Wahsyi bin Harb [ranhu] dikenal juga dengan Abu Dasamah. Dia adalah hamba sahaya atau budak dari Jubair bin Muth’im, seorang bangsawan Quroisy.
Setelah kafir Quroisy mengalami kekalahan telak, mereka kemudian membentuk sebuah pasukan besar yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb dalam peperangan selanjutnya, yaitu perang Uhud.
Ketika pasukan Quroisy akan berangkat, Jubair bin Muth’im berkata kepada Wahsyi, “Wahai Abu Dasamah, maukah engkau bebas dari perbudakan”
“Bagaimana caranya” tanya Wahsyi.
“Bila engkau berhasil menewaskan Hamzah bin Abdul Mutholib, paman Muhammad yang telah membunuh pamanmu, Thu’aim bin Adi, maka engkau kubebaskan dari perbudakan.” kata Jubair.
“Siapa yang menjamin kebebasanku bila aku berhasil?” tanya Wahsyi.
“Siapa saja yang engkau kehendaki. Akan kupersaksikan janjiku ini kepada seluruh masyarakat,” tegas Jubair.
Wahsyi pun setuju dengan perjanjian tersebut. Ia segera mengambil lembingnya dan berangkat bersama-sama dengan pasukan Quroisy. Ia berada di belakang pasukan bersama para wanita karena ia tidak terlalu mahir berperang. Hanya saja, Wahsyi memiliki kemahiran melempar lembing. Lemparannya hampir tidak pernah meleset sedikit pun dari sasaran.
Setiap kali bertemu dengan Wahsyi, Hindun selalu melihat ke arah lembingnya yang berkilat-kilat kena sinar matahari, sembari berkata, “Wahai Abu Dasamah, sembuhkanlah luka hati kami. Tuntutlah Muhammad [saw] atas kematian bapak, paman, dan saudara kami.”
Ketika dua pasukan bertemu, Wahsyi [ranhu] keluar dari tenda dan mengincar Hamzah dengan diam-diam. Tidak sulit bagi siapa pun untuk mengetahui siapa Hamzah bin Abdul Mutholib [ranhu], karena dia selalu memakai bulu burung unta di kepalanya sebagai tanda kepahlawanan seperti lazimnya orang Arab waktu itu.
Memang, tidak lama kemudian, Wahsyi melihat Hamzah [ranhu] maju bagaikan unta yang mengamuk, merobohkan lawan-lawannya dengan pedang tanpa hambatan. Tidak ada yang berani menghadang atau berdiri di hadapannya.
Sementara itu, Wahsyi berdiri di balik sebuah batu besar, menunggu Hamzah mendekat ke arahnya. Tiba-tiba seorang penunggang kuda pasukan Quroisy yang bernama Siba’ bin Abdul Uzza datang dan menantang Hamzah ke arah Wahsyi.
“Lawanlah aku, wahai Hamzah! Kemarilah!” tantang Siba’.
Hamzah [ranhu] menoleh lalu melompat ke arah Siba’. Tangannya bergerak memukulkan pedang. Sekali tebas Siba’ jatuh tersungkur bermandikan darah di hadapan Hamzah .
Wahsyi mengambil ancang-ancang dengan posisi yang tepat sambil membidikkan lembingnya. Setelah dirasa tepat, ia lemparkan senjata tersebut ke arah Hamzah [ranhu]. Lembing melesat ke depan dan tepat mengenai perut Hamzah bagian bawah.
Pahlawan Islam yang dikenal dengan ‘Singa Alloh’ itu melangkah berat kira-kira dua langkah, kemudian jatuh dengan lembing yang bersarang di tubuhnya. Wahsyi tidak bergerak dari tempat persembunyiannya. Setelah yakin Hamzah benar-benar tewas, baru ia mendatangi tubuh Hamzah dan mencabut lembingnya. Dendamnya telah terbalas, tugas pun telah tertunaikan, lalu ia kembali ke perkemahan.
Seusai pertempuran, Wahsyi kembali ke Kota Mekkah bersama rombongan tentara Quroisy. Sampai di Mekkah, ia pun dibebaskan oleh Jubair sesuai dengan janjinya. Sejak saat itu, Wahsyi bebas dari perbudakan dan merdeka.
Hari-hari terus berlalu. kaum Muslimin yang berada di Madinah kian bertambah. Pasukan mereka semakin kuat dan besar. Semakin bertambah kekuatan kaum Muslimin, semakin besar kekhawatiran Wahsyi. Kegelisahan dan ketakutan semakin menghantuinya.
Tatkala kaum Muslimin berhasil menguasai Kota Mekkah, Wahsyi melarikan diri ke kota Thoif mencari tempat yang aman. Namun hanya beberapa saat saja, penduduk Thoif pun menyatakan diri masuk Islam. Wahsyi bingung hendak lari ke mana.
Penyesalan selalu menyertai dirinya, ia merasa Bumi yang luas ini terasa sempit. Dalam keadaan seperti itu, seorang sahabat menasihatinya agar ia masuk Islam dan bertaubat, karena Rosululloh tidak akan membunuh orang yang masuk Islam.
Mendengar nasihat itu, Wahsyi berangkat ke Madinah. Di hadapan Rosululloh [saw] ia menyatakan diri masuk Islam. Namun, begitu Rosululloh [saw] tahu bahwa pamannya Hamzah terbunuh ditangannya, Rosululloh [saw] memalingkan mukanya dan tidak mau melihat wajah Wahsyi. Hal itu terus berlangsung sampai beliau wafat.
Walaupun Wahsyi tahu bahwa Islam menghapus dosa-dosanya yang telah lalu, tapi ia tetap menyesal. Ia tahu, musibah yang ia timpakan kepada kaum Muslimin saat itu sangat besar dan keji.
Ia telah membunuh seorang pahlawan Islam secara licik dan tidak jantan. Karena itu, Wahsyi selalu menunggu kesempatan untuk menebus dosanya.
Setelah Rosululloh [saw] wafat, pemerintahan beralih ke tangan Abu Bakar Shiddiq [ranhu]. Pada masanya terdapat fitnah terbesar bagi kaum Muslimin yaitu munculnya Nabi palsu, Musailamah al-Kadzab, Abu Bakar [ranhu] menyiapkan pasukannya untuk membunuh Musailamah.
Dalam peperangan Wahsyi bersama pasukan yang dipimpin oleh Kholid bin Walid [ranhu], berangkat ke medan Yamamah. Tidak lupa lembing yang ia pakai untuk membunuh Hamzah, ia bawa. Dalam hati ia bersumpah akan membunuh Musailamah atau ia tewas sebagai syahid.
Ketika gerbang pertahanan musuh mampu ditembus, Wahsyi dan kaum Muslimin tumpah ruah menyerbu markas Musailamah.
Wahsyi bin Harb melompat ke depan. Setelah berada dalam posisi yang tepat, ia bidikkan lembingnya ke arah sasaran. Begitu dirasa tepat, Wahsyi melemparkan senjatanya! Lembing melesat ke depan mengenai sasaran.
Demikianlah sepenggal kisah perjuangan Wahsyi bin Harb, meskipun ia pembunuh orang terbaik Rosululloh [saw], ia juga membunuh orang terburuk bagi Rosululloh [saw]. Bukankah orang yang membunuh musuh Alloh [swt] dan Rosul-Nya akan masuk suga? Wallohu’alam.
(Red-HASMI/IH/Reno Saputra S.Ud)