Jakarta – Kementerian Komunikasi dan Informatika mengatakan sepanjang tahun 2011 sudah menutup 300 situs internet yang dianggap radikal.
“Tahun ini, kita sudah mendapatkan pengaduan sebanyak 900 yang terkait dengan situs–situs radikal. Dari situ sudah kita follow up dan 300 situs sudah kita blokir,” kata Menkominfo, Tifatul Sembiring.
Tifatul menambahkan bahwa tindakan pemblokiran memang lebih didasarkan pada pengaduan masyarakat karena tidak mungkin kementeriannya melakukan pengkajian atas semua internet yang ada.
“Di dunia ini ada lebih dari 10 miliar situs internet, tentu tidak mudah kalau kita melakukan penelusuran terhadap semua situs itu. Jadi tentu saja berdasarkan laporan dari masyarakat ataupun yang dimuat di media-media.”
Adapun peraturan yang digunakan dalam menentukan radikalisme adalah UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik . (ITE).
“Itu yang menghasut. Atau melakukan blasphemy (fitnah) atas dasar perbedaan suku, agama dan ras. Itu dilarang undang-undang dan kita bekerja berdasarkan itu,” tambahnya.
“Jadi yang 600 itu tidak terkategori sebagai situs yang tidak menyebarkan kebencian.” Seru ketua NU.
Sebelumnya, Selasa 27 September, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhlatul Ulama, PBNU, Said Agil Siradj, mendesak agar Kemenkominfo segera menutup situs yang menyebarkan paham radikalisme.
“Sama dengan situs-situs porno. Kalau situs porno saja diblokir yang akibatnya lebih ringan dari terrorisme, maka situs-situs radikal hendaknya ditutup.” kata Said Agil Siradj.
Said Agil Siradj berpendapat bahwa situs seperti itu bisa membelokkan ajaran agama Islam dan mempengaruhi kaum muda.
“Menurut saya merupakan faktor yang antara lain, dari sekian faktor, yang menimbulkan sikap radikal bagi kaum generasi muda remaja yang tidak paham islam.”
“Jadi sebagai upaya untuk membatasilah, minimal mengurangi,” tambahnya dalam wawancara dengan BBC Indonesia.
Bagi Said Agil, pengaruh situs radikal itu lebih berbahaya terhadap kenyamanan hajat bangsa daripada situs porno. Madharat situs porno hanya berdampak individual, sementara situs radikal berefek sosial.
“Situs porno secara hukum fikih tak berdosa, hanya makruh. Yang dosa itu yang membuat dan menjadi bintang porno,” ujar Prof Dr KH Said Agil Siraj.
Said Agil juga merujuk pada Pino Damayanto -pelaku bom GBIS di Solo, Minggu 25 September- yang mengunjungi warung internet sebelum melakukan pengeboman bunuh diri.
“Sebelum masuk gereja, ke internet dulu, buka–buka situs radikal dulu.
Memang bukan kali itu, tapi begitu akan mau bunuh diri juga mendapatkan ideologi atau prinsip yang dia baca dari situs-situs.”
Akan tetapi Menkominfo, Tifatul Sembiring menepis anggapan yang disampaikan Ketua Umum NU tersebut.
“Kalau menurut saya ini bukan masalah di bidang IT saja tapi juga di bidang pemahaman agama. Kekeliruan dalam memahami agama.” (Redaksi-HASMI).