Bicara tentang potret stereotype Islam dalam akal Barat serta tentang sebab media-media dan kaum politisi Barat ramai-ramai membela penyebaran karikatur pelecehan terhadap Rosul yang mulia, memaksa kita untuk menengok kepada pengalaman media informasi di negara Barat dengan Islam.
Belakangan di Perancis terbit buku tentang “Islam Khayalan: Bangunan media informasi kaum Islamophobia di Perancis dari tahun 1975 – 2005” yang ditulis oleh seorang wartawan Perancis Thomas Deltombe.
Fenomene permusuhan terhadap Islam atau Islamophobia akar-akarnya kembali kepada masa imperialisme. Fenomena itu muncul bersamaan dengan bertambahnya jumlah kaum Muslimin pendatang di Eropa dan Amerika. Bersamaan dengan awal tahun 1970-an, dalam pandangan Thomas Deltombe, orang-orang Perancis mulai “mendeteksi” kaum Muslimin pendatang, pekerja dan mahasiswa yang hidup di tengah-tengah mereka melalui apa yang disuguhkan televisi dan Koran.
Thomas Deltombe mengatakan bahwa “potret khayalan tentang Islam dan yang diberitakan oleh media masa Perancis sepanjang 30 tahun secara global adalah sesuatu yang kompleks dan fitnah karena ketidak-tahuan secara menyeluruh tentang Islam dan kaum Muslimin, serta tunduk kepada takwil-takwil yang beragam. Hal ini memungkinkan kita untuk berbicara tentang Islam khayalan yang pada akhirnya berupa hasil yang wajar sesuai dengan apa yang disiarkan media-media informasi, para produser sinema dan wartawan.”
Pada dasawarsa 90-an dan 80-an potret Islam di media Perancis disebut periode “mobilisasi pemikiran anti Islam”, di mana “potret khayalan” ini masih selalu menjadi sandera atas apa yang terjadi di luar Perancis seperti revolusi Islam Syi’ah di Iran, perang saudara di Aljazair, perang berturut-turut di Irak, perang Afghonistan, perang dengan Soviet di Afganistan kemudian peristiwa 11 September dan apa yang terjadi di Palestina. Sudah pasti, para wartawan mengetahui bahwa peristiwa-peristiwa semacam ini menjadi berita-berita utama, namun tidak mentransformasikan tujuan kemanusiaan dan potret peradaban dari negeri tertentu melalui media informasi berbeda dengan berita-berita perang dan kehancuran terhadap bangsa-bangsa negara lain.
Jadi, awal kronologi yang jelas untuk membentuk “pesan Islamophobi” di Perancis sebagai salah satu negara penting di Eropa terjadi setelah pemboikotan minyak pascaperang Oktober 1973. Pemboikotan inilah yang menggoncang Perancis dan Barat, yang memberikan gambaran kepada orang-orang Perancis, melalui media, sebagai “kembalinya Islam”, diikuti kemudian peristiwa yang memiliki hubungan dengan pelecehan terhadap agama, demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan di Perancis menentang buku “Ayat-Ayat Setan” tahun 1989, kemudian peristiwa pertama masalah hijab di sekolah-sekolah Perancis pada tahun yang sama. Keduanya disebut oleh sebagian tokoh Perancis sebagai indikasi “Islamisasi Perancis”.
Periode kedua sekitar dasawarsa 90-an dengan “rasionalitas” pesan Islamophobia. Pada periode ini terjadi perubahan penting. Tokoh-tokoh Perancis tidak berbicara tentang kaum pendatang atau pekerja, namun mereka berbicara tentang golongan sosial baru di dalam masyarakat Perancis, yaitu “generasi kedua” dari orang-orang perancis yang Muslim. Artinya bahwa kita telah berhadapan dengan “realita yang tidak mungkin dipisahkan darinya, yaitu bahwa Islam telah juga menjadi bagian Perancis.”
Di antara tokoh pemikir dan media informasi muncul apa yang disebut “periode reformasi terminologi televisi” dengan membagi kaum Muslimin Perancis menjadi dua barak: kaum fanatis di satu pihak dan kaum moderat di pihak lain.
Sedang periode ketiga adalah periode ketakutan keamanan kaum Muslimin, setelah peistiwa 11 September. Pertanyaan para tokoh dan pegiat media adalah: “bagaimana kita bisa menjauhi radikalisasi berfikir kaum Muslimin?”
Pada periode ini penyebaran pada awalnya terjadi secara samar. Namun bersamaan dengan awal ditetapkannya agenda keamanan sebagai proritas Perancis dan Eropa, buldoser penyimpangan dari media dan tokoh bergerak ke arah pembauran hakiki dan kerjasama informasi yang selalu dikontrol keamanan terhadap segala yang memiliki sifat “Islam” di tengah-tengah perang Amerika terhadap apa yang disebutnya “teroris”.
Demikianlah kemunduran terjadi dalam upaya memahami kaum Muslimin dan penyimpangan potret Islam di media informasi setelah masa rasionalitas. Krisis karikatur pelecehan Nabi dan masalah media informasi Perancis, pada ghalibnya, masih terjadi pada periode ketiga ini.
Sesungguhnya Islamophobia atau anti Islamofasisme berarti bahwa sebagian besar kebijakan politik dan praktek-praktek Barat tidak mungkin diinterpretasikan dengan alasan terang-terangan, betapapun pentingnya, seperti kesalahan keamanan yang terkait dengan fenomena teorisme, atau ancaman yang mungkin terjadi pada kondisi negara-negara Islam memiliki kekuatan yang menggetarkan berupa senjarah pemusnah massal atau teknologi modern sebagaimana yang terjadi pada Irak, Iran dan Pakistan.
Bahkan ada ketakutan sebagaian negara terhadap Indonesia atas kepemilihan teknologi industri penerbangan dan yang lainnya, sebagai-mana disadari oleh mantan Presiden BJ Habibi. Atau dicapainya indepen-densi nyata di dalam kerjasama negara-negara Islam di dalam mengelola kekayaan alam dan potensi sendiri terutama sumber-sumber minyak.
Sesungguhnya hal itu mungkin bisa ditafsiri dengan ketakutan dari model peradaban Islam “yang tidak menghapus” yang lain, dalam hal ini Barat. Namun (model peradaban Islam) yang meletakan batas kesalahan-kesalahan model Barat dengan pandangan sentralnya pada kemandirian dan keunggulan atas yang lain.
Demikian juga kebangkitan Islam dan kemenangan partai-partai Islam di banyak negara dalam pemilu yang demokratis adalah bukti nyata kegagalan semua cara yang menjauhkan generasi-generasi sebelumnya untuk membuktikan model peradaban Barat dalam kehidupan kaum Muslimin dari pada model peradaban Islami. Demikian juga hegemoni militer Amerika Barat dengan Israel di tubuh Arab melalui serangan-serangan kontemporer yang mengingatkan kota pada masa imperialisme menjelang akhir abad ke-20, hegemoni militer ini mengung-kapkan tentang kebangkrutan Barat di media-media pemikiran dan moralitas di medan hubungan paradaban dengan yang lain, baik hubungan clash maupun adaptasi.
Kebangkrutan di sini berarti juga tidak adanya kepercayaan pada sarana-sarana selain militer guna menguasai dunia Arab dan Islam di masa-masa mendatang, terutapa bersamaan dengan meluasnya kebebasan dan perubahan demokrasi yang terjadi di banyak negara untuk terbebas dari kediktatoran yang menguasai negara-negara Arab dan Islam sejak kemerdekaannnya ada pertengaah abad ke-20.
(Red-HASMI)