Berhasilnya kaum muslimin menguasai Makkah menorehkan tamparan keras bagi bangsa Arab. Mereka terhenyak seolah tak percaya atas kenyataan ini. Sebagian besar penduduk Makkah tunduk kepada Rosululloh yang membawa bendera Islam. Hanya sedikit kabilah yang tidak mau tunduk dan masih mempunyai nyali untuk revans kepada kaum Muslimin. Mereka adalah kaum Hawazin dan Tsaqif. Ada beberapa suku lain yang berhimpun bersama mereka, seperti Nashr, Jusyam, Sa’d bin Bakr dan beberapa orang dari Bani Hilal. Suku suku ini melihat dirinya masih layak dihormati dan tidak sudi tunduk kepada Islam setelah menaklukan Makkah. Mereka semua berhimpun di bawah pimpinan Malik bin Auf An-Nashri, dan mengambil keputusan bulat untuk memerangi orang-orang Muslim.
Setelah komandan mereka Malik bin Auf An-Nashri memutuskan untuk melancarkan serangan terhadap orang-orang Muslim, maka dia memberangkatkan pasukan. Tempat yang mereka tuju adalah Authas, sebuah lembah di kawasan Hawazin dekat Hunain. Rombongan itu tidak hanya terdiri dari laki-laki saja, akan tetapi perempuan dan anak-anak juga menghiasi rombongan tersebut, bahkan hewan ternak dan harta benda juga tidak luput mereka bawa.
Untuk mengetahui sejauh mana kondisi kaum Muslimin di Makkah, maka Malik bin Auf mengirim mata-mata untuk mencari informasi tentang kaum muslimin. Tetapi mereka menjadi bercerai-berai. Setelah mereka kembali, Malik berkata. “Celaka kalian. Ada apa dengan kalian?”
Mereka menjawab, “kami berpapasan dengan sekumpulan laki-laki yang berpakaian putih menunggang kuda yang gagah. Demi Alloh, lebih baik kami menarik diri daripada kami mendapakan musibah.”[1]
Di tempat terpisah, Rosululloh yang sudah mengetahui makar-makar busuk mereka sudah mempersiapkan diri secara matang. Pada tanggal 6 Syawwal 8 H, Rosululloh meninggalkan Makkah. Beliau berangkat bersama 12.000 orang, yang terdiri dari gabungan pasukan asli yang Beliau pimpin (dari Madinah) serta asli Makkah (Muallaf).
Pada petang harinya ada seorang penunggang kuda yang muncul di hadapan Beliau sambil berkata, “Aku baru saja mengamati bukit ini dan itu. Pada saat itu aku melihat Hawazin yang sedang berangkat dengan membawa ternak dan domba milik mereka.”
Rosululloh tersenyum mendengarnya, lalu bersabda, “Itu adalah harta rampasan milik orang-orang Muslim”. Pada malam itu Beliau menugasi Anas bin Abu Martsad Al-Ghanwi sebagai penjaga.
Pada malam Rabu tanggal 10 Syawwal, pasu-kan Islam tiba di Hunain. Menjelang subuh Ro-sululloh mempersiapkan pasukan, menyerah-kan bendera dan membagi-bagi tugas di antara mereka. Tepat pada waktu subuh yang suasananya masih gelap, orang-orang Muslim tiba di lembah Hunain dan mulai memasang kewaspadaan. Akan tetapi, kaum Muslimin tidak tahu sama sekali ada-nya pasukan musuh yang bersembunyi di samping celah bukit. Saat itulah pasukan Muslimin men-dapat serangan anak panah secara serentak dan tiba-tiba, hal ini membuat pasukan kaum muslimin mundur ke belakang dan lari sejauh mungkin untuk menghindari serangan tersebut. Di antara mereka sudah tidak mempedulikan lagi siapa ka-wan di dekatnya, yang terpikirkan adalah berusaha menyelamatkan diri.
Rosululloh berbelok ke arah kanan sambil berseru, “Kemarilah wahai semua orang. Aku adalah Rosul Alloh. Aku adalah Muhammad bin Abdulloh. Akan tetapi semua orang tidak ada yang mempedulikan, yang terpikir dalam benak mereka adalah hanya menyelamatkan diri dengan cara lari sejauh mungkin. Hanya sedikit saja orang yang masih di sekitar Rosululloh . Pada saat itu kon-disi sangat genting, Abu Sufyan Al-Harits segera memegang tali kekang baghal (keledai) Rosululloh sedangkan Al-Abbas memegang pelananya. Mereka berdua segera mengajak Rosululloh untuk menyelamatkan diri sambil berdoa “Ya Alloh, turunkahlah pertolongan-Mu.”
Setelah semuanya bisa menyelamatkan diri, akhirnya Rosululloh memerintahkan paman beliau Al-Abbas, orang yang suaranya paling lan-tang untuk menyeru para sahabat. Dengan seke-tika pasukan kaum Muslimin pun kembali ber-kumpul di hadapan Rosululloh dengan jumlah yang banyak. Tanpa pikir panjang, akhirnya me-reka pun kembali ke kancah pertempuran.
Peperangan pun tidak terelakkan, seru dan mendebarkan mewarnai pertempuran tersebut. Rosululloh memandang ke arah kancah pepe-rangan yang semakin seru dan gencar, sambil ber-sabda, “Di sinilah peperangan berkobar”. Lalu Beliau memungut segenggam pasir dan melontar-kannya ke arah musuh. Tak seorang pun di antara mereka yang terkena semburan melainkan mata-nya penuh dengan butir-butir pasir, sehingga me-reka sulit melihat.
Tak berapa lama setelah Beliau melontarkan genggaman pasir, musuh mengalami kekalahan secara telak. Tidak kurang dari 70 orang dari Tsafiq saja mati terbunuh. Untuk kesekian kalinya mereka tidak berdaya di hadapan kekuasaan Alloh melalui orang-orang Muslim.
Dengan kemenangan itu, maka orang-orang Muslim bisa mendapatkan harta yang banyak, senjata dan menawan para wanita. Selain itu, harta rampasan yang diperoleh pasukan Muslim adalah berupa enam ribu orang tawanan, dua puluh empat ribu onta, empat puluh ribu domba lebih dari empat ribu uqiyah perak. Semuanya di-kumpulkan di Ji’ranah. Beliau menunjuk Mas’ud bin Amr Al-Ghifari sebagai penanggung jawabnya. Akhirnya rekor tak terkalahkan kaum Muslimin pun bertambah, syiar Islam semakin luas dan ke-jayaan semakin mudah diraih.
Tapi perjalanan ini pun belum selesai. Mereka kaum kafir selalu menyimpan dendam kesumat terhadap kaum muslimin. Meski begitu, dari pe-ristiwa tersebut tergambar beberapa hikmah yang bisa dijadikan pelajaran berharga, diantaranya:
- Selalu dan senantiasa ada kelompok-kelompok yang tidak menghendaki ke-menangan Islam.
- Kompak dan bersemangatnya kaum mus-limin dalam membela agama Alloh , meski harta dan jiwa harus mereka per-taruhkan.
- Salah satu senjata pamungkas orang-orang Muslim adalah dengan do’a.
- Alloh memberikan pertolongan be-rupa kemenangan dalam peperangan ter-sebut ketika kaum muslimin benar-benar ber-satu padu mengikuti arahan atau pe-tunjuk dari Rosululloh .
[1] Sekumpulan laki-laki berpakaian putih itu adalah para malaikat. (Sirah Nabawiyah, Syaikh Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri; hal: 488)