Mendeteksi Invasi Pemikiran Di Dunia Islam

Saat mengartikulasikan ghazw fikrī (invasi pemikiran) yang semakin masif dilancarkan di dunia Islam, Muhammad Qutb  mendefinisikannya secara terminologis sebagai “Beragam sarana dan media selain bentuk invasi militer, yang secara masif dipropagandakan pasca (kegagalan) Perang Salib dengan tujuan untuk menghapus nilai-nilai keislaman dalam kehidupan kaum Muslimin dan untuk memalingkan komitmen mereka terhadap Islam, dengan menyebarkan virus akidah dan hal-hal lain yang terkait dengannya, seperti pemikiran, adat-istiadat dan bahkan hingga gaya hidup (lifestyle).” (Muhammad Quthb , Wāqi’unā al-Mu’āshir, Jeddah: Mu’assasah al-Madīnah, 1989, hlm. 195)

Embrio ghazw fikrī

Mayoritas pengkaji atau bahkan hampir semua peneliti tentang masalah ghazw fikrī meyakini bahwa munculnya ghazw fikrī sebagai sebuah fenomena baru untuk menciptakan hegemoni Barat yang dijiwai oleh nilai-nilai Kristiani, walaupun Barat juga sangat terpengaruh oleh Yahudi dan bahkan berada dalam cengkeram mereka, adalah dilatarbelakangi oleh kekalahan Barat dalam Perang Salib.[1]

Kekalahan tersebut kemudian menginspirasi mereka untuk memerangi Islam dengan cara “baru” dan senjata “lain”, selain dengan kekuatan senjata atau invasi militer. Sebab mereka meyakini, sebesar apapun kekuatan mereka, mustahil dapat mengalahkan kedigjayaan Islam dan kaum Muslimin.

Orang-orang Barat meyakini, para pejuang Islam dalam menjalani peperangan, mereka bertempur dengan spirit akhirat, kemudian dengan dedikasi dan kepahlawanan tanpa batas, dalam membela dan memperjuangkan agama Alloh [swt].

Dalam perspektif mereka, memerangi Islam dengan kekuatan senjata, hanya berakhir dengan kekalahan dan kenistaan. Berangkat dari realita tersebut, Barat kemudian merubah strategi perang mereka dalam menghadapi umat Islam, mereka tidak lagi memakai kekuatan senjata, tetapi memakai kekuatan logika, yang akhirnya disebut dengan ghazw fikrī. Apapun harga yang dibayar dan berapapun lama waktu yang dibutuhkan, Barat telah mantap memakai strategi ghazw fikrīuntuk menghancurkan Islam dan kaum Muslimin.[2]

Oleh karena itu, seluruh kaum Muslimin harus menyadari betul bahwa kekalahan Perang Salib benar-benar telah menyisakan luka menganga yang dalam, terlebih mengaduk-aduk kedengkian, kebencian dan permusuhan terhadap Islam di dada orang-orang Barat.

Eksistensi ghazw fikrī

Permusuhan Barat terhadap Islam dan umatnya tidak muncul dan terjadi secara tiba-tiba atau baru kemarin terjadi. Permusuhan tersebut telah berlangsung sejak lama, bahkan semenjak fajar Islam mulai menyingsing di ufuk dunia. Oleh karena itu, ghazw fikrī yang merupakan sebuah strategi perang dan sebagai konsep mengejewantahkan permusuhan, lahir melalui tahapan dan fase perkembangan yang berlangsung lama, waktu yang panjang dan perbincangan yang alot.

Secara umum, banyak peneliti menyatakan bahwa ghazw fikrī lahir secara sempurna melalui empat fase tahapan, yaitu[3]:

  1. Infiltrasi Yahudi (Isrā’-īliyyāt).

Yaitu infiltrasi atau penyusu-pan yang dilakukan oleh sebagian Yahudi, semisal ‘Abdulah bin Saba’, Ibnu al-Muqaffā, Ibnu al-Rāwandī, dan lainnya yang berusaha keras untuk mengerukan akidah Islam dengan ajaran lain yang mengotorinya, sehingga ajaran Islam menjadi tereduksi dan mengalami distorsi.

Isrāīliyyāt ini dilakukan pada hampir semua aspek agama, terutama tafsir, hadits dan adab, dimana yang terakhir bahkan sangat digemari oleh para kholifah.

  1. Perang Salib Jilid Pertama (Hurūb al ShalībiyyahŪlā).

Pada fase ini, invasi militer yang mengandalkan kekuatan per-senjataan dan mobilisasi massa umat Kristiani banyak dilancarkan sebagai upaya untuk menghancur-kan akidah kaum Muslimin dan untuk mengkristenkan mereka bila memungkinkan.

Fase ini berakhir dengan k-gagalan kaum Salibis, puncaknya ditandai dengan tertangkapnya Pemimpin Perang Salib sekaligus Raja Prancis, Louis IX. Di kemudian hari bahkan hingga kini, kegagalan ini menimbulkan luka mendalam di hati orang-orang Barat, sehingga mereka begitu mendendam kepada Islam dan kaum Muslimin.

  1. Invasi Pemikiran atau Perang Intelektualitas (ghazw fikrī).

Adalah fase yang merupakan kelanjutan dari Perang Salib, sehingga sering dianggap sebagai Perang Salib Jilid Kedua. Fase ini dimungkinkan berjalan dengan mulus, bila di negeri kaum Muslimin sendiri “tersedia” dua kekuatan penopang dan penyubur invasi, yaitu:

1. Faktor eksternal;

 yaitu dengan berjalannya proses invasi budaya dan peradaban (taghrīb tsaqāfī) yang sudah menjangkit dengan sangat akut dan menjalar dengan sangat kuat, juga karena sering terjadinya konflik politik, khususnya ketika pihak militer mulai turun tangan dan ikut campur.

2. Faktor internal;

 yaitu dengan semakin banyaknya kader dari kalangan kaum Muslimin yang telah tercuci otaknya, sebagai hasil dari pendidikan mereka di negara Barat.

Bila keberhasilan dalam fase ini dianggap sudah sangat matang, maka Barat akan melanjutkannya ke fase keempat yang sekarang pengaruh dan hegemoninya terasa semakin begitu kuat mencengkram, yaitu al-Taghrīb al-Tsaqāfī.

  1. Westernisasi Budaya (taghrīb tsaqāfī).

Fase ini merupakan tahapan yang paling berbahaya, karena target utamanya adalah untuk menanggalkan seluruh lapisan kaum muslimin dari akar akidah dan budayanya, yaitu akidah Islamiyyah dan budaya Islami, khususnya di era yang disebut sebagai era globalisasi yang tiada lain merupakan proses Amerikanisasi.

Tahapan tersebut secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu[4]:

  1. Tahap sebelum jatuhnya Khilafah Islamiyyah.

Fase ini dimulai dengan peristiwa Perang Salib (Crusade), kemudian Orientalisme, lantas disusul dengan Missionarisme dan diakhiri dengan membagi-bagi dan mencabik-cabik wilayah daulah Islamiyyah menjadi teritorial kecil.

  1. Tahap menjatuhkan Khilafah Islamiyyah.

Fase ini ditandai dengan penyebarluasan sekulerisme secara masif, kemudian ditopang dengan penyebaran paham kebangsaan (nasionalisme) untuk menghadapi kekuatan kekhalifahan, lalu diakhiri dengan usaha untuk menjatuhkan khilafah Islamiyyah hingga menemui keruntuhannya.

  1. Tahap setelah jatuhnya Khilafah Islamiyyah.

Fase ini merupakan upaya penjagaan Barat untuk mengukuh-kan hegemoninya, agar dunia Islam tidak mengalami kebangkitan (shahwah islāmiyyah) dan agar mereka tetap dalam keadaan tercabik-cabik penuh luka. Cara dan metode yang ditempuh Barat dalam fase ini sangat banyak dan beragam sekali, dan yang terpenting adalah dengan melakukan perubahan sosial politik di dunia Islam melalui program westernisasi, atau penggalakan masif dari konsep SEPILIS (Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme).

Meningkatkan Kewaspadaan

Betapapun keras dan kerapnya gelombang ghazw fikrī menghantam kaum Muslimin dan walaupun peradaban Barat saat ini memiliki hegemoni kuat, semua itu tiada lain merupakan sebuah tantangan, yaitu tantangan peradaban (tahaddī hadhārī)[5] yang harus dihadapi dan bahkan dimenangkan.

Di samping itu, kaum Muslimin pun harus mampu mendeteksi fenomena ghazw fikrī yang menggejala di dunia Islam, spesifiknya di lingkungan dan komunal mereka, dan dan untuk selalu meningkatkan kewaspadaan terhadap pemikiran, adat-istiadat dan gaya hidup (lifestyle) baru yang menyusup atau disusupkan ke tengah-tengah mereka.

(Red-HASMI)


[1] Tepatnya terjadi pada abad 12-13 Masehi. Ringkasan gelombang eksodus kaum Salibis hingga akhir kegagalannya, lihat: Ahmad Ma’mūr al-‘Usairī, Mūjaz al-Tārīkh al-Islāmī (Mundzu Zhuhūr al-Rasūl  ilā al-‘Ashr al-Hādhir 2004 M), Saudi Arabia: tp., 2004, hlm. 200-202.

[2] Abdullah al-Thail, Yahudi Sang Penghancur Dunia, Jakarta: Mihrab, 2008, hlm. 171. Lihat pula: Quthb, Wāqiunā al-Muāshir, hlm. 196; Sa’d al-Dīn al-Sayyid Shālih, Ihdzarū al-Asālīb al-Hadītsah fī Muwājahah al-Islām, Uni Emirat Arab: Maktabah al-Shahābah, 1998, hlm. 31-32.

[3]‘Abd al-‘Karīm ibn ‘Abd al-Lathīf al-Surūrī dan ‘Alī ibn Muhammad Maqbūl al-Ahdal, Adhwā’ ‘alā al-Tsaqāfah al-Islāmiyyah, Shan’a Yaman: Dār al-Quds, 2004, hlm. 34.

[4]Ali Muhammad Jarisyah dan Muhammad Syarif az-Zaibaq, Taktik Strategi Musuh-Musuh Islam, Solo: Pustaka Mantiq, 1993, hlm. 33-78.

 [5]Lihat ‘Abd al-Karīm Bakkār, Nahwa Fahm A‘maq li al-Wāqi‘ al-Islāmī, Riyadh: Dār al-Muslim, 1415 H, hlm. 13-16.

Check Also

ADA SEBUAH KONSPIRASI

Saat kita menyaksikan sebuah kejadian besar perpolitikan atau sosial kemasyarakatan, sering kita dengar sebuah ungkapan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

slot