“Wah, keluarga bu Anu enak ya? Damai terus, kemana-mana kelihatan mesraaaaaaa banget…” begitu seloroh seorang ibu di sebuah persimpangan jalan pada temannya.
Mungkin, ragam kisah seperti di atas dapat kita jumpai dengan mudah di sekitar kita. Tentang sebuah keluarga yang tentram, damai, tanpa pernah terdengar “dentuman” piring atau gelas berterbangan di rumah mereka. Namun, sadarkah kita bahwa kisah di atas bukan sebagai penutup kisah sinetron yang bertema happy ending? Dalam dunia nyata, banyak episode lanjutan yang bisa membuat simpulan akhir kita berbeda dari “cover”nya.
Sebuah kisah nyata, seorang suami dari salah satu keluarga yang seperti digambarkan oleh ibu tadi pada suatu hari curhat pada temannya dengan nada memelas, “Saya merasa dibohongi. Selama dua bulan terakhir ini baru ketahuan dia punya masalah keuangan. Yang membuat saya bertambah kesal karena saya tahu dari orang lain. Saya tidak tahu uang itu digunakan untuk apa. Selama ini saya sudah berusaha jujur kepadanya namun dia sendiri tidak jujur.”
Sang istri yang mendapat konfirmasi dari teman wanitanya yang mengetahui perihal kegalauan suaminya itu pun menjawab, “Saya tidak bermaksud tidak jujur ke dia, saya hanya tidak mau dia patah semangatnya ketika harus memikirkan ini dan itu. Saya berjuang mengatasinya tapi saat ini saya belum mampu.”
Ukhti muslimah, menyeksamai fenomena di atas, ternyata, ada banyak contoh rumah tangga yang bisa atau bahkan telah karam di tengah perjalanan, disebabkan bukan karena hantaman masalah yang besar atau kelainan prinsip yang essensial, tapi hanya karena kegagalan dalam komunikasi antar pihak yang terkait dalam kehidupan rumah tangga tersebut.
Inilah yang sering tak disadari, bahwa komunikasi adalah bagian kunci jawaban terpenting dalam rumah tangga. Boleh jadi kita giat mengikuti seminar keluarga bahagia, atau telah menyusun secara detail agenda keluarga, atau menerapkan teori-teori lain yang dianggap mampu menumbuhkan kebahagiaan dalam rumah tangga, namun ketahuilah, bahwa semua itu pada akhirnya akan mentah ketika sudah tersandung dengan kesulitan berkomunikasi.
Nah, kenapa banyak rumah tangga yang kurang memperhatikan, atau tidak melakukan komunikasi yang benar dengan pasangannya sehingga bencana dalam rumah tangga itu terjadi? Bisa jadi, kegagalan komunikasi tersebut berawal dari beberapa masalah berikut:
Pertama, Tidak mampu mengalirkan resah dan desah
Pernahkah kita melihat selokan yang tersumbat…? Sepertinya sudah dan tahu jawabannya ketika ditanyakan, apa yang terjadi? Ya, intinya kemudhorotan yang timbul. Begitu pula ketika resah dan desah tersumbat dari masing-masing pasangan suami istri, terus dan terus disimpan dalam hatinya, hingga suatu waktu, sumbatan tersebut bisa jebol, mencerai berai suasana tanpa mampu diredam lagi.
Adalah contoh kisah di awal bisa kita tarik kembali. Seorang istri yang memendam masalah keuangan dari suaminya, dan mengungkap masalah tersebut pada orang lain. Sang istri sebenarnya tidak bermaksud jahat pada suami, namun keresahan yang tak tersalurkan, justru menjadi pemicu dari lahirnya kecurigaan dan ketidakpercayaan suami pada istrinya. Adalagi kisah dimana ada seorang suami yang menemukan “sms merah jambu nyasar” pada hp istrinya yang belum sempat dihapus, jika kisah itu berlanjut pada suami yang tidak mengklarifikasi keterkejutan yang meresahan dirinya tersebut pada istrinya, mudah dibayangkan kegemparan selanjutnya yang akan terjadi. Ya, sepotong SMS nyasar bisa menjadi persoalan jika keresahan tak segera dikomunikasikan.
Di sinilah, berlaku keberanian untuk mengungkap segala asa dan rasa dengan menggandengkan kepercayaan penuh pada pasangan kita. Sungguh, keterbukaan tak kan pernah mengenalkan kita pada kegagalan dalam menyelesaikan masalah, justru ia separuh jawaban, dimana separuh lainnya adalah kejujuran dari masing-masing kita untuk menerima dan mencarikan solusi atas masalah tersebut.
Walau tentu, tidak semua resah mesti diungkapkan, ada saat-saat dimana melabuhkan resahan di darmaga hati bisa menjadi jawaban atas masalah itu sendiri. Seorang istri yang mendapati baju hadiah suami tidak sesuai keinginannya, tentu lebih baik meniarapkan keresahannya tersebut, ketimbang mempermasalahkan suami yang disangka tidak mengenal kesukaan dirinya dengan membentuk guratan asam di raut muka, dan melempar dakwaan bak seorang hakim yang memvonis kriminal kelas kakap, “katanya cinta?” Ah, betapa murahnya cinta jika seperti itu? Bukankah cinta itu sudah dimulai dari sana, dari seperak dua perak hingga cucuran keringat di pasar swalayan yang dikumpulkan sang suami demi sebongkah senyuman dari istri tercinta ketika menerima “kejutan” darinya? Jika Alloh akan membalas dengan kebaikan atas setiap tetes keringat dalam rangka menjalankan sabda Rosul “Yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik bagi keluarganya”, maka apakah seorang istri justru akan membalas pemberian suami yang hanya mengharap sebongkah senyum dengan resahan yang sebenarnya hanya ego berselimut cinta?
Mari kita belajar untuk terus dapat memilah di antara resah yang perlu disalurkan dan ego yang perlu dibiarkan menguap seiring perjalanan cinta dengan pasangan kita.
Kedua, Salah Menafsirkan Arti Cinta
Seseorang yang salah menafsirkan arti cinta, cenderung menjadi pasif dalam komunikasi. Karena baginya, cinta berarti dicintai, didengar, diberi, dilayani, disuapi, di, di dan di lainnya, sehingga ia selalu menuntut pasangannya untuk senantiasa mengerti keadaan dirinya sebagai bukti cintanya, kapanpun dan dimanapun. Ketika ada konflik yang mendera, ia selalu mengarahkan telunjuk pada pasangannya yang tidak bisa mengerti keinginannya, padahal, ia tak pernah sedikitpun mengkomunikasikan keinginannya tersebut seperti apa dan bagaimana.
Di lain waktu, bisa jadi sang penuntut sesekali juga mengkomunikasikan keinginan-keinginannya tersebut kepada pasangannya, namun sejak awal ia telah gagal melakukan komunikasi tersebut, sebab, jawaban yang ia harapkan hanya satu, yaitu harus sesuai dengan yang dia inginkan, tidak mau tidak, karena baginya, itu adalah hak yang harus ia terima dari pasangan yang mencintai dirinya.
Ah, entah mengapa, ia tidak sadar bahwa jika ia menuntut “hak”nya sebagai orang yang dicintai, mengapa juga ia tidak memberi hak orang yang dicintainya..?? Lagipula sejujurnya, dalam kamus cinta antar sesama manusia tidak pernah dikenal yang namanya menuntut hak sebagai orang yang dicintai. “Cinta itu memberi..!! Titik.”
Andai saja kita masih mengharap balasan dari yang kita cintai, atau bahkan memaksa mendapatkannya, itu artinya, kita masih salah dalam menafsirkan cinta, atau bahkan belum menghijrahkan cinta kita pada cinta sejati. Ya cinta sejati, cinta yang dibalut dengan kalimat “Lillah”, dimana seorang pecinta seharusnya mengambil cinta dari langit. Lalu menebarkannya di bumi. Mengejewantahkannya menjadi kalimat-kalimat yang menyejukkan bagi pasangan kita. Barakah.
Ketiga, Kurang Memahami Tabiat Masing-masing
Seperti sepatu yang kita pakai, tiap kaki memiliki ukurannya memaksakan tapal kecil untuk telapak besar akan menyakiti memaksakan sepatu besar untuk tapal kecil merepotkan kaki-kaki yang nyaman dalam sepatunya akan berbaris rapi-rapi
Begitu ungkap seorang pujangga… Maka dalam konteks pembicaraan kita, terjelas sudah, bahwa menjalin sebuah pernikahan tidaklah mudah, karena di sana kita tidak bisa menomorsatukan ego. Ada orang lain yang harus kita jaga, hormati dan sayangi. Ada toleransi dan kesabaran berlipat-lipat yang harus kita korbankan. Banyak, sangat banyak sekali yang akan datang untuk menguji sejauh mana bahtera kita mampu selamat sampai pantai kebahagiaan hakiki.
Meski komunikasi menjadi sebuah pekerjaan yang penuh makna bila mampu menampilkan secara optimal, namun persoalannya, masing-masing pihak kerap kali berbicara dengan bahasa yang unik sesuai dengan wawasan dan perkembangan intelektualitas masing-masing. Terkadang diantara suami istri, mengkomunikasikan cinta kasih juga dengan cara yang berbeda. Masing-masing punya cara spesifik untuk membuat lelucon, canda, atau basa basi yang sering kali dipahami secara berbeda oleh pihak lain.
Disini dibutuhkan sikap bijak untuk memahami banyak hal pada pasangan terutama dengan dimensi pikirannya yang sedang mengalami kejutan-kejutan unik khas masing-masing gender. Pria dengan dunianya dan wanita dengan dunianya. Terkadang masing-masing merasa harus mengkomunikasi-kan segala yang berbelit-belit dalam pikirannya sementara sang pasangan juga punya obsesi serupa. Payahnya sering kali kedua obsesi itu bertempur berebut eksistensi. Konflik pemikiran pun terjadi. Dan keributan bisa jadi menjadi bagian akrab dengan mereka berdua saat itu. Sekali lagi sangat dibutuhkan kebijakan dalam menangkap sinyal-sinyal komunikasi itu secara tidak terlalu verbal bahkan terkadang ekspresi wajah dan bahasa tubuh pasangan kita sudah mengisyaratkan suatu pesan.
(Red-HASMI/grms/Ganjar Wijaya)