Berbicara tentang zuhud, mungkin tidak sedikit dari kaum Muslimin yang sudah mengenal kata ini. Namun tidak sedikit pula diantara kita yang salah paham tentang zuhud ini. Ada orang yang mengatakan zuhud itu adalah menghindari kehidupan dunia, seperti tinggal di lingkungan terpencil, memakai pakaian yang lusuh dan kusam serta memakan makanan yang rendah dan tidak bermutu, kurang lebih seperti orang sufi yang sering kita lihat di televisi.
Nah anggapan seperti inilah yang membuat sebagian kaum Muslimin tidak ingin memiliki sifat mulia ini. Mereka khawatir kehidupan mereka akan kumuh, kotor dan tidak terurus. Namun apakah benar zuhud di dalam Islam seperti itu? Lalu bagaimanakah sebenarnya zuhud dalam bingkai Islam?
Pengertian zuhud
Zuhud menurut Islam bukanlah dengan meninggalkan kenikmatan-kanikmatan dunia secara keseluruhan dan hanya mengerjakan ibadah yang bersifat ritual saja. Misalkan seperti hanya tinggal di masjid, gua ataupun pegunungan ataupun memakai dan memakan hal-hal yang rendah. Karena hal tersebut merupakan salah satu penyesatan iblis kepada kita, sebagaimana yang di katakan oleh Ibnu al-Jauzi [rahimahu], “Orang awam terkadang mendengar celaan terhadap dunia di dalam al-Qur’an yang mulia dan hadits-hadits, lalu dia berpendapat bahwa (jalan) keselamatan adalah meninggalkan dunia. Dia tidak memahami masalah duniawi yang tercela. Kemudian Iblis mempermainkannya, (dengan menyimpulkan) bahwa “engkau tidak akan selamat di akhirat kecuali dengan meninggalkan dunia”. Maka ia pun mengasingkan diri ke gunung-gunung, menjauhi sholat Jum’at, sholat jama’ah, dan juga (majlis) ilmu. Dia menjadi seperti binatang liar. Dan dikhayalkan kepadanya bahwa inilah zuhud hakiki.”
Zuhud secara bahasa adalah lawan kata gemar. Gemar merupakan suatu bentuk keinginan. Sedangkan zuhud adalah hilangnya keinginan terhadap sesuatu, baik disertai kebencian ataupun hanya sekedar hilang keinginan, sedangkan Dalam istilah syar’i zuhud yang hakiki adalah sebagaimana yang di ungkapkan oleh Ibnu Taimiyah [rahimahu]:
“Zuhud yang disyari’atkan itu adalah dengan meninggalkan perkara-perkara yang tidak mendatangkan manfaat kelak di negeri akhirat dan kepercayaan yang kuat tertanam di dalam hati mengenai balasan dan keutamaan yang ada di sisi Alloh … Adapun secara lahiriyah, segala hal yang digunakan oleh seorang hamba untuk menjalankan ketaatan kepada Alloh , maka meninggalkan itu semua bukanlah termasuk zuhud yang disyari’atkan. Akan tetapi yang dimaksud zuhud adalah meninggalkan sikap berlebihan dalam perkara-perkara yang menyibukkan diri sehingga melalaikan dari ketaatan kepada Alloh dan Rosul-Nya , baik itu berupa makanan, pakaian, harta, dan lain sebagainya…” [lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimyah karya Syaikh Sholih Ahmad asy-Syami’, hal. 69-70]
Atau lebih mudahnya, sebagaimana yang di katakan oleh Abu Sulaiman [rahimahu]: “Zuhud adalah meninggalkan berbagai hal yang dapat melalaikan dari mengingat Alloh [swt].”
Nah dari dua pengertian di atas, sudah sangat jelas sekali, bahwa zuhud bukanlah dengan mengasingkan diri dari kenikmatan dunia sebagaimana yang banyak di lakukan oleh orang Budha ataupun Sufi, yang beranggapan bahwa zuhud adalah kemiskinan, kemelaratan dan kehidupan yang sulit. Akan tetapi hanya dengan meninggalkan hal-hal yang dapat menyibukkan kita dari ketaatan kepada Alloh [swt] maka kita sudah menjadi orang yang zuhud. Ini berarti orang yang kaya raya pun bisa menjadi orang yang zuhud jika harta kekayaannya tidak melalaikan ia dari perintah Alloh [swt] dan Rosul-Nya [saw].
Menuai cinta Alloh dengan Zuhud
Kita sebagai hamba Alloh [swt] pasti ingin dicintai Sang Kholiq, karena Alloh [swt] akan memberikan perwaliannya kepada setiap orang yang di cintai-Nya. Sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat al-Bukhori, Rosululloh [saw] bersabda di dalam hadits Qudsi:
“…jika Aku (Alloh [swt]) mencintainya (seorang hamba), maka Aku adalah pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, tangannya yang di gunakannya untuk memukul dan kakinya yang di gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku niscaya akan Aku berikan dan jika ia meminta perlindungan dari-Ku niscaya akan Aku lindungi.”
Nah dari hadits tadi, sudah sangat jelas sekali jika kita dicintai oleh Alloh [swt] maka Alloh [swt] akan selalu membantu dan menolong kita. Bahkan do’a kita akan selalu dikabulkan oleh-Nya dan akan diberikan perlindungan oleh yang Maha Kuat. Itulah sebagian kecil manfaat yang akan kita peroleh jika kita di cintai oleh Alloh [swt].
Kemudian yang jadi pertanyaannya sekarang adalah, “Bagaimanakah caranya agar kita dicintai oleh Alloh [swt]?”, “Bagaimanakah caranya agar kita selalu di lindungi oleh Alloh [swt] dari kejahatan makhluk-Nya dan do’a kita selalu terkabul?” jawabannya adalah dengan menjadi orang yang zuhud. Kenapa harus menjadi orang yang zuhud?, karena dengan memiliki sifat zuhud ini, bukan hanya cinta dari Alloh [swt] bahkan manusia pun akan mencintai kita, hal ini sebagaimana yang pernah ditanyakan oleh salah seorang sahabat kepada Nabi [saw]:
Dari Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi, ia berkata ada seseorang yang mendatangi Nabi [saw] lantas berkata, “Wahai Rosululloh, tunjukkanlah padaku suatu amalan yang apabila aku melakukannya, maka Alloh akan mencintaiku dan begitu pula manusia.” Rosululloh [saw] bersabda, “Zuhudlah pada dunia, Alloh akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada di sisi manusia, manusia pun akan mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah dan lainnya. An-Nawawi mengata-kan sanadnya hasan)
Dalam hadits di atas terdapat dua nasehat, yaitu untuk zuhud pada dunia, ini akan membuahkan kecintaan Alloh [swt], dan zuhud pada apa yang ada di sisi manusia (tidak menginginkan kenikmatan dunia saudaranya), ini akan mendatangkan kecintaan manusia.
Adapun maksud dari zuhud terhadap dunia yaitu sebagaimana yang telah di katakan oleh sahabat utama Rosul [saw] yaitu Abu Dzar [ranhu], ia mengatakan:
(( الزَّهَادَةُ فِىْ الدُّنْيَا لَيْسَتْ بِتَحْرِيمِ الْحَلاَلِ وَلاَ إِضَاعَةِ الْمَالِ وَلَكِنَّ الزَّهَادَةَ فِى الدُّنْيَا أَنْ لاَ تَكُونَ بِمَا فِى يَدَيْكَ أَوْثَقَ مِمَّا فِى يَدَىِ اللَّهِ وَأَنْ تَكُونَ فِى ثَوَابِ الْمُصِيبَةِ إِذَا أَنْتَ أُصِبْتَ بِهَا أَرْغَبَ فِيهَا لَوْ أَنَّهَا أُبْقِيَتْ لَكَ ))
“Zuhud terhadap dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan bukan juga menyia-nyiakan harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah engkau begitu yakin terhadap apa yang ada di tangan Alloh daripada apa yang ada di tanganmu. Zuhud juga berarti ketika engkau tertimpa musibah, engkau lebih mengharap pahala dari musibah tersebut daripada kembalinya dunia itu lagi padamu.”
Kiat menjadi orang yang zuhud
1. Memiliki Keimanan yang kuat dan selalu ingat bagaimana ia berdiri di hadapan Alloh [swt] pada hari kiamat guna mempertanggungjawabkan segala amalnya, yang besar maupun yang kecil, yang tampak ataupun yang tersembunyi.
2. Merasakan bahwa berlebihan dalam perkara dunia itu membuat hati terganggu (lalai) dalam berhubungan dengan Alloh , dan membuat seseorang merasa jauh dari kedudukan yang tinggi di akhirat kelak, dimana dia akan ditanya tentang kenikmatan dunia yang telah ia peroleh, sebagaimana firman Alloh [swt]:
“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. at-Takatsur [102]: 6)
3. Sadar bahwa Dunia hanya akan didapatkan dengan susah payah dan kerja keras, mengorbankan tenaga dan pikiran yang sangat banyak, dan kadang-kadang terpaksa harus bergaul dengan orang-orang yang berperangai jahat dan buruk. Berbeda halnya jika menyibukkan diri dengan berbagai macam ibadah: jiwa menjadi tentram dan hati merasa sejuk, menerima takdir Alloh [swt] dengan tulus dan sabar, ditambah akan menerima balasan di akhirat. Dua hal di atas jelas berbeda dan (setiap orang) tentu akan memilih yang lebih baik dan kekal.
4. Banyak Merenungkan ayat-ayat Al-Qur’an yang banyak menyebutkan tentang kehinaan dan kerendahan dunia serta kenikmatannya yang menipu (manusia). Dunia hanyalah tipu daya, permainaan dan kesia-siaan belaka. Alloh mencela orang-orang yang mengutamakan kehidupan dunia yang fana ini daripada kehidupan akhirat, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).” (QS. an-Naziat: 37-39)
Dalam ayat yang lainnya Alloh [swt] berfirman:
“Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. al-A’la [87]: 16-17)
Semua dalil-dalil, baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah, mendorong seorang yang beriman untuk tidak terlalu bergantung kepada dunia dan lebih mengharapkan akhirat yang lebih baik dan lebih kekal.
(Red-HASMI/grms/Muadz Hendrisman S.Ud)