Satu hal yang membedakan wanita Muslimah, ialah imannya yang mendalam kepada Alloh dan keyakinannya bahwa apapun peristiwa yang terjadi di alam ini dan apapun yang terjadi pada diri manusia adalah berkat qahda dan takdir Alloh. Dia yakin bahwa apa yang meninpa manusia bukan untuk membuatnya merasa bersalah, dan kesalahan yang dilakukannya bukan dimaksudkan untuk menimpakan musibah kepadanya. Kewajiban yang harus dilakukan manusia dalam kehidupan ini ialah berusaha meniti jalan kebaikan, mencari faktor-faktor yang bisa mendatangkan amal shalih, apakah itu dalam masalah agamanya maupun dunianya, sambil bertawakal dengan sebenar-benarnya tawakal kepada Alloh, pasrah kepada urusan-Nya, yakin bahwa dia senantiasa membutuhkan pertolongan, bimbingan dan ridha-Nya.
Perhatikan kisah Hajar saat ditinggalkan Ibrahim Alaihis Salam di samping Al Bait di Makkah Al-Mukarramah, di dekat tenda tak jauh dari Zamzam, sementara di Makkah saati itu belum ada segelintir manusia pun dan air pun tidak ada. Dia hanya ditemani bayunya yang masih menyusui, Ismail. Kisah ini menyajikan satu gambaran yang sangat mengagumkan di hadapan wanita muslimah, tentang dalamnya iman kepada Alloh dan tawakal serta kepasrahan yang utuh kepada-Nya. Dengan tegar, mantap dan penuh keyakinan, Hajar bertanya kepada Ibrahim, "Allohkah yang menyuruh engkau berbuat seperti ini wahai Ibrahim?"
"Benar," jawab Ibrahim.
"Kalau begitu Dia tidak akan menyia-nyiakan kami," jawab Hajar penuh keridhaan dan disertai keyakinan akan datannya kabar gembira dan perlindungan.
Sungguh merupakan tindakan yang sangat berat dan menggugah rasa, bagaimana seorang laki-laki harus meninggalkan istri dan anaknya yang masih menyusui di tengah hamparan padang pasir, tidak ada tetumbuhan, tidak ada air dan manusia. Setelah itu beliau langsung berbalik ke negeri Syam yang amat jauh. Dia hanya meninggalkan satu kantong berisi buah korma dan satu wadah dari kulit yang berisi air. Andaikan tidak ada iman yang mendalam dan memenuhi hati Hajar, andaikan tidak ada tawakal yang utuh kepada Alloh yang menghiasi perasaannya, tak bakalan dia sanggup menghadapi keadaannya saat itu dan tenti dia akan roboh tak berdaya sejak awal mula berada di sana. Yang seperti ini tidak terjadi pada diri wanita yang secara abadi selalu diingat orang-orang yang menunaikan haji di Baitullah Al-Haram dan melaksanakan umrah di sana. Mereka mengenangnya menjelang malam dan di ujung siang, yaitu saat mereka menciduk dari air Zamzam yang suci, saat mereka melakukan sa'i dari Shafa ke Marwah, sebagaimana dia berlari-lari kecil pada hari yang sangat mendebarkan itu.
Keyakinan iman ini menghasilkan buah-buah yang sangat mengagumkan dalam kehidupan orang-orang Muslim dan Muslimah, yang menggugah perasaan dan membangkitkan sanubari, bahwa Alloh menyaksikan dan mengetahui semua rahasia, bahwa Dia senantiasa bersama manusia, dimana pun dia berada. Tidak ada bukti yang lebih akurat tentang upaya membangkitkan perasaan dan mendatangkan rasa takut kepada Alloh saat ramai dan saat sepi, selain dari kisah seorang gadis muslimah yang menggambarkan sifat kesucian diri dan adanya pengawasan terdadap dirinya, yang dinukil Ibnu Jauzy dalam bukunya, Ahkamum Nisa.
Dia menuturkan, dari Abdullah bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya, dari kakeknya, dia berkada, "Saat aku bersama Umar bin Al Khathab Radhiyallahu Anhu yang sedang melakukan inspeksi di Madinah, tiba-tiba dia merasa kelelahan, Maka pada tengah malam itu dia bersandari di samping sebuah dinding. Tiba-tiba terdengar seorang wanita berkata kepada putrinya, "Wahai putriku, ambilah susu itu dan campurilah dengan air biasa!"
Putrinya menjawab, "Wahai ibu, apakah itu tidak tahu keputusan yang diambil Amirul Mukminin pada hari ini?"
"Apa memang keputusan yang diambilnya wahai putriku?" tanya sang ibut.
"Dia memerintahkan seorang untuk mengumumkan, bahwa susu tidak boleh dicampur dengan air," jawab putrinya.
"Wahai putriku, ambil saja susu itu dan campuri ia dengan air. Toh saat ini kamu berada di suatu tempat yang tidak bisa dilihat Umar," kata sang ibu.
Putrinya berkata, "Aku sama sekali tidak akan menaatinya saat ramai dan mendurhakainya saat sepi."
Umar bisa mendengar semua itu. Setelah kembali ke rumah, dia berkata, "Wahai Aslam, datangi lagi rumah itu dan selidikilah siapa wanita yang menjawab seperti itu dan siapa pula wanita tua lawan bicaranya. Adalah mereka mempunyai suami?"
Aslam menuturkan, "Lalu kudatangi ruma itu. Ternyata wanita yang memberikan jawaban seperti di atas masih gadis, dan wanita yang berbicara dengannya adalah ibunya, yang di rumah itu tidak ada seorang laki-laki pun. Kudatangi Umar dan kukabarkan hal ini kepadanya. Lalu dia memanggil putra-putranya dan mengumpulkan mereka. Dia berkata, "Apakah diantara kalian ada yang membutuhkan seorang wanita untuk bisa kunikahkan dengannya? Andaikan ayah kalian masih berminat kepada seorang wanita, tentu salah seoranng di antara kalian tidak bisa mendahuluinya untuk mendapatkan anak gadis ini."
Abdullah berkata, "Aku sudah mempunyai seorang istri."
Abdurrahman berkata, "Aku pun begitu."
Ashim berkata, "Kalau aku belum punya istri. Maka nikahkanlah aku dengannya!"
Umar mengirim utusan kepada gadis itu, lalu menikahkannya dengan Ashim. Dari wanita ini lair seorang anak putri, dan dari anak putri ini lahir Umar bin Abdul Aziz.
Ini merupakan kesadaran sanubari yang ditanamkan Islam ke dalam jiwa gadis Muslimah tersebut. Sungguh ini merupakan gambaran ketakwaan yang lurus dan lempang, dalam keadaan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, saat ramai atau sepi, karena keyakinan bahwa Alloh senantiasa bersama dia, bisa mendengar dan melihat. Ini adalah iman yang hakiki, yang kemudian membuahkan hasil yang menggembirakan bagi pelakunya. Di antara pahala ALloh yang langsung dirasakan wanita itu di dunia, Dia menganugerahinya perkawinan yang penuh berkah, sehingga dari keturunannya lahir Al Khulafaur Rasyidun yang kelima, Umar bin Abdul Aziz.
Aqidah wanita muslimah yang lurus, bersih dan suci tidak akan terlumuri noda kebodohan, kebeningannya tidak akan menjaid keruh oleh tipuan khurafat dan keelokannya, tidak akan padam karena bayang-bayang keraguan. Ini adalah aqidah yang ditegakan di atas iman kepada Alloh Yang Maha Esa, Yang Maha TInggi dan Yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu, yang di Tangan Nya terletak semua urusan dan kepada Nya pula kembalinya segala urusan.
Alloh Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
"Katakanlah, 'Siapakah yang di tangan Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu, sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab) Nya jika kalian mengetahui?' Mereka akan menjawab, 'Kepunyaan Alloh'. Katakanlah, '(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kalian ditipu?" (Al Mukminun : 88-89)