Pada peperangan ini, yaitu perang Dzatur Riqo’, yang menjadi lawan umat Islam bukanlah musuh-musuh besar, seperti kafir Quroisy, Yahudi atau bahkan Romawi yang secara garis besar mereka semua memiliki dendam dan keinginan untuk menghancurkan umat Islam, tetapi yang menjadi lawannya adalah suatu kaum yang sebelumnya tidak diperhitungkan, yaitu kaum Badui. Kaum Badui yang sejatinya tidak masuk hitungan dalam strategi perang kaum Muslimin, justru seringkali menjadi musuh dalam selimut bagi kaum Muslimin. Mereka dikenal sebagai kaum yang keras kepala, susah diajak kepada kebenaran, dan suka melakukan penyerangan, perampasan dan perampokan terhadap kaum Muslimin, sehingga hal ini tidak bisa dibiarkan. Untuk itu, Rosululloh [saw] sangat serius menyiapkan strategi untuk menghadang mereka.
***
Awal Mula Kisah
Rosululloh [saw] mendapat informasi tentang Bani Tsa’labah yang bergabung bersama Bani Mughorib di Ghothofan. Berdasarkan informasi ini, Beliau berangkat bersama empat ratus atau tujuh ratus prajurit. Madinah diwakilkan kepada Abu Dzar atau Utsman bin Affan [ranhu]. Beliau memasuki wilayah mereka hingga tiba di suatu tempat yang disebut Nakhl, yang ditempuh dengan perjalanan kaki dua hari dari Madinah. Beliau bertemu dengan segolongan penduduk dari Ghothofan. Mereka menawarkan perdamaian, dan tidak terjadi pertempuran. Hanya saja di sana Beliau sempat shalat khauf.
Di sinilah awal mula istilah Dzatur Riqo’ muncul. Yaitu ketika kaum Muslimin yang sedang berjalan dan di tengah-tengahnya ada seekor unta, maka mereka berjalan di belakang unta tersebut. Saking panasnya cuaca dan jauhnya perjalanan, menyebabkan kaki-kaki mereka terluka dan pecah-pecah, akhirnya mereka membalut kaki-kaki mereka menggunakan kain perca, karena itu, tempat tersebut dinamakan Dzatur Riqo’ (yang ada tambalannya) karena mereka membalut kaki-kaki mereka dengan sobekan kain perca.
Dalam riwayat Bukhori juga disebutkan dari Jabir [ranhu], ia berkata, “Kami bersama Rosululloh [saw] di Dzatur Riqo’. “Ketika kami tiba di suatu pohon yang rindang, kami memberi kesempatan kepada Beliau [saw] untuk berteduh di bawahnya. Beliau singgah di tempat itu dan orang-orang berpencar mencari perlindungan sendiri-sendiri. Di pohon itu pula beliau menggantungkan pedangnya. Untuk beberapa saat kami tidur. Tiba-tiba pada saat itu muncul salah seorang musyrikin (kalangan Badui), lalu ia memungut pedang Beliau. Dengan mengacungkannya, orang itu bertanya kepada Beliau, “Apakah engkau takut kepadaku”?
“Tidak,” jawab beliau.
“Siapa yang bisa menghalangimu dari tindakanku?” tanya orang itu sekali lagi. “Alloh,” jawab Beliau. Tiba-tiba saja ia terduduk di depan Rosululloh [saw] dan Beliau tidak mencacinya sama sekali.” Bahkan di akhir kisah, sang Badui itu akhirnya masuk Islam dan berjanji untuk tidak memusuhi Islam lagi.
Perjalanan Pulang
Dalam perjalanan pulang, pasukan Muslimin menawan seorang wanita dari kaum musyrik. Ternyata sang suami dari wanita itu tidak terima akan perlakuan tersebut, akhirnya ia pun bertekad untuk menumpahkan darah seorang sahabat. Sementara itu, kaum Muslimin tengah berada di sebuah lembah dan beristirahat.
Di tempat itu, dua orang, satu dari Muhajirin dan satunya lagi dari Anshor sepakat untuk bergantian berjaga-jaga malam. Giliran jaga pertama adalah orang Anshar. Ketika itulah, suami perempuan yang tertawan itu sampai di lembah. Dalam keremangan malam, ia melihat orang Anshor yang sedang berjaga-jaga tengah berdiri mengerjakan sholat. Tanpa pikir panjang, orang itu pun melesatkan anak panahnya ke arah orang Anshor. Anak panah itu tepat mengenai tubuh orang Anshor itu, tapi ia tetap berdiri, dan mencabut panah dari tubuhnya. Panah kedua hingga ketiga pun dilesatkan dan mengenai tubuh orang Anshor, tapi ia tetap meneruskan sholatnya, dan mencabut anak-anak panah itu dari tubuhnya. Setelah darahnya banyak terkucur dan ia merasa lemah, ia membangunkan orang Muhajirin untuk giliran jaga. Ia berkata, “Duduklah engkau, aku sudah dari tadi bertahan.”
“Subhanalloh,” kata temannya, “Mengapa engkau tidak memberitahuku?”
“Saat itu aku sedang membaca sebuah surat al-Qur’an, dan aku tidak ingin memutus bacaanku. Ketika tiga anak panah menancap di tubuhku, aku mencabutnya satu persatu, lalu aku rukuk hingga bisa menyelesaikan sholat, lalu membangunkanmu.”
Subhanalloh, sebuah potret yang baik sekali untuk dijadikan uswah. Selain itu, peperangan ini pun cukup efektif untuk menanamkan rasa takut di dalam hati-hati orang Badui yang dikenal keras. Bahkan sedikit demi sedikit mereka menyerah dan tidak sedikit di antara mereka yang masuk Islam.
Dengan tuntasnya peperangan ini, gangguan tak terduga yang seringkali dilancarkan oleh kaum Badui dapat dinetralisir, sehingga terciptalah keamanan serta ketentraman perjalanan dakwah Rosululloh [saw] yang diberkahi. [Red/HASMI]