 283 yang artinya :
“Jika kamu dalam perjalanan dan bermu’amalah tidak secara tunai sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang oleh yang berpiutang.”
dan sabda Rasul Sholallahu’alaihi wasalam yang terdapat dalam Hadits Shohih riwayat Al Tirmidzi, bahwa Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu dari hewan diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum memberi nafkahnya.
kedua tentang “Pembiayaan pemeliharaan dan pemanfaatan barang gadai”
Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan dan pemberi hutang tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah dalam pemeliharaan barang tersebut. Pemanfaatannya tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan.
Terkait poin ini Syeikh Al Basaam berkata Menurut kesepakatan ulama biaya pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya.
Demikian juga pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga miliknya kecuali dua pengecualian ini yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas.
Ketiga tentang “Pertumbuhan barang gadai”
Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah digadaikan adakalanya bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung seperti bertambah gemuk, maka ia masuk dalam barang gadai dengan kesepakatan ulama.
Keempat mengenai “Perpindahan kepemilikan dan Pelunasan hutang dangan barang gadai”
Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada pemberi hutang apabila telah selesai masa perjanjiannya kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya dan tidak mampu melunasinya.
Demikianlah keindahan islam dalam permasalah gadai, tidak seperti yang banyak berlaku direalitas yang ada. Dimana pemilik piutang menyita barang gadainya walaupun nilainya lebih besar dari hutangnya bahkan mungkin berlipat-lipat. Ini jelas perbuatan kejahiliyah dan kedzoliman yang harus dihilangkan. Mudah–mudahan bermanfaat apa yang dapat kita ulas dipostingan kali ini. (Admin-HASMI).
.:: Wallahu Ta’ala ‘Alam ::.