MAGELANG – Banjir lahar dingin yang terus menerus terjadi dan masih mengancam, membuat warga di bagian hulu Sungai Putih melakukan ritual tolak bala. Mereka menanam dua kepala kerbau sebagai upaya meminta keselamatan menghadapi bencana alam.
Kegiatan ini dikoordinasi oleh Komunitas Peduli Merapi 894 dengan melakukan ritual tolak bala di DAM Lampean Kecamatan Srumbung yang merupakan hulu Sungai Putih, Minggu (13/3). Ritual dipimpin Ki Damar dari Ngablak, Kabupaten Magelang.
Prosesi dimulai dengan mengarak dua kepala kerbau dari Dusun Srikaton, Desa Ngablak, Kecamatan Srumbung. Sejumlah piranti sesaji seperti hasil bumi, bunga tujuh rupa dan beberapa makanan tradisional setempat turut dibawa. Rombongan menempuh jarak hampir empat km menggunakan mobil menuju tempat ritual.
Sampai di lokasi, terlebih dahulu dilakukan doa bersama disambung prosesi menanam dua kepala kerbau ke dalam lubang yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Menurut Ki Damar, dua kepala kerbau itu merupakan kerbau jantan dan betina.
Ia mengatakan, bencana Merapi mulai erupsi hingga banjir lahar dingin telah menimbulkan kekhawatiran, kepanikan, dan ketakutan masyarakat. “Apalagi bencana Merapi sangat sulit diprediksi secara alamiah maupun logika ilmiah,” tuturnya.
Berdasar kepercayaan nenek moyang dan masyarakat sekitar, sepasang kepala kerbau dipilih sebagai simbol kerendahan manusia. Hewan tersebut, merupakan peliharaan sekaligus alat warga bercocok tanam.
Hal ini senada dengan realitas bahwa yang menjadi korban bencana Merapi adalah petani. Tidak hanya kehilangan rumah, mereka juga kehilangan lahan sawah yang menjadi mata pencaharian sehari-hari.
Meski lokasi ritual di Sungai Putih, Ki Damar menyebutkan tolak bala itu diharapkan juga untuk meminta agar bencana tidak terjadi lagi di sungai-sungai lain. “Kali Putih hanyalah tempat dan simbol, karena di kali ini banjir terbesar terjadi. Sejatinya, kami berharap keselamatan untuk semua tempat,” tambahnya.
Ketua Komunitas Peduli Merapi 894, Suharno menambahkan upacara tolak bala ini sesuai dengan tradisi kebudayaan Jawa. Tujuannya, memberikan keseimbangan dan semangat kepada masyarakat, baik yang sedang berada di tempat pengungsi, di rumah maupun dalam perjalanan.
Miris sekali di saat bencana meninpa negeri ini bukannya malah bertaubat tetapi malah melakukan ritual-ritual kesyirikan yang mengancam timbulnya bencana-bencana yang lebih dahsyat lagi. (Redaksi HASMI/harian yogya)