Rasa malu merupakan sifat yang mulia, warisan dari para nabi ‘alaihimus salam. Oleh karena itu, Sifat yang agung ini telah diwarisi secara turun temurun oleh orang-orang shalih dari satu umat kepada umat yang lainnya. Dari satu generasi kepada generasi yang berikutnya. Demikianlah, sampai ajaran rasa malu itu diwarisi oleh pendahulu umat ini yaitu para sahabat rodhiyallohu‘anhum. Dalam hadits Abu Mas’ud Al-Anshary, ‘Uqbah bin ‘Amir rodhiyallohu‘anhu, disebutkan bahwa Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam bersabda:
(إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ).
“Sesungguhnya termasuk yang masih didapatkan oleh manusia dari ucapan kenabian yang pertama adalah apabila engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau suka.”
(HR. Al-Bukhari)
Rasa malu adalah sifat yang mulia. Rasa malu, seluruhnya adalah kebaikan. Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam merupakan profile yang menjadi panutan dan tauladan dalam perihal rasa malu. Bahkan sampai disebutkan bahwa beliau lebih pemalu dari gadis pingitan yang berada dalam kamarnya. Demikianlah Rosululloh shollallohu’alai wasallam. Lebih daripada itu, para malaikat juga memiliki rasa malu. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits ketika Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam ditemui oleh ‘Utsman bin ‘Affan rodhiyallohu‘anhu. Waktu itu, Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam tersingkap bagian pahanya sehingga terbuka. Maka beliau pun bergegas membenahi dirinya, tatkala Utsman masuk kepadanya. Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam pun ditanya tentang sikapnya yang demikian, maka beliau menjawab:
أَلاَ أَسْتَحِي مِنْ رَجُلٍ تَسْتَحِي مِنْهُ الْمَلاَئِكَةُ
“Bagaimana aku tidak malu kepada seseorang yang para malaikat pun merasa malu kepadanya.”
(HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa rasa malu merupakan sifat para malaikat.
Maka sebagaimana dalam hadist Abu Mas’ud Al Anshary diatas, bahwa orang yang tidak punya rasa malu, dia akan terjatuh pada perkara-perkara yang buruk dan jelek, baik secara hukum syar’i maupun dalam tinjaun adat kebiasan manusia.
Pernyataan beliau shollallohu ’alaihi wasallam yang artinya:
“apabila engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engakau suka”.
Diantara pendapat ulama dalam hadist ini adalah perintah di sini “apabila engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau suka”, adalah sebagai ancaman. Maksudnya, jika engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau suka, sesungguhnya Allah yang akan membalas perbuatanmu. Hal ini seperti firman Alloh subhanahu wata’ala :
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Perbuatlah apa yang kalian kehendaki, sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kalian kerjakan.”
(Fushilat: 40)
Maksud ayat ini adalah ancaman. Yakni Alloh subhanahu wata’ala yang akan melihat dan mengawasi apa yang kalian kerjakan, maka perbuatlah apa yang kalian kehendaki. Niscaya Alloh akan menghitung dan membalas perbuatan kalian itu. Maka menurut pendapat ini bahwa makna hadits diatas adalah ancaman. Berarti perintah berbuat sesuka hati bila tidak memiliki rasa malu merupakan ancaman dari Alloh subhanahu wata’ala.
Rasa malu adalah akhlak yang mulia, akhlak yang dimiliki oleh orang-orang yang baik. Setiap orang yang memiliki rasa malu niscaya akan tercegah dari perkara-perkara yang buruk dan jelek yang dimurkai oleh Alloh subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya serta dibenci oleh manusia.
Rasa malu itu sendiri terbagi dua. Ada rasa malu yang menjadi sifat pembawaan atau tabiat yang merupakan karunia dan pemberian dari Alloh subhanahu wata’ala. Ini diistilahkan dengan rasa malu yang tidak diupayakan. Bisa jadi ada sebagian orang yang meninggalkan perkara-perkara yang buruk dan jelek bukan karena dia paham dan komitmen kepada agamanya. Akan tetapi lebih disebabkan rasa malu untuk melakukannya. Sehingga dia meninggalkannya bukan karena dorongan agama tapi disebabkan faktor rasa malu yang memang Alloh ciptakan pada dirinya. Tabiat ini merupakan karunia Alloh subhanahu wata’ala yang dilimpahkan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Alloh subhanahu wata’ala maha memiliki keutamaan yang besar.
Rasa malu yang kedua adalah rasa malu yang bisa diupayakan. Maksudnya adalah rasa malu yang lahir karena merasa selalu diawasi oleh Alloh subhanahu wata’ala. Hal itu bisa tewujud karena mengenal dzat Alloh melalui nama-nama dan sifat-sifat Nya yang Maha mulia dan agung. Dia malu kalau Alloh melihatnya berbuat keburukan dan kejelekan. Maka dia berupaya menghindari perkara-perkara yang buruk dan jelek disebabkan rasa malu kepada Alloh subhanahu wata’ala, walaupun secara tabi’at dan watak, dia bisa dan mungkin biasa melakukan keburukan dan kejelekan tersebut. Ini namanya rasa malu yang diupayakan dan yang dimaksud oleh sabda Rasulullah :
الْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَانِ
“Rasa malu itu adalah salah satu cabang dari keimanan.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Umar rodhiyallohu’anhuma pernah melewati seseorang dari kalangan anshar yang tengah menasihati saudaranya mengenai rasa malu. Maka Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam bersabda:
دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ اْلإِيْمَانِ
“Biarkan dia, karena sesungguhnya rasa malu itu termasuk dari keimanan.”
(HR. Al Bukhari dan Muslim)
Rasa malu yang termasuk dari keimanan adalah rasa malu yang diupayakan karena merasa diawasi oleh Alloh subhanahu wata’ala.
Apa pun keadaannya, seorang yang punya rasa malu secara tabiat dan kepribadian, memiliki modal dasar untuk menuju rasa malu yang diupayakan karena merasa diawasi oleh Alloh subhanahu wata’ala. Jika rasa malu itu dicabut dari seseorang, baik rasa malu secara tabiat dan kepribadian maupun rasa malu yang memang disyari’atkan, maka akan lenyap berbagai kebaikan dari dirinya. Dia akan jatuh pada perbuatan-perbuatan yang buruk dan jelek, baik secara hukum syar’i maupun secara adat kebiasaan manusia.
Namun di sana sesungguhnya ada rasa malu yang tercela. Rasa malu yang tercela sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Qodhi ‘Iyadh rohimahulloh dan yang selainnya yaitu rasa malu yang menghalangi seseorang untuk menunaikan hak dan kewajiban. Seseorang merasa malu dalam menuntut ilmu sehingga dia mengalami kebodohan dalam agamanya. Seseorang merasa malu untuk beribadah kepada Alloh sehingga dia tidak menunaikan kewajibannya terhadap Alloh. Seseorang merasa malu untuk menunaikan hak dirinya, hak keluarganya, dan hak kaum muslimin. Maka semua rasa malu itu adalah rasa malu yang tercela. Karena rasa malu yang seperti ini merupakan kelemahan dan kecerobohan.
Sedangkan yang dimaksud dalam sabda Nabi shollallohu’alaihi wasallam:
الْحَيَاءُ لا يأتي إلا بخَيْرٍ
“Rasa malu itu tidak membawa kecuali kepada kebaikan.”
(HR. Al Bukhari dan Muslim)
yaitu rasa malu yang membawa kepada keimanan serta tidak melalaikan hak dan kewajiban.
Lalu mengapa rasa malu yang menghalangi seseorang dari kebaikan disebut sebagai rasa malu? Hal itu karena rasa malu ini menyerupai rasa malu yang yang disyari’atkan. Padahal hakekatnya, rasa malu yang menghalangi dari kebaikan adalah tercela di sisi Alloh subhanahu wata’ala.
Maka orang yang mempunyai rasa malu akan terhalangi dari perkara-perkara yang buruk dan jelek, baik rasa malu yang berlaku secara tabi’at maupun rasa malu yang lahir karena keimanan kepada Alloh subhanahu wata’ala. Jika kita mau memperhatikan kondisi dan keadaan manusia secara cermat, niscaya kita akan mendapati realita bahwa berbagai keburukan dan kejelekan terjadi, baik yang berupa kekafiran, kesyirikan, kebid’ahan, dan kemaksiatan, baik yang kecil maupun yang besar, itu terjadi dikarenakan mereka telah kekurangan bahkan kehilangan rasa malu yang dicintai oleh Alloh subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Jika rasa malu dengan kedua jenisnya telah hilang dari seseorang maka tak ada lagi kebaikan yang bisa diharapkan darinya. Bahkan bisa jadi dirinya telah berubah menjadi syaithan yang terkutuk.
Semoga Alloh menganugerahkan kepada kita semua rasa malu, sehingga menuntun kita untuk terus berada dalam ketaatan kepada Alloh Ta’ala. Aamiin..