Islam Di Bali

Islam Di BaliBali, selain terkenal dengan pusat pariwisata, juga terkenal dengan sebutan God’s Island (pulau Dewata). di tengah mayoritas penduduknya yang beragama hindu dan kuatnya tradisi masyarakat, sering terlontar pertanyaan, bagaimana Islam di Bali?

 Pemaksaan

Sejenak kita menengok gambaran kondisi keagamaan Muslim dalam mayoritas Hindu di  bali, salah satunya tergambar setiap menyambut kedatangan tahun baru, di mana warga Hindu Bali melaksanakan hari raya Nyepi. Ritual Nyepi memiliki empat inti, yang disebut Catur Brata, meliputi amati geni (tidak boleh menyalakan api atau lampu), amati karya (tidak boleh bekerja, berbuat gaduh, atau memukul-mukul), amati lelungan (tidak boleh bepergian, keluar pekarangan), dan amati lelanguan (tidak boleh makan). Di Bali, mematuhi Catur Brata bukan hanya kewajiban kaum Hindu, tetapi juga “dipaksakan” kepada umat penganut agama lain. Minoritas warga non-Hindu di daerah itulah yang menjadi korbannya. Warga non-Hindu di Gianyar dan Denpasar misalnya, dilarang menyalakan lampu pada hari itu. Bila melanggar, tak jarang rumah mereka dilempari. Barangkali hanya oknum semata. Di lain kejadian, pernah seorang non-Hindu yang anggota keluarganya meninggal, terpaksa menunda pemakaman, demi memenuhi tuntutan ritual Nyepi. Bukan itu saja, seluruh penerbangan nasional maupun internasional ditiadakan karena Bandar udara ditutup.

Bahkan pernah terjadi ketika Nyepi jatuh pada hari Jumat, umat Islam yang hendak melaksanakan kewajiban syariatnya beribadah Jumat tidak diperkenankan mengumandangkan azan. Ini baru sekelumit masalah yang mungkin masih dianggap ringan jika dibandingkan dengan masalah yang lainnya. Kemudian, untuk mencapai masjid mereka harus berjalan memutar agar tidak melewati pemukiman warga Hindu Bali. Kaum Muslim yang tinggal di tengah pemukiman kaum Hindu Bali bahkan tidak sedikit yang tidak bisa shalat Jumat. Mungkin terkecuali di daerah kampung Bali yang mayoritas Muslim (kampung Muslim). Pemeluk Hindu Bali “memaksakan” ritual Nyepi dengan model seperti ini, sedangkan umat Hindu lain melakukan Nyepi di rumah sendiri-sendiri tanpa menganggu aktivitas orang dan pemeluk agama lain. Bahkan di India yang menjadi pusat kelahiran Hindu pun tidak dijumpai “Nyepi” massal ala Bali ini.

Tragedi bom yang mengguncang Pulau Dewata yang fenomenal pada beberapa waktu yang lalu, cukup signifikan mengubah peta sosiologis umat Islam (khususnya) yang ada Bali. Akibat ledakan yang kedua kalinya dalam empat tahun terakhir ini, Islam distereotipkan sebagai agama teroris karena para pelaku yang tertangkap mengatasnamakan agama.

Salah satu imbas yang paling dirasakan masyarakat Islam di Bali adalah timbulnya sentimen keagamaan. Di mana-mana terjadi pengetatan status kependudukan. Alasannya jelas, membatasi kemungkinan masuknya warga muslim ke Bali.

Sekilas, penertiban kependudukan ini terkesan mendiskreditkan umat tertentu, Islam. Pemicunya, petugas sangat serius dan tegas manakala penduduk pendatang yang tengah didata beragama Islam. Hal berbeda justru diterapkan bagi mereka yang beragama lain. Strereotip mengakibatkan warga beragama Islam membayar uang jaminan kepada aparat, harus berusaha lebih keras meyakinkan orang sekitarnya bahwa dirinya tidak berbahaya, serta harus mendapatkan kenalan atau penjamin yang rela menanggung beban sosial dan moril selama berdiam di Bali.

Lebih-lebih dengan adanya SK Gubernur yang menyatakan bahwa masyarakat selain atau di luar Mahasiswa, PNS dan ABRI, dimintai beban administrasi, yang mana seringkali setiap banjar atau Desa masing-masing berbeda dalam pengenaan biaya pada masyarakat pendatang, sehingga aturan pasti mengenai hal ini terkesan bias.

Ekses lain adalah menyempitnya ruang-ruang ibadah. Beberapa rumah ibadah seperti masjid dan mushola ditutup massa atau aparat. Alasannya, lokasi atau bangunan tidak berizin, khawatir diperuntukkan bagi pendidikan teroris dan lain sebagainya. Bahkan sehari setelah bom kedua, beredar isu-isu yang menimbulkan ketakutan terhadap umat Islam dan beberapa muslimah terpaksa menyembunyikan jilbabnya. Meski pada gilirannya isu-isu tersebut tidak terbukti, nyatanya efektif dalam menimbulkan ketakutan di hati dan jiwa kaum muslimini Bali untuk menampilkan jati diri mereka di muka umum.

 

Sekilas Sejarah dan Perkembangan Islam di Bali

Masuknya Islam ke Bali tidak jauh beda dengan cara masuknya Islam ke Indonesia. Masuknya Islam ke Bali erat kaitannya dengan kaum pendatang dari Bugis, Jawa dan beberapa suku lainnya. Sementara perkembangan Islam di Bali, grafiknya terus meningkat.

Data terakhir, Islam merupakan agama nomor dua setelah Hindu yang dianut masyarakat Bali. Saat ini cukup banyak perkembangan fisik. sebagai  contoh di kabupaten negara saja, ada beberapa Pondok Pesantren, satu Sekolah tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT), 168 tempat ibadah dan diantaranya 54 adalah Masjid.

Kita bisa melihat beberapa desa muslim yang ada di Bali, seperti Pegayaman (Buleleng), Palasari, Loloan dan Yeh Sumbul (Jembrana) dan Nyuling (Karangasem). Atau, kampung muslim d i Kepaon, Badung.

Ekspedisi Islam dengan maksud menyiarkan agama di Bali dilakukan oleh orang Jawa untuk pertama kalinya pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel yang memerintah pada tahun 1460-1550. Sejak itu, komunitas muslim mulai ada di Bali dan dari waktu ke waktu terus berkembang, walaupun tidak sepesat di Jawa. Keberadan komunitas muslim di Bali, ditandai adanya masjid di lingkungan kampung mereka. Selain itu, warga muslim juga sudah tidak lagi melengkapi halaman depan rumah mereka dengan sesaji sebagaimana layaknya umat Hindu di sana.

Wallahu a’lam

Sumber: www.remmysilado.blogspot.com, www.muslimdaily.net dan dari berbagai sumber.

Check Also

Ketika Galau Melanda, Kemanakah Diri Menambal Luka

Ketika Galau Melanda Kemanakah Diri Menambal Luka Tanpa perlu banyak penelitian, sungguh pasti bahwa di …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

slot