Dakwah dan bahagia. Dapatkah kedua hal itu bertemu pada seorang pejuang? Padahal, sejarah dakwah adalah sejarah perjuangan, pengorbanan, ujian, dan aneka-aneka bentuk penderitaan. Rasulullah [saw] menghadapi berbagai “guncangan” dari orang-orang kafir, disebabkan beliau aktif berdakwah. Allah berfirman: “Dan ingatlah ketika orang-orang Quraisy membuat makar terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu atau mengusirmu. Mereka membuat tipu daya dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (QS. al- Anfal [8]: 30)
Saudaraku kaum Muslimin …
Kebahagiaan dakwah, sesungguhnya, bukan terletak pada apa yang diterima dan dihadapi oleh seorang da’i. Melainkan pada bagaimana sang da’i itu menyikapi segala hal yang membuatnya tidak bahagia. Merasa bahagia dalam dakwah adalah kemampuan menikmati segala penderitaan akibat keterlibatan dirinya dalam dakwah. Oleh karena itu, para salafus-sholih mengenal kalimat yang begitu indah ‘yataladzdzadzuna bi mata- ibi ad-da’wah’ (menikmati kepenatan dan kesulitan dakwah ).
Jadi merasa bahagia dalam dakwah adalah keharusan. Bagaimana mungkin seorang da’i akan bertahan lama dan istiqomah dalam dakwah tanpa merasakan kebahagiaan di dalamnya? Tinggal permasalahannya sekarang, bagaimana dalam segala kesulitan, kepenatan, pengorbanan, dan penderitaan itu seorang da’i bisa merasa nikmat. Dan kenikmatan itu terus kontinyu sampai ajal menjemputnya. Berikut ini faktor internal dan eksternal yang telah menjadi rumusan para ulama di dalam menyemai kebahagiaan di jalan dakwah:
Faktor internal.
1. Al-Ikhlas al-Kamil (Rasa ikhlas yang memuncak)
Ikhlas adalah daya dorong paling dahsyat agar seseorang bisa menikmati segala kepenatan dakwah yang begitu penat. Orang yang ikhlas akan terus melaju, meski apapun yang terjadi. Semangatnya tidak angin-anginan mengikuti situasi, tidak melonjak tiba-tiba gara-gara dipuji, tidak pula mendadak surut hanya karena dicaci maki. Segala penderitaan yang dia rasakan kecil saja dibandingkan dengan betapa besarnya keagungan Alloh [swt], betapa luas rahmat-Nya, dan kebesaran pahala dari-Nya.
2. Ma’rifah Ghoyah ad-Dakwah (memahami tujuan dakwah)
Hal ini penting untuk mempertahankan stamina dakwah. Tujuan yang jelas akan membantu seseorang bekerja dengan langkah-langkah yang jelas dan pasti. Dakwah tanpa tujuan yang jelas akan terjebak dengan isu-isu atau fenomena-fenomena sesaat. Gaya gerakannya reaktif dan bukan proaktif.
Tujuan tertinggi dakwah adalah mencari mardhotillah, dan kesempurnaan mardhotillah akan terwujud dengan tegaknya syaria’t Alloh [swt] dalam segala aspek kehidupan. Untuk mewujudkan itu semua dakwah harus mempunyai sasaran-sasaran: Membentuk pribadi Muslim sejati, membentuk keluarga Islami, dan mewujudkan masyarakat Islami.
3. Ma’rifah Thobi’ah Thoriq ad-Dakwah (memahami karakter jalan dakwah)
Jalan dakwah adalah jalan panjang. Usianya tidak dapat diukur oleh usia seseorang atau bahkan usia sebuah generasi. Bukan saja panjang, jalan dakwah juga sarat dengan hal-hal yang dapat merenggut kebahagiaan; cemoohan, ejekan, tekanan, intimidasi, bahkan resiko pembunuhan sebagaimana yang pernah dialami oleh nabi Muhammad . Ini perlu disadari oleh setiap da’i agar tidak tejadi kekagetan saat ia menghadapi realitas dakwah.
4. As-Shobru (sabar)
Seseorang disebut sabar jika mampu bersabar dan tidak tunduk pada emosi sejak benturan pertama ujian. Sebagaimana Rosululloh [saw] bersabda: “Sesungguhnya kesabaran itu ada pada benturan pertama.” (HR. al-Bukhori dan Muslim)
Ketiga sifat sebelumnya sangat menentukan nilai daya tahan kesabaran. Orang yang tidak ikhlas, sulit akan bersabar dalam menanggung segala derita dakwah. Orang yang tidak melihat jalan dakwah sebagai jalan panjang, ia akan sering menuntut untuk dapat merasakan buah kerjanya dengan segera dan tergesa-gesa. Akibatnya banyak cara tidak syar’i yang ditempuhnya.
Faktor external.
Kekuatan internal semata, bukan jaminan kuatnya pertahanan. Setan pun tak berhenti berjuang untuk mempengaruhi pejuang agar menjadi pengikutnya dengan beragam jalan. Banyak ranjau yang dipasang setan untuk menghadang perjalanan dakwah para da’i. Karenanya energi internal akan sempurna bila didukung oleh energi eksternal. Sebab dukungan eksternal sangat dibutuhkan dari pihak-pihak berikut:
1. Al-‘Ailah ( keluarga )
Keluarga adalah benteng terdekat pejuang. Segala riak gelombang yang terjadi di dalamnya akan sangat berpengaruh terhadap gerak langkah pejuang.
Dukungan penuh keluarga akan menambah spirit, menjaga keikhlasan serta kesabaran. Di sinilah perlunya menyamakan visi dan persepsi tentang dakwah dalam keluarga, kalau perlu harus dibuat kesepakatan.
Betapa indahnya peran yang dimainkan Khadijah kepada suaminya, pejuang teladan sepanjang zaman. Simak sejenak apa yang beliau tuturkan: “Jangan berkecil hati, kanda. Alloh tidak akan membiarkan engkau. Karena engkau suka membantu orang yang mendapat kesulitan dan menolong orang-orang yang membutuhkan.’’
Keluarga yang mendukung dakwah adalah keluarga yang mendapat pembinaan dan penempaan dari sang pejuang. Pejuang yang sibuk mengurusi orang lain saja dan melupakan dakwah di dalam keluarganya sendiri, maka tidak mustahil perlawanan terberat ternyata datang dari dalam rumahnya sendiri.
2. Al-Ikhwah ( teman seperjuangan )
Alloh [swt] berfirman: “Dan bersabarlah dirimu bersama orang-orang yang menyeru Robb mereka di pagi dan siang hari.” (QS. al-Kahfi [18]: 28)
Selain memerintahkan bersabar, ayat ini menjelaskan pentingnya kebersamaan (ma’iyyah) dengan sesama pejuang. Ini menunjukan bahwa suasana sekitar sangat mendukung daya tahan pejuang. Tentu bukan hanya dukungan ruhiyah dan tsaqafah semata, pada saat tertentu dibutuhkan juga dukungan material.
3. Al-Jama’ah (Jama’ah)
Bersatu dalam jama’ah adalah ibadah. Bahkan lebih dari itu berjama’ah merupakan salah satu cara untuk menjauhkan diri dari setan. Rosululloh [saw] bersabda: “Hendaklah kalian berjama’ah, dan janganlah kalian berpecah belah; sesungguhnya setan sangat dekat dengan orang-orang yang menyendiri. Kepada orang yang berdua labih jauh. Dan barangsiapa ingin mendapatkan kelezatan surga, maka hendaklah dia berpegang teguh pada jama’ah.” (HR. Ahmad)
Berkaitan dengan menjaga stamina para pejuang jama’ah memainkan peranan yang sangat menentukan. Dukungan ruhiyah, fikriyah, bahkan perhatian terhadap masalah-masalah keseharian dan urusan domestik keluarga adalah hal yang dapat di peroleh para pejuang dalam jama’ah. Di sinilah penting adanya mushorohah (keterbukaan). Dan dalam keterbukaan itu sesungguhnya berbanding lurus dengan rasa kepercayaan dan sekaligus kepemilikan terhadap jama’ah.
Demikianlah berbagai factor yang seyogyanya diperhatikan oleh para pejuang, hingga tidaklah datang berbagai kesulitan di medan perjuangan, melainkan itu semua menjadikan kita semakin bahagia.
(Red-HASMI)