Beliau adalah Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub bin Mathir al-Lakhami asy-Syami ath-Thobroni [rahimahu]. Ia dilahirkan pada bulan shofar tahun 260 Hijriyah di Aka, kota asal ibunya.
Sanjungan Para Ulama Terhadapnya
Al-Hafizh Abu Abdillah bin Mandah mengatakan, “Abu al-Qosim ath-Thobroni adalah salah satu al-Hafizh yang agung.”
Adz-Dzahabi [rahimahu] mengatakan, “Ath-Thobroni adalah seorang imam, al-Hafizh, tsiqoh, ulama yang melakukan banyak perjalanan, ahli hadits dan bendera para penyeberang lautan ilmu.”
Tidak henti-hentinya hadits-hadits yang disampaikan ath-Thobroni [rahimahu] dituju, disenangi dan diambil orang, lebih-lebih pada masa temannya, Ibnu Ridzah. Pada masa itu, banyak para pencari ilmu yang menimba ilmu darinya. As-Salafi telah mencatat ada sekitar seratus orang yang menjadi muridnya.”
Al-Hafizh Sulaiman bin Ibrohim [rahimahu] mengatakan, “Ibnu Mardawaih pernah mempunyai rasa benci terhadap ath-Thobroni sehingga mengucapkan sesuatu yang bernada mengejeknya, maka Abu Nu’aim berkata kepadanya, “Berapakah hadits yang kamu tulis darinya, wahai Abu Bakar?” Ibnu Mardawaih berisyarat pada beberapa tumpukan berkas. Lalu Abu Nu’aim bertanya, “Apakah kamu melihat orang yang menyamainya?” Ibnu Mardawaih tidak menjawab pertanyaan ini.”
Muhammad bin al-Haitsam [rahimahu] menceritakan bahwa ia mendengar Abu Ja’far bin Abi as-Sirri mengatakan, “Aku bertemu dengan Ibnu Uqdah di kufah. Aku memohon kepadanya untuk mengulangi apa yang aku tertinggal darinya. Namun, ia menolak untuk mengulangi. Aku pun meminta dengan keras agar dia tetap mengulanginya. Kemudian ia berkata, “Dari negeri manakah kamu?” Aku menjawab, “Dari Asfahan.” Ia berkata, “Syi’ah (pendukung) Muawiyah?” Aku berkata, “Demi Alloh, tidak, mereka adalah Syi’ah Ali. Imam Ali bagi setiap penduduk Asfahan adalah lebih berharga dari pada kedua mata dan keluarga mereka.”
Ibnu Uqdah pun mau mengulangi apa yang aku telah tertinggal darinya. Kemudian ia berkata kepadaku, “Aku mendengar dari Sulaiman bin Ahmad al-Lakhomi.” Aku berkata, “Tidak!” Ia berkata, “Subhanalloh! Abu al-Qosim (Sulaiman bin Ahmad ath-Thobroni ) di negerimu, sedangkan kamu tidak mau mendengar darinya. Kalau begitu aku yang berada di kufah merasa sakit hati. Aku tidak mengetahui seorang pun yang dapat menandingi keilmuannya, aku telah mendengar hadits darinya dan dia mendengar hadits dariku.”
Ad-Dawudi mengatakan, “ath-Thobroni adalah imam yang dijadikan hujjah, sandaran para al-Hafizh dan menjadi sanad dunia.”
Ilmunya Yang Luas dan Aktifnya dalam Mendengarkan Hadits
Abu al-Husain Ahmad bin Faris al-Lughowi [rahimahu] mengatakan, “Aku mendengar ustadz ibnu al-Amid mengatakan, “Aku tidak menyangka bahwa di dunia ini ada sesuatu yang lebih nikmat dari pada kepemimpinan dan kementrian yang aku berada di dalamnya sampai suatu saat aku melihat perdebatan antara Abu al-Qosim ath-Thobroni dan Abu Ja’far al-Juabi di depanku.
Ath-Thobroni mengalahkan al-Juabi dengan hafalan haditsnya dan al-Juabi mengalahkan ath-Thobroni dengan kecerdasan akalnya. Perdebatan mereka berdua menjadi memanas sehingga suara mereka terdengar keras. Masing-masing tidak ada yang mau mengalah.
Al-Juabi berkata, “Aku mempunyai hadits yang tidak ada di dunia kecuali ada padaku.”
Ath-Thobroni mengatakan, “Datangkanlah apa yang kamu punya itu.”
Al-Juabi berkata, “Telah meriwayatkan hadits kepada kami Abu Kholifah al-Jahmi, telah meriwayatkan hadits kepada kami Sulaiman bin Ayyub, dan dariku Abu Kholifah al-Jahmi, telah meriwayatkan hadits kepada kami Sulaiman al-Ayyub.” Al-Juabi kemudian menyebutkan matan hadits tersebut.
Ath-Thobroni [rahimahu] mengatakan, “Telah meriwayatkan hadits kepada kami Sulaiman al-Ayyub, dan dariku Abu Kholifah mendengar hadits tersebut. Maka mendengarlah dariku agar sanadmu menjadi tinggi.”
Mendengar keterangan ath-Thobroni [rahimahu] tersebut al-Juabi menjadi malu. Dan dari perdebatan tersebut aku berandai, “Jika kementrian tidak ada dan aku adalah ath-Thobroni serta aku senang, seperti ath-Thobroni merasa senang.”
Abu Bakar bin Abi Ali al-Muaddil [rahimahu] mengatakan, “ath-Thobroni lebih masyhur dari pada kelebihan-kelebihannya yang disebut-sebut. Ia adalah orang yang luas ilmunya dan banyak karyanya.”
Adz-Dzahabi [rahimahu] mengatakan, “Pertama kali ia mencari ilmu pada tahun 273 Hijriyah. Ia diajak oleh ayahnya, seorang ahli hadits dari kawasan Duhaim. Perjalanan pertama kalinya ia lakukan pada tahun 275 Hijriyah.
Ia terus menerus melakukan perjalanan mencari ilmu dan menemui para ahli hadits selama enam belas tahun.
Ia menulis para ahli hadits salaf (yang dahulu) maupun muta’akhirin (yang belakangan) sampai ia mempunyai kecakapan dalam bidang ini.
Ia mengumpulkan ilmu dan mengarang karya ilmiyah, diberikan umur yang panjang dan didatangi para ahli hadits dan para pencari ilmu dari berbagai negeri.
Ia telah menemui teman-teman Yazid bin Harun, Ruh bin Ubadah, Abu Ashim, Hajjaj bin Muhammad dan Abdur Rozaq. Ia terus menulis para tokoh hadits sampai menulis teman-temannya sendiri.
Ia mencari ilmu di Mekah, Yaman, Syam, Mesir, Baghdad, Kufah, Bashroh, Asfahan, Khurotsan dan negeri-negeri yang lain. Kemudian, ia menetap di Asfahan dan mengajar ilmu serta menulis kitab di sana. Ia sampai ke Irak, setelah selesai melakukan perjalanan dari Mesir, Syam, Hijaz, dan Yaman. Sedangkan ia menuju Irak lebih terlebih dahulu, maka ia akan menemukan sanad yang banyak. Wallohu a’lam bishowab. [Dikutip dari, 60 Biografi Ulama Salaf, Pustaka al-Kautar].
(Red-HASMI/IH/Muhammad Sujud A.Md.,S.Sy)