Oleh: Dr. Rahendra Maya, S.Th.I., M.Pd.I
—————————————————–
Liberalisme Islam di Indonesia dikenal melalui aktifitas akademik Prof. Dr. Harun Nasution yang kemudian dikenal sebagai lokomotif liberalisme di Indonesia.
Untuk merealisasikan program liberalisasinya, Harun Nasution mempromosikan dan mensosialisasikan paham Mu’tazilah (Rasionalisme) di IAIN Jakarta dengan mewajibkan para mahasiswa untuk membaca buku-buku karyanya, antara lain: (1) Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya; (2) Teologi Islam; (3) Filsafat Agama; (4) Islam Rasional; (5) Akal dan Wahyu dalam Islam; (6) Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah; dan (7) Pembaharuan dalam Islam. Melalui “aktifitas” dan “kerja keras” Harun, UIN/IAIN/STAIN berhasil di Mu’tazilahkan, dengan dukungan politik pemerintah Orde Baru pada waktu itu. Harun sendiri dikenal “gigih” dan “serius” berkiprah di pendidikan tinggi. Ia mempunyai dedikasi tinggi untuk mengawal dan membesarkan IAIN sebagaimana yang ia harapkan seperti lahirnya para pemikir liberal sekuler di Mesir. Harun bahkan sangat perhatian dengan mahasiswanya dalam berbagai hal. “Bimbingan tesis ataupun disertasi betul-betul ia tangani dengan serius. Pak Harun betul-betul serius untuk berkiprah di dunia pendidikan. Ini berbeda dengan Cak Nur yang kadang kurang serius dengan bimbingan tesis atau disertasi mahasiswa. Waktunya tersita dengan kegiatan di luar IAIN.”, demikian ujaran salah seorang muridnya.
Hakekat Liberalisme Islam
Dr. ’Abd al-’Azīz Mushthafā Kāmil menyatakan bahwa liberalisme (lībrāliyyah) terjadi pada empat ranah kehidupan, yaitu (1) Liberalisme pemikiran dan agama (lībrāliyyah fikriyyah wa dīniyyah), berarti kebebasan me-nganut keyakinan atau agama apapun, termasuk untuk tidak ber-agama sekalipun; (2) Liberalisme sosial (lībrāliyyah ijtimā’iyyah), mencakup emansipasi, inklusifisme dan kebebasan atau privasi indi-vidual; (3) Liberalisme politik (lī-brāliyyah siyāsiyyah), berarti de-mokratisasi; dan (4) Liberalisme ekonomi (lībrāliyyah iqtishādiy-yah), berarti kapitalisme atau neo kapitalisme.[1]
Dalam ranah pemikiran dan agama, liberalisme berarti kebe-basan menganut, meyakini dan mengamalkan apa saja, sesuai ke-cenderungan, kehendak dan selera masing-masing. Bahkan lebih jauh dari itu, liberalisme mereduksi agama menjadi urusan privat. Artinya, konsep amar ma’ruf maupun nahi munkar bukan saja di-nilai tidak relevan, bahkan diang-gap bertentangan dengan semangat liberalisme. Asal tidak merugikan pihak lain, orang yang berzina tidak boleh dihukum, apalagi jika dilakukan atas dasar suka sama suka, menurut prinsip ini. Karena menggusur peran agama dan otoritas wahyu dari wilayah politik, ekonomi, maupun sosial, maka tidak salah jika liberalisme dipadankan dengan sekularisme.[2]
Hal ini setidaknya juga diakui oleh tokoh senior Islam Liberal di Indonesia, Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo yang mengklaim Seku-larisme, Pluralisme dan Liberalisme (SEPILIS) sebagai “Trilogi Pembaharuan” yang menurutnya sungguh sayang telah diharamkan oleh MUI.[3]
Eksistensi Liberalisme Islam di Indonesia
Istilah Islam Liberal (Islib) di Indonesia ramai diperbincangkan ketika muncul Jaringan Islam Li-beral (JIL) – lahir pada 21 Agustus 2001 di Jakarta –, walaupun benih-benihnya sudah cukup lama muncul. Pada 1960-an, berawal dari penelitian disertasinya, Greg Barton membahas gagasan Islam Liberal di Indonesia, yang kemudian menyebabkan bertebaran-nya buku-buku wacana gerakan pemikiran Liberal di Indonesia.
Menurut Dr. Zuly Qodir – akti-fis Islam Liberal dan pendiri Jaringan Intelektual Muda Muhamma-diyah (JIMM) – dalam disertasi doktoralnya, mengklasifikasi tipologi dan varian Liberalisme Islam di Indonesia dalam rentang waktu 1991-2002 menjadi empat varian, yaitu (1) Liberal-Progresif; (2) Liberal-Radikal; (3) Liberal-Moderat; dan (4) Liberal-Transformatif.[4] Masing-masing varian Liberalisme tersebut mempunyai tokoh dan institusinya tersendiri yang men-jadi basis aktifitasnya.
Lebih lanjut, Budhy Munawar Rachman – tokoh Islam Liberal – menyatakan bahwa Islam Liberal lahir dari rahim NU dan Muhammadiyah melalui kalangan mudanya yang hobi mengembangkan gagasan moderasi (Islam Mode-rat), khususnya ketika banyak munculnya kelompok “Islam Ra-dikal” atau “Fundamentalisme Is-lam”.[5] Hal ini tentunya tidak se-penuhnya benar, terbukti dengan adanya perlawanan dari kalangan NU-Muhammadiyah sendiri terhadap kalangan dalam (insider) nya yang menyebarkan Liberalisme, hingga memunculkan istilah INUL (Ikatan NU Liberal) dan IMUL (Ikatan Muhammadiyah Liberal).
Institusi Liberal di Indonesia
Untuk menyebut institusi “pengusung” dan “pengasong” Liberalisme Islam di Indonesia, Budhy Munawar Rachman merunutnya dengan menyebutkan sebagai berikut: Jaringan Islam Liberal (JIL); Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M); The Wahid Institute (TWI); Lembaga Pengembangan Sumberdaya Manusia (LAKPESDAM) NU; Lembaga Kajian Islam dan Masyarakat (LKiS) (perhatikan i untuk Islamnya dikecilkan!); Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF); Yayasan Paramadina; Internatio-nal Center for Islam and Pluralism (ICIP); Maarif Institute; Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM); Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta dan Yogyakarta ser-ta jaringan STAIN/IAIN di seluruh Indonesia. [6]
Realitas Kaum Liberal Indonesia
Secara faktual, spesifiknya bila dikaitkan dengan kecenderungan dan gerakan politiknya (interest), walaupun agak sulit dan rumit untuk dideteksi, kaum liberal dapat dibagi ke dalam empat kategori, yaitu:
Liberal profesional, adalah mereka yang hidup matinya diperuntukkan bagi “sang pe-mesan” alias si penyandang dana.
Pemikiran mereka sangat liberal dan selalu gigih menyebarkan liberalisme, meliberalkan orang lain, merasa paling benar dengan keliberalannya, dan menganggap orang yang tidak liberal adalah salah, bahkan tak sungkan-sungkan ia serang siapa saja yang mengganjal liberalisme. Mereka biasanya sangat mahir dalam menulis, bahkan jago menjungkir-balikkan fakta, menggiring opini, menggelincirkan dalil, dan mengesankan ilmiah lagi obyektif serta proporsional dalam tulisannya. Selain itu, ia juga mahir berbicara di depan publik, atau lebih pas jika dibilang pintar bersilat lidah dan bermain kata-kata. Dan secara ekonomi, biasanya kehidupan liberal profesional cukup mapan. Kalaupun kekurangan, ia relatif akan cepat mendapat kekayaan.
Liberal amatir, adalah seorang liberal yang masih kacangan dan keliberalannya masih cetek.
Sikap dan pemikiran liberalnya hanya ikut-ikutan. Ia jarang bahkan belum tentu menulis hal-hal yang berbau liberal karena belum mampu menuangkan pemikiran liberalnya dalam bentuk tulisan, namun senantiasa membela liberalisme. Liberal amatir ini juga bisa di sebut sebagai liberal follower atau liberal bebek.
Liberal freelance, adalah karakter liberal yang mirip-mirip dengan liberal profesional, hanya saja ia adalah seorang yang pragmatis dan tidak “ikhlash”.
Ia berkeinginan menjadi liberal sejati, tetapi nasib tidak berpihak kepadanya. Ia tidak digaji oleh lembaga penyandang dana kaum liberal.
Liberal volunteer, adalah liberal sukarelawan.
Biasanya orang-orang dalam kategori ini adalah mereka yang sudah mapan secara materi, pikiran, status sosial (bahkan ditokohkan), dan relatif berusia lanjut. Seorang liberal volunteer tidak dibayar dengan keliberalannya. Ia menjadi liberal dengan sendirinya karena basic pendidikan dan pergaulannya, tanpa harus terpengaruh dengan liberal profesional. Orang jenis ini adalah liberalis yang “ikhlash”. Ia mengacak-acak tatanan agama dan syariat bukan dalam posisinya sebagai seorang tokoh liberal, melainkan sebagai tokoh masyarakat yang dituakan. Liberal jenis ini jauh lebih berba-haya daripada liberal profesional, karena umat tidak mau tahu dengan keliberalannya[7], bahkan me-nganggapnya sebagai tokoh, cen-dekiawan atau “pejuang ini dan itu”.
Inilah sebagian aktifitas Liberalisme dalam Islam di Indonesia yang harus selalu diwaspadai, di-deteksi dan dibendung dengan sekuat tenaga karena bertenta-ngan dengan Islam sama sekali!
[1] Lihat ’Abd al-’Azīz Mushthafā Kāmil, Ma’rakah al-Tsawābit baina al-Islām wa al-Lībrāliyyah, Riyadh: Maktab Majallah al-Bayān, tt., hlm. 93-187.
[2] Lihat Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani, 2008, hlm. 77-78
[3] Dawam Rahardjo menegaskan bahwa sekularisme lahir dari otoritarianisme agama yang bersekutu dengan kekuasaan sehingga memasung kebebasan beragama. Liberalisme lahir dari kondisi “tertutupnya pintu ijtihad” yang membelenggu cara berpikir, dan pluralisme lahir dari kondisi masyarakat yang majemuk yang mengandung potensi konflik. Lihat M. Dawam Rahardjo, “Kata Pengantar”, dalam Budhy Munawar-Rachman, Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme: Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya, Jakarta: Kompas Gramedia, 2010, hlm. xxi.
[4] Lihat Zuly Qodir, Islam Liberal: Varian-Varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002, Yogyakarta: LKiS, 2010, hlm. 123-161.
[5] Lihat Budhy Munawar-Rachman, Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme: Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya, Jakarta: Kompas Gramedia, 2010, hlm. 14-27.
[6] Ibid., hlm. 27.
[7] Lihat “Pengantar Penerbit” dalam Adian Husaini, Membendung Arus Liberalisme di Indonesia, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2009, hlm. viii-ix.