Hukuman Zina Dalam Islam

Hukuman Zina Dalam Islam

Alloh subhanahu wata’ala berfirman:

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera (cambuk), dan janganlah berbelas kasihan kepada keduanya untuk (menjalankan) agama Alloh, jika kamu beriman kepada Alloh, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
(QS. an-Nuur [24]: 2)

Menurut kesepakatan ulama, ayat di atas terkait seseorang yang belum pernah terikat akad nikah. Hukuman dera (cambuk) tersebut ditambah dengan pengasingan selama 1 tahun. Sedangkan bagi seseorang yang telah menikah atau sudah pernah terikat akad nikah, maka bagi mereka hukumannya adalah hukuman rajam (dilempari batu hingga mati).

Akan tetapi banyak persyaratan yang harus dipenuhi untuk melaksanakan hukuman bagi pezina. Berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah, paling tidak ada empat syarat, yaitu:

  • Ada empat orang saksi.

Alloh subhanahu wata’ala berfirman:

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”
(QS. an-Nuur [24]: 4)

Syarat menjadi saksi adalah:

  1. Islam, baligh (dewasa), berakal sehat (tidak gila).
  2. Berjumlah empat orang laki-laki. Seorang saksi laki-laki dapat digantikan dua orang saksi perempuan.
  3. Melihat kejadian secara langsung(dengan mata kepalanya sendiri) dalam satu waktu/kejadian.
  • Menuduh dengan saling melaknat/li’an.

Hal ini dapat terjadi apabila terdapat suami atau istri yang menuduh pasangannya berzina. Kemudian mereka bersumpah empat kali menyebut nama Alloh di depan mahkamah. Dan sumpah yang kelima berisi kalimat laknat Alloh yang akan mengenai dirinya bila ia berbohong. Maka hukuman pada kondisi ini tidak dapat dilangsungkan.

  • Adanya bukti kuat.

Bukti yang dimaksud adalah kehamilan yang terdapat pada wanita yang dizinai. Atau dengan uji identifikasi laboratorium yang memperkuat bukti.

  • Pengakuan dari pelaku.

Di zaman Rosululloh , hampir semua kasus perzinaan diputuskan berdasarkan pengakuan para pelaku langsung. Seperti yang dilakukan kepada Maiz  dan wanita Ghomidiyah. Pengakuan dilakukan sebanyak empat kali kesaksian.

Bila tidak melaksanakan hukuman tersebut atau bertobat dari dusta tersebut, pelaku akan diancam dengan api neraka yang nantinya akan membakar tubuh mereka. Dalam hadits Samuroh bin Jundub  yang panjang tentang mimpi Nabi , Beliau  bersabda:

“Kemudian kami berjalan dan sampai pada suatu bangunan serupa tungku api dan di situ terdengar suara hiruk-pikuk. Lalu kami tengok ke dalam, ternyata di situ ada beberapa laki-laki dan perempuan yang telanjang bulat. Dari bawah mereka datang kobaran api dan apabila terkena nyala api itu, mereka memekik. Aku bertanya, “Siapakah orang itu?” jawabnya, “Adapun sejumlah laki-laki dan perempuan yang telanjang bulat yang berada di dalam bangunan serupa tungku api itu adalah para pezina laki-laki dan perempuan.” (Shohihul Jami’us Shoghir)

Demikianlah besarnya bahaya zina sehingga ketika mengulas tentang hukuman bagi pezina, al-Imam Ibnul Qoyyim , berkata: “Alloh telah mengkhususkan hadd (hukuman) bagi pelaku zina dengan tiga kekhususan yaitu:

  • Pertama, hukuman mati secara hina (rajam) bagi pezina kemudian diringankan (bagi yang belum nikah) dengan dua jenis hukuman, hukuman fisik yakni didera seratus kali dan hukuman mental dengan diasingkan selama satu tahun.
  • Kedua, Alloh secara khusus menyebutkan larangan merasa kasihan terhadap pezina. Umumnya sifat kasihan adalah diharuskan. Bahkan Alloh itu Maha Pengasih. Namun, rasa kasihan ini tidak boleh menghalangi dari menjalankan syariat Alloh . Hal ini ditekankan karena orang biasanya lebih kasihan kepada pezina daripada pencuri, perompak, pemabuk dan sebagainya. Di samping itu, perzinaan bisa dilakukan oleh siapa saja termasuk orang kelas elite yang mempunyai kedudukan tinggi sehingga menyebabkan orang yang menjalankan hukuman merasa enggan dan kasihan untuk menjalankan hukuman.
  • Ketiga, Alloh memerintahkan agar pelaksanaan hukuman zina disaksikan oleh orang-orang mukmin dengan maksud menjadi pengajaran dan memberikan kesan positif bagi kebaikan umat.

Zina Yang Berkedok Pernikahan

Di antara sebagian tanda hari kiamat adalah tersebarnya perzinaan di kalangan umat manusia. Hal ini telah disinyalir oleh Rosululloh  dalam hadits beliau  sejak 14 abad yang lalu.

Dari ‘Anas bin Malik, beliau mengatakan pada Qotadah, “Sungguh aku akan memberitahukan pada kalian suatu hadits yang tidak pernah kalian dengar dari orang-orang sesudahku.”

Kemudian ‘Anas mengatakan:

 مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَقِلَّ الْعِلْمُ، وَيَظْهَرَ الْجَهْلُ، وَيَظْهَرَ الزِّنَا، وَتَكْثُرَ النِّسَاءُ وَيَقِلَّ الرِّجَالُ، حَتَّى يَكُونَ لِخَمْسِينَ امْرَأَةً الْقَيِّمُ الْوَاحِدُ

“Diantara tanda-tanda hari kiamat adalah: sedikitnya ilmu dan tersebarnya kebodohan, merebaknya perzinaan, wanita akan semakin banyak dan pria akan semakin sedikit, sampai-sampai salah seorang pria bisa mengurus (menikahi) 50 wanita (karena kejahilan orang itu terhadap ilmu agama).”
(HR. al-Bukhori)

Dari ‘Abdulloh bin ‘Umar, berkata bahwa Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam bersabda:

“Kiamat tidak akan terjadi sampai orang-orang bersetubuh di jalan-jalan seperti layaknya keledai.” Aku (Ibnu ‘Umar) berkata, “Apa betul ini akan terjadi?” Beliau lantas menjawab, “Iya, ini sungguh akan terjadi.”
(HR. Ibnu Hibban, al-Hakim, Bazzar, dan ath-Thobroni)

Sungguh mengerikan sekali apa yang disabdakan Nabi  dalam hadits di atas. Zina benar-benar telah menyebar di jalan-jalan. Di sebagian negara Eropa dan Amerika mereka membuat wisata sex di suatu pulau yang mana ketika memasukinya harus telanjang dan bebas berzina dengan siapa saja yang dijumpainya di manapun dia berada tanpa rasa malu. Benar-benar semua itu merupakan kerusakan fithroh yang sulit dicerna dengan akal sehat manusia.

Bukan hanya itu saja, hari ini menyebar perzinaan dengan kedok pernikahan. Inilah yang diusung kaum Syi’ah yang mereka sebut dengan nikah mut’ah atau kawin kontrak.

Adapun yang dimaksud nikah mut’ah adalah seseorang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu dengan sesuatu pemberian kepadanya, baik itu berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalak dan tanpa warisan.

Bentuk pernikahan ini adalah dengan cara seseorang datang kepada seorang wanita tanpa harus ada wali atau saksi. Kemudian mereka membuat kesepakatan mahar (upah) dan batas waktu tertentu. Misalnya tiga hari atau lebih, atau kurang. Biasanya tidak lebih dari empat puluh lima hari; dengan ketentuan tidak ada mahar kecuali yang telah disepakati, tidak ada nafkah diantara mereka berdua, tidak saling mewariskan sebagaimana nikah syar’i dalam Islam, dan tidak ada iddah kecuali istibro’  (yaitu satu kali haid bagi wanita monopouse, dua kali haid bagi wanita biasa, dan empat bulan sepuluh hari bagi yang suaminya meninggal), dan tidak ada nasab kecuali jika disyaratkan.

Jadi, rukun nikah mut’ah -menurut Syiah Imamiah- ada tiga :

  1. Shighat, seperti ucapan : “aku nikahi engkau”, atau “aku mut’ahkan engkau”.
  2. Calon istri, dan diutamakan dari wanita muslimah atau ahlul kitab.
  3. Mahar, dengan syarat saling rela sekalipun hanya satu genggam gandum.
  4. Jangka waktu tertentu.

Pada awal Islam,  nikah mut’ah dibolehkan di saat kondisi darurat. Kemudian datang nash-nash yang melarang hingga hari Kiamat akan nikah tersebut. Di antara dalil yang membolehkan nikah mut’ah pada awal Islam adalah:

Dari Robi’ bin Sabroh, dari ayahnya, bahwasanya ia bersama Rosululloh sholallohu’alaihi wasallam, lalu beliau bersabda:

Wahai sekalian manusia, sebelumnya aku telah mengizinkan kalian melakukan mut’ah dengan wanita. Sesungguhnya Alloh  telah mengharamkannya hingga hari Kiamat. Barangsiapa yang mempunyai sesuatu pada mereka, maka biarkanlah! Jangan ambil sedikitpun dari apa yang telah diberikan.
(HR. Muslim)

Ibnu Katsir  berkata, “Tidak ada keraguan lagi, mut’ah diperbolehkan pada permulaan Islam. Sebagian ulama berpendapat bahwa ia dihalalkan kemudian dimansukh (dihapus), lalu dihalalkan kemudian dimansukh. Sebagian yang lain berpendapat bahwa penghalalan dan pengharaman berlaku terjadi beberapa kali.”

Jadi nikah mut’ah telah diharamkan oleh Islam dengan dalil Kitab, Sunnah dan Ijma’ dan akal. Inilah pendapat yang kuat menurut ulama Islam. Adapun dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:

1. Dalil dari al-Qur’an.

Alloh subhanahu wata’ala berfirman:

Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.”
(QS. al-Maarij [70]: 29-31)

Dalam ayat ini, Alloh  menerangkan sebab disahkannya berhubungan badan hanya melalui dua cara, yaitu nikah shohih dan perbudakan. Sedangkan wanita mut’ah, bukanlah istri dan bukan pula budak.

Alloh subhanahu wata’ala berfirman:

Dan barangsiapa di antara kalian (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kalian miliki. Alloh mengetahui keimanan kalian; sebahagian kalian adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman bagi wanita-wanita merdeka bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kalian, dan kesabaran itu lebih baik bagi kalian. Dan Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. an-Nisaa’ [4]: 25)

Dalam ayat ini ada dua alasan. Pertama, jika nikah mut’ah diperbolehkan, maka tidak ada lagi alasan untuk tidak melakukannya bagi orang yang kesulitan menjaga diri atau keperluan untuk menikahi budak atau bersabar untuk tidak menikah. Kedua, ayat ini merupakan larangan terhadap nikah mut’ah karena Alloh  berfirman “karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka”. Sebagaimana diketahui bahwa nikah seizin orang tua atau wali, itulah sebenarnya nikah yang disyariatkan, yaitu dengan wali dan dua orang saksi. Adapun nikah mut’ah, tidak mensyariatkan demikian.

2. Dalil dari as-Sunnah.

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Tholib , Rosululloh  bersabda:

“Bahwasanya Rosullulloh shollallohu’alaihi wasallam telah melarang (telah mengharamkan) nikah mut’ah (kawin kontrak terhadap perempuan) pada Perang Khoibar dan memakan daging keledai.”
(HR. al-Bukhori)

3. Dalil dari ijma’.

Di antara ulama yang menukil ijma’ akan haramnya nikah mut’ah adalah Qodhi Iyadh. Beliau berkata, “Telah terjadi ijma’ dari seluruh ulama atas pengharamannya, kecuali dari kalangan Rofidhoh (kelompok Syi’ah).” Dan juga disebutkan oleh al-Khottobi: “Pengharaman mut’ah sudah menjadi sebuah ijma’ (maksudnya ijma’ kaum Muslimin), kecuali dari sebagian Syi’ah (Rofidhoh).”

4. Dalil dari akal.

Adapun alasan dari akal adalah sebagai berikut:

  1. Sesungguhnya nikah mut’ah tidak mempunyai hukum standar yang telah diterangkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dari thalak, iddah dan warisan. Maka ia tidak berbeda dengan pernikahan yang tidak sah lainnya.
  2. ‘Umar telah mengumumkan pengharamannya di hadapan para sahabat pada masa kekhilafahannya dan telah disetujui oleh para sahabat. Tentu mereka tidak akan mengakui penetapan tersebut jika pendapat ‘Umar  tersebut salah.
  3. Haramnya nikah mut’ah dikarenakan dampak negatif yang ditimbulkannya sangat banyak. Di antaranya:
  1. Bercampurnya nasab, karena wanita yang telah dimut’ah oleh seseorang dapat dinikahi lagi oleh anaknya, dan begitu seterusnya.
  2. Disia-siakannya anak hasil mut’ah tanpa pengawasan sang ayah atau pengasuhan sang ibu, seperti anak zina.
  3. Wanita dijadikan seperti barang murahan laksana pelacur; pindah dari tangan ke tangan yang lain, dan sebagainya.

Inilah sebenarnya perzinaan terselubung dan menyebar di kalangan kaum Muslimin, terutama mereka yang terkena virus aqidah sesat Syi’ah. Dan faham ini kini diusung ke Indonesia oleh ratusan mahasiswa yang dibiayai gratis oleh yayasan-yayasan Syi’ah di Indonesia. Semoga Alloh  menjaga generasi Islam di negeri kita dari faham Syi’ah yang sangat berbahaya.

Baca Juga

Check Also

IMRAN BIN HUSHAIN/Seperti Malaikat

IMRAN BIN HUSHAIN Seperti Malaikat   Pada tahun Perang Khaibar, ia datang kepada Rasulullah ﷺ …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

slot