KB adalah kependekan (singkatan) dari Keluarga Berencana. Dalam bahasa Indonesia, kata berencana berarti “dengan rencana”; “berancang dan ada ancangannya”. Sedangkan rencana sebagai akar kata berencana sendiri berarti rancangan dan buram atau rangka sesuatu yang akan dikerjakan. Karena itu, tidak salah bila KB diartikan sebagai keluarga yang memiliki perencanaan matang dalam mengarungi bahtera rumah tangganya. Bila ada generasi yang bertindak seperti itu, konon generasi tersebut dinobatkan sebagai “genre”, alias generasi berencana, walaupun sering diiklankan dan diekspos secara salah.
Melalui berbagai kampanye dan dengan beragam propaganda, khususnya pada era Soeharto ketika menjabat sebagai presiden, spesifiknya setelah pembentukan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), gerakan KB dicanangkan hingga ke pelosok desa dan perkampungan sebagai upaya untuk membatasi jumlah kelahiran anak dengan slogan untuk menyejahterahkan rakyat dan dengan jargon meyakinkan, untuk meningkatkan taraf hidup dan memperbaiki ekonomi keluarga.
Landasan Meneropong Program KB
Dengan dilandasi keyakinan kuat terhadap ajaran Islam yang mulia; KB yang diidentikkan dengan berbagai alat kontrasepsi dan usaha untuk membatasi kelahiran; atau dengan tiga pola yang menjadi variannya yaitu membatasi jumlah keturunan (misal hanya 2 anak saja), mencegah kehamilan dan mengatur atau merencanakan kehamilan; dan didasarkan kepada adanya agenda tersembunyi para musuh Islam dalam penggalakan program KB yang secara “spesial” ditujukan hanya kepada kaum Muslimin dan negara berkembang yang dikategorikan sebagai negara dunia ketiga[1]; setiap kaum Muslimin seharusnya selalu waspada terhadap program KB tersebut dan dengan sigap “meneropongnya”; manakah KB yang diperbolehkan dan mana yang tidak boleh, manakah pihak yang boleh menerapkan KB dan tidak, serta yang pasti adalah Islam sendirilah yang seharusnya mengatur dan menentukan hukum dan varian KB tersebut, bukan “mereka” yang “sok” berkampanye, padahal realita “mereka” sendiri justru banyak anak!
Sisi Lain Pertama KB
Bila dipahami sesuai makna literalnya, bahwa KB adalah keluarga yang memiliki perencanaan matang, maka ia adalah baik, benar dan bahkan harus didukung penuh. Karena setiap Muslim dan Muslimah yang telah memiliki antusiasme untuk membentuk keluarga sepatutnya telah memiliki perencanaan matang dan terencana; seperti (1) berkomitmen untuk membangun keluarga SAMARA; (2) membulatkan niat dan membenarkan tujuan pernikahan; (3) memilih atau bahkan menyeleksi calon pasangan yang tepat; (4) mengetahui atau paling minimal telah “membaca” buku Fikih Keluarga; (5) siap fisik dan mental spiritual, lahir maupun batin; dan berbagai persiapan atau perencanaan lainnya.
Sisi Lain Kedua KB
Seringkali terdengar seloroh (lelucon) bahwa KB berarti Keluarga Besar. Bila demikian pemahamannya, maka KB seperti ini tidak bertentangan dengan Islam sama sekali, karena salah satu tujuan pernikahan dalam Islam adalah untuk memperbanyak anak keturunan.
Karena itu, alasan bahwa banyak anak dikhawatirkan tidak akan tercukupinya rezeki adalah alasan batil dan hanya muncul dari orang-orang yang tidak berbaik sangka (sū’u al-zhonn) kepada Alloh yang telah menciptakan manusia dan menjamin mereka untuk tercukupi rezekinya.
Alloh berfirman:
“Dan tidak ada suatu binatang melata (makhluk bernyawa) pun di bumi melainkan Alloh-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Hūd [11]: 6)
“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Alloh-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepada kalian juga dan Dia Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. al-‘Ankabūt [29]: 60
Dalam hal banyak anak, Rosululloh bersabda:
(( تَزَوَّجُوْا اْلوَلُوْدَ اْلوَدُوْدَ، فَإِنِّيْ مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ ))
“Nikahilah para wanita yang subur (banyak anak keturunan) dan yang penyayang (menyayangi dan mau disayang), karena aku akan membanggakan kuantitas populasi kalian semua di hadapan umat lain pada hari kiamat kelak.” (HR. Abū Dāwud, an-Nasā’ī, Ibnu Hibbān dan al-Hākim)
Dari hadits ini, sangat gamblang terlihat bahwa Rosululloh memerintahkan kaum Muslimin (lelaki) untuk menikahi para wanita yang memiliki potensi melahirkan banyak anak keturunan; sekaligus mengandung larangan untuk menikahi perempuan yang mandul manakala terdapat banyak wanita yang subur. Terlebih bila ditelusuri sebab terucapnya sabda beliau tersebut (sabab wurūd al-hadīts), bahwa Ma’qil bin Yasar al-Muzani berkata “Pernah ada seorang lelaki yang menemui Rosululloh seraya berkata “Aku telah mendapatkan seorang perempuan cantik dan berasal dari keturunan terhormat, tetapi ia adalah seorang yang mandul (tidak punya anak), apakah aku boleh menikahinya?”, maka beliau menjawab “Tidak boleh!”. Kemudian untuk kali kedua lelaki tadi bertanya dan kembali dilarang, hingga pada kali ketiga akhirnya dijawab sebagaimana hadits tersebut di atas.
Namun hal ini harus dipahami dengan benar, dalam artian bukan “asal” banyak anak, karena Islam pun menekankan kedua orang tua untuk mendidik anak-anaknya atau “anak banyaknya” dengan benar dan serius. Yaitu benar berdasarkan tuntunan Islam dan serius dalam membina dan mendidik mereka agar menjadi generasi kaum Muslimin yang sholeh dan sholehah, yang berkomitmen tinggi kepada Islam dan bertekad kuat untuk menjadi pembela panji Islam.
Sisi Lain Ketiga KB
Bila KB diplesetkan kepanjangannya menjadi Keluarga Bahagia, maka semua manusia tanpa kecuali, baik kaum Muslimin maupun orang-orang kafir, tentunya akan sangat menginginkan dan bahkan mengidam-idamkannya.
Namun sayangnya tidak semua orang mengetahui hakekat bahagia tersebut. Sesungguhnya kebahagiaan hakiki adalah dengan menjadikan Islam sebagai pandangan hidup. Karena itu, tidak mungkin kebahagiaan hakiki akan tergapai, kecuali dengan mengikuti ajaran Islam yang telah diwahyukan Alloh kepada Rosul-Nya dan diserukan kepada seluruh umat manusia untuk memeluknya.
Setelah meniti jalan Islam, kebahagiaan hakiki juga bisa digapai melalui ketenangan jiwa dan kebahagiaan hati, bukan dengan sedikitnya anak atau hanya dengan dua anak saja. Sekali-kali bukan!
Dan kebahagiaan juga boleh jadi dapat direngkuh dengan banyaknya anak. Kenapa demikian?
- Berapa banyak orang tua yang memiliki sedikit anak atau hanya dua anak, ternyata anaknya sakit-sakitan atau bahkan kemudian meninggal dunia?
Sebaliknya, ada yang punya banyak anak ternyata semuanya sehat, sehat badan dan jiwanya bahkan berprestasi?
- Bukankah banyak orang tua yang hanya memiliki dua anak ketika berusia lanjut atau sakit-sakitan tidak ada yang mengurusnya karena domisili anaknya jauh atau merantau?
Sebaliknya, tidak sedikit orang tua yang punya banyak anak sangat terurus hidupnya dan disayangi oleh “anak banyaknya” tersebut?
- Tidak jarang orang tua yang hanya memiliki dua anak bahkan tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup dua anaknya dan setelah sukses kedua anaknya pun tidak mau menghidupinya!
Sebaliknya, banyak orang tua yang punya banyak anak ternyata mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka dan ketika sukses anak-anaknya pun ternyata dengan sadar bahkan memenuhi dan memanjakan kebutuhan kedua orang tuanya!
Bila demikian keadaannya, asalkan di atas Islam dan memiliki kebahagiaan hati, maka mata air bahagia dapat direguk oleh semua orang, yang beranak banyak, hanya dua atau bahkan yang belum dan tidak punya anak sekalipun!
Ini intinya, bukan seperti iklan picisan yang sengaja menskenariokan orang yang nikah muda kemudian banyak anak dengan “seabrek keruwetan”, “segunung permasalahan” dan selaksa problematika”, hingga akhirnya disimpulkan “dua anak cukup, laki-laki atau perempuan”, “keluarga kecil bahagia sejahtera”, “anak banyak sorry ya jek!”, maka ikutlah KB! Sekali lagi ini hanya iklan picisan, tidak layak disandingkan dengan ajaran Islam yang mulia!
Semoga Alloh senantiasa menunjukkan kita semua kepada kebenaran dan memantapkan kita untuk mengikutinya, serta menghindarkan dari kebatilan dan mengokohkan kita untuk meninggalkannya. Amin….
* Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 1162-1163.