Alloh [swt] menciptakan manusia dalam bentuk yang paling baik (ahsanu taqwim), termasuk kelengkapan akal yang dimilikinya. Alloh [swt] jadikan manusia sebagai makhluk yang terpelajar dari awal penciptannya, dan karena itu pula Alloh [swt] putuskan untuk mengangkatnya sebagai kholifah (pengurus dan penyelenggara kemakmuran) dibumi. Dalam menjalankan fungsinya sebagai kholifah, manusia dituntut membekali diri dengan kemampuan ilmu dan pengetahuan yang cukup dan memadai. Disamping itu manusia dituntut pula menjalankan fungsi ke-khilafahan atas dasar nilai-niali Islami yang telah Alloh [swt] tentukan berupa ketentuan-ketentuan syari’at yang terdapat dalam kitabulloh dan sunnah Rosulullloh [saw].
Dalam menanamkan nilai-nilai dan pengetahuan, manusia memerlukan sebuah proses, proses situ adalah pendidikan atau pembelajaran. Pendidikan merupakan kebutuhan yang sangat urgen bagi setiap manusia. Sebab pendidikanlah yang dapat membuat manusia mampu menciptakan berbagai kemajuan dan mewarnai peradaban dalam kehidupannya. Manusia yang terdidik cenderung memiliki kemampuan dalam mengatasi berbagai masalah yang di hadapi dengan rasional, terukur, dan sistematis. Pendidikan adalah faktor penting terhadap eksistensi sebuah peradaban. Bahkan, bisa dikatakan bahwa pendidikan merupakan hal yang tidak bisa lepas dari kehidupan. Melalui pendidikan yang benar, maka kemajuan suatu bangsa dapat tercapai. Pendidikan bukanlah sekedar nilai akademis, namun pendidikan ditujukan untuk membantu manusia beraqidah shohihah, berakhlaqul karimah, dan berimu pengetahuan sehingga dapat beribadah kepada Allah [swt], memberi manfaat bagi orang lain.[1]
Namun sangat disayangkan apbila kita melihat kenyataan yang ada, pendidikan di Indonesia saat ini mengalami krisis yang menyebabkan kemunduran. Para pemerhati pendidikan telah menganalisis beberapa sebab terjadinya kemunduran itu, di antaranya adalah karena ketidaklengkapan aspek materi, serta hilangnya qudwah hasanah (teladanan yang baik), akidah shahihah, dan nilai-nilai Islami. Ada juga yang melihat penyebabnya adalah karena salah membaca eksistensi manusia, sehingga salah pula melihat eksistensi anak didik.[2]
Masalah yang dihadapi pun cukup beragam. Mulai dari aspek social, politik, budaya dan ekonomi, serta aspek lainnya. Meskipun akhir-akhir ini prestasi intelektual anak-anak Indonesia banyakmengalami peningkatan cukup baik dengan banyaknya prestasi di berbagai olimpiade sains internasional, namun kemunduran justru terjadi pada aspek lain yang amat penting, yaitu moralitas. Kemunduran pada aspek ini menyebabkan krisis pendidikan akhlak dalam dunia pendidikan kita, sehingga dunia pendidikan di Indonesia tidak dapat menahan laju kemerosotan akhlak yang terus terjadi.[3] Bahkan kemerosotan yang terjadi Indonesia, bukan saja pada para peserta didik atau mereka yang menempuh jalur pendidikan, akan tetapi pada seluruh remaja negeri. Padahal, remaja saat ini adalah bangsa di masa yang akan datang. Bangsa ini akan menjadi bangsa besar, kuat dan bermartabat apabila remaja saat ini tumbuh dan berkembang dalam ilmu dan moralitas yang tinggi dan mulia. Namun, realita yang kita lihat sangatlah jauh dari idealitas yang kita dambakan. Kondisi moral remaja Indonesia sangat memprihatinkan dan memilukan. Banyak para remaja yang berfungsi sebagai penerus bangsa sudah jauh dari nilai-nilai etika, rmoral dan agama.
Jumlah remaja secara keseluruhan di Indonesia berdasarkan hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI 2007) menunjukkan bahwa jumlah remaja di Indonesia mencapai 30 % dari jumlah penduduk. Merekalah yang seharusnya berperan memegang estafeta perjuangan bangsa di masa yang akan datang., akan tetapi seperti yang kita rasakan, kasus demi kasus kenakalan remaja seakan tak berhenti menghiasi pemberitaan di media, cetak, elektronik maupun on line. Kondisi remaja di Indonesia saat ini dapat digambarkan sebagai berikut :[4]
- Sex pra nikah dan Kehamilan tidak dinginkan
- Aborsi 2,4 jt : 700-800 ribu adalah remaja
- MMR 343/100.000 (17.000/th, 1417/bln, 47/hari perempuan meninggal) karena komplikasi kehamilan dan persalinan
- HIV/AIDS: 1283 kasus, diperkirakan 52.000 terinfeksi (fenomena gunung es), 70% remaja
- Miras dan Narkoba
Adapun Hasil Penelitian BNN bekerja sama dengan UI menunjukkan :
- Jumlah penyalahguna narkoba sebesar 1,5% dari populasi atau 3,2 juta orang, terdiri dari 69% kelompok teratur pakai dan 31% kelompok pecandu dengan proporsi laki-laki sebesar 79%, perempuan 21%.
- Kelompok teratur pakai terdiri dari penyalahguna ganja 71%, shabu 50%, ekstasi 42% dan obat penenang 22%.
- Kelompok pecandu terdiri dari penyalahguna ganja 75%, heroin / putaw 62%, shabu 57%, ekstasi 34% dan obat penenang 25%.
- Penyalahguna Narkoba Dengan Suntikan (IDU) sebesar 56% (572.000 orang) dengan kisaran 515.000 sampai 630.000 orang.
- Beban ekonomi terbesar adalah untuk pembelian / konsumsi narkoba yaitu sebesar Rp. 11,3 triliun.
- Angka kematian (Mortality) pecandu 15.000 orang meninggal dalam 1 tahun.
Angka-angka di atas cukup mencengangkan, bagaimana mungkin anak remaja yang masih muda, polos, energik, potensial yang menjadi harapan orangtua, masyarakat dan bangsanya dapat terjerumus dalam limbah kenistaan, sungguh sangat disayangkan. Tanpa disadari pada saat ini, di luar sana anak-anak remaja kita sedang terjerat dalam pengaruh narkoba, miras, seks bebas, aborsi dan kenakalan remaja lainnya. Bahkan angka-angka tersebut diprediksikan akan terus menanjak, seperti fenomena gunung es, tidak tampak di permukaan namun jika ditelusuri lebih dalam ternyata banyak ditemukan kasus kasus yang cukup mengejutkan. Fenomena geng motor kini semakin sering menghiasi media. Geng motor di Pekanbaru mulai ramai dibicarakan sejak tahun 2012, saat sekelompok geng motor melakukan penyerangan dan pengrusakan terhadap sebuah kantor polisi. Menurut data dari Polresta Pekanbaru, sepajang tahun 2012 tercatat sebanyak 25 kasus kejahatan yang dilakukan oleh kelompok geng motor. Sementara itu, tahun 2013 yag bahkan baru tiba pada pertengahan setidaknya sudah tercatat 16 kasus kejahatan geng motor. Dari data yang diperoleh, sebagian anggota geng motor masih berstatus pelajar/anak di bawah umur. Remaja/anak di bawah umur sengaja direkrut karena mudah dipengaruhi, diperintah, digerakkan, juga “dibawa”. Terlebih terhadap remaja putus sekolah yang memang memiliki kecenderungan mencari kelompok di luar kelompok sekolah. Remaja yang masih berstatus pelajar juga tak luput dari rekrutan geng motor, padahal mereka jelas-jelas masih di bawah pengawasan pihak sekolah.[5]
Kondisi generasi bangsa Indonesia yang memprihatinkan dalam dunia remaja pada umumnya, dan pendidikan pada hususnya, telah mendorong pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional untuk menggagas sebuah terobosan untuk mejawab permasalahan diatas. Gagasan tersebut diterjemahkan kedalam satu istilah “Pendidikan Karakter” yaitu pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai budaya luhur Indonesia. Jadi, dalam konteks ini, pendidikan karakter yang dimaksud adalah pendidikan karakter nasional. Istilah pendidikan karakter ini semakin menguat ketika menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Muhammad Nuh, dalam pidatonya pada hari pendidikan nasional 2011 menekankan pentingnya pendidikan karakter sebagai upaya pembangunan bangsa. Bahkan di tahun yang sama Kementrian Pendidikan menerbitkan buku pelatihan dan pengembangan pendidikan budaya karakter bangsa yang disusun oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum Kemendiknas RI. Dalam buku tersebut disusun delapan belas karakter pendidikan budaya karakter bangsa, yaitu: Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Semangat Kebangsaan, Cinta tanah air, Menghargai prestasi, Bersahabat/komunikatif,Cinta Damai, Gemar membaca, Peduli lingkungan, Peduli social, Tanggung jawab.
Dari rangakaian karakter yang disebutkan dalam butir-butir Pendidikan Karakter di atas, kita memiliki harapan besar sekaligus memberikan apresiasi dan sanjungan kepada pemerintah atas kepeduliannya terhadap krisis moral yang sangat memprihatinkan sebagaimana tergambar dalam paparan diawal melalui kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Namun, ada yang terlupa dan ini merupakan kritik (semoga menjadi kritik yang memebangun sebagai upaya penyempurnaan) terhadap gagasan dan konsep Pendidikan karakter di Indonesia:
- Kenapa harus Pendidikan Karakter (saja)? Bukankah mayoritas penduduk Indonesia, hususnya pelajar adalah mayoritas beragama Islam?
Alangkah baiknya, jika pemerintah lebih maksimalkan pendidikan keagamaan Islam yang jauh lebih sempurna dan paripurna, konsep tarbiyyah Ilahiyyah yang dibimbing oleh wahyu. Karna karakter tidaklah cukup terbangun hanya dengan delapan belas karakter saja.
Pendidikan tidaklah cukup dengan sebuah konsep, akan tetapi yang tidak kalah penting adalah pengawasan, dan pendidikan islam menanamkan pengawasan pribadi dalam bentuk Ihsan, yaitu perasaan selalu diawasi oleh Allah Rabbul ‘Alamin yang maha melihat (al-Bashir), maha mengetahui (al-‘Alim), maha mendengar (al-Sami’) dan maha kuasa (al-Qodir) untuk membalas segala perbuatan hamba. Di samping itu, kehadiran Rasulullah shallallohu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan (Rasul) adalah untuk menyempurnakan kemulyaan karakter. Sebagaimana Rasulullah shallallohu ‘alaihi wa sallam Bersabda
“Sesungguhnya aku diutus adalah untuk menyempurnakan keluhuran akhlak (karakter).” (H.R. Ahmad)Hal ini sejalan dengan apa yang sedang digagas oleh para praktisi pendidikan dan pemerintah Indonesia untuk membawa Indonesia menjadi bangsa yang lebih bermartabat.| - Masih jauhnya kesiapan dunia pendidikan Indonesia untuk membentuk bangsa berkarakter melalui Pendidikan Karakter. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, pendidikan karakter haruslah didukung oleh unsur-unsur dan faktor-faktor. Dan unsur sekaligus faktor tersebut adalah figur yang berkarakter, yaitu pendidik/guru yang berkarakter, jangan sampai muncul istilah “Pendidikan Karakter oleh Pendidik yang Tak Berkarakter”. Apabila ini yang terjadi, maka dipastikan bahwa hasil Pendidikan Karakter yang diidamkan akan menuai kegagalan total. Pendidikan Karakter bukanlah gagasan baru yang dimunculkan sebagai upaya uapaya pembentukan bangsa yang berkarakter, akan tetapi merupakan rangkaian upaya demi upaya karna tidak maksimalnya hasil upaya sebelumnya. Katakanlah Pendidikan Moral Pancasila dan Penataran P4 yang hadir dilembaga-lembaga pendidikan, disusul Pendidikan Kewarganegaan (PKn) sebagai materi wajib ternyata tidak membawa hasil yang membanggakan, bahkan cenderung rugi bila dihitung dari aspek waktu dan pendanaan yang telah digelontorkan untuk pelaksanaannya.
Semua ini tentunya bukan semata karena kurangnya materi, akan tetapi lebih pada kurang bahkan tidak adanya figur berkarakter dalam pendidikan kita. Tak jarang kita mendengar dan melihat dimedia-media pemberitaan tentang “Korupsi” yang dilakukan oleh para pejabat pemerintah, bahkan tak jarang korupsi dilakukan oleh institusi/pejabat penyelenggara pendidikan. Tak jarang pula terdengar dan terlihat dalam media, pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum guru pada murudnya, tertangkapnya oknum pendidik dalam razia operasi penyakit masyarakat (Pekat) berupa perzinahan, berbelanja dan jalan-jalan di mall saat jam-jam tugas di tengah-tengah gencarnya “gerakan disiplin nasional”, banyaknya guru yang merokok, bahkan hal buruk ini kerap dilakukan didalam kelas, dan hal-hal buruk lain yang sangat tidak mendidik. Inilah PR bagi pemerintah untuk suksesi Pendidikan Karakter yang sedang gencar di gagas, “Siapkan figur-figur berkarakter untuk generasi muda kita” dari pejbat pemerintah, institusi pendidikan dan guru, selain secara bersamaan membangun kesadaran masyarakat secara umum untuk menjadi masyarakat yang berkarakter.
Dan satu lagi, sebagai negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam, Indonesia harus menjunjung tinggi nilai-nilai/karakter Islami dengan teladannya adalah sebaik-baik teladan, yaitu Rasulullah shallallohu ‘alaihi wa sallam. Beliau adalah profil pendidik yang patut bahkan wajib untuk dijadikan sebagai teladan. Alloh [swt] berfirman tentang pribadi beliau dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 21:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا (٢١)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”
Ayat di atas adalah rekomendasi Alloh [swt] untuk Rosulullah [saw] agar orang-orang yang beriman kepada Alloh [swt] dan hari ahir senantiasa menjadikan beliau sebagai figur atau teladan. Termasuk didalamnya menjadikan beliau sebagai figur pedidikan. Sunnah yang suci juga menetapkan bahwa Rasulullah [saw]. adalah seorang muallim, sang pengajar.
Semoga Alloh [swt] senantiasa membimbing langkah kita dalam meniti shirat-Nya, dan dalam menghantarkan masyarakat kita menuju Masyarakat Islami, yaitu Masyarakat yang dinaungi dan dituntun oleh norma-norma Islam sebagai satu-satunya agama Allah.
Ditulis oleh:
Fatih, Mahasiswa Program Pascasarjana
Universitas Ibn Khaldun Bogor
Angkatan 2012
[1] lihat Suroso Abdussalam, Cara Mendidik anak sejak lahir hingga TK, (Surabaya:Sukses publishing, 2012), hlm. 26.
[2] Zglul al-Najar, Nadzarat fi Azmat al-Ta’lim al-Mu’ashir wa Hululiha al-Islamiyyah, (Cairo:Maktabah Wahbah, 2006), hlm. 24-26.
[3] Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an, (Depok:RAJAGRAFINDO PERSADA, 2012), hlm. 1-2.
[4]http://ntb.bkkbn.go.id/Lists/Artikel/DispForm.aspx?ID=673&ContentTypeId=0x01003DCABABC04B7084595DA364423DE7897, di akses pada tanggal 18 Desember 2013.
[5] (http://rehsos.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=1750, di akses pada tanggal 18 Desember 2013