Pangkalpinang- Masyarakat terus berdatangan ke pelataran Masjid Kemas A’dil guna menyaksikan sumpah pocong yang akan diucapkan oleh salah seorang warga bernama Melkoyani terhadap mantan isterinya “YK”. Aksi sumpah pocong Melko ini dilakukan guna mengetahui kebenaran isi surat keputusan yang dikeluarkan Pengadilan Agama (PA) Pangkalpinang tentang perceraiannya dengan YK.
Banyaknya warga yang berdatangan mengakibatkan kemacetan di ruas Jalan Jenderal Ahmad Yani, namun mereka pun harus memendam kekecewaan karena sumpah pocongnya urung diucapkan, disebabkan YK mantan isteri Melko tidak datang. (sumber: BANGKA POS, edisi: 07/Mar/2009).
Surabaya- Rista Mitasari warga perumahan Griya Panji Mulya Situbondo Jawa Timur akhirnya memilih untuk melakukan sumpah pocong, sebab anak yang dilahirkan dari rahimnya tidak diakui oleh suaminya, “AP” salah seorang pegawai yang bertugas di RSU dr. Abdoer Rahem Situbondo.
Tentu saja ritual sumpah pocong di Masjid at-Taqwa Desa Buduan, Kecamatan Suboh yang dipimpin oleh salah seorang kyai karismatik di Kecamatan Suboh, yakni Kyai Sibaweh itu mendapat perhatian dari ratusan warga. Mereka ingin menyaksikan prosesi sumpah pocong yang dilakukan oleh wanita berusia 27 tahun tersebut. (Sumber: Poskota, 9 Januari 2010).
***
Penggalan dua peristiwa nyata di atas adalah cerminan aqidah mayoritas masyarakat Islam di Indonesia, ketidaktahuan terhadap syariat Islam telah membawa sikap keterbukaan mereka untuk menerima setiap aqidah (keyakinan) yang bersumber bukan dari Islam.
“Jangan menyapu di malam hari, karena bisa membuang rezeki kamu”, “jangan duduk di atas bantal nanti pantatnya borokan” dan lain-lain. Itu semua pada ha-kikatnya adalah khurofat atau keyakinan sesat yang tidak bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah. Namun sangat disayangkan, banyak dari kaum Muslimin yang menerima hal tersebut, bahkan menjadikannya sebagai suatu aqidah atau keyakinan dalam kehidupannya.
Di antara keyakinan yang sudah menjadi tradisi dan marak di kalangan masyarakat saat ini adalah SUMPAH POCONG. Bukan hanya di kalangan masyarakat biasa, belakangan ini media massa diramaikan dengan “sum-pah pocong” yang melibatkan sejumlah artis.
Sumpah pocong adalah adat istiadat masyarakat yang dilakuk-an oleh orang/pihak yang merasa difitnah dan atau ingin menyampaikan kebenaran yang ia yakini benar tetapi sulit diterima oleh kelompok masyarakat sekitar. Maka dengan adanya sumpah pocong ini dianggap sebagai satu “puncak pernyataan” atas kebenaran yang ingin disampaikan. Adapun saksi-saksi di acara tersebut yang harus hadir: Keluarga pelaku sumpah, pemuka agama atau ulama, tokoh masyarakat dan wakil pemerintah yang ditunjuk.
Tempat untuk pelaksanaan Sumpah Pocong biasanya di Mas-jid yang diyakini sebagai Baitulloh (Rumah Alloh). Mereka beralasan jika ada dusta atau kebohongan yang diikrarkan di tempat suci tersebut, maka laknat dan azab akan segera ditimpakan kepada si pendusta.
Sebelum berikrar si pelaku sumpah dimandikan/disucikan sebagaimana memandikan mayat oleh keluarga atau mahromnya dan disaksikan oleh saksi-saksi yang ditunjuk, kemudian setelah dimandikan, si pelaku dikafani (dipocong) layaknya mayat yang akan dibawa ke kuburan. Setelah itu si pelaku mengucapkan syahadat sebagai bentuk persaksian keimanan kepada Alloh [swt] sebagai Robb dan Muhammad [saw] sebagai utusan-Nya.
Kemudian pembacaan surat Yasin dan doa-doa tahlilan yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat terhadap orang yang baru meninggal. Setelah acara tahlilan yang dipimpin oleh Kyai selesai, maka acara inti pun segera dilaksanakan, yaitu si pelaku mengikrarkan halfun (sumpah) yang ia kukuhkan atau ia sangkal.
Agar lebih jelas, mari kita simak contoh teks sumpah pocong berikut ini :
“Bismillaahir rohmaanir ro-hiim… Dengan nama Alloh Yang Maha Melihat atas semua yang saya lakukan, maka saya Fulan bin Fulan (nama yang bersumpah) dengan sadar menyatakan bahwa tuduhan yang ditimpakan atas saya adalah fitnah dan apabila ada dusta atas sumpah saya, saya siap menerima azab dan laknat dari Alloh berupa:(…) menyebutkan konsekwensi yang akan dia terima yang telah ditetapkan oleh saksi-saksi, di antaranya adalah: Tujuh keturunan tidak akan selamat, sanggup mati saat pengambilan sumpah, sanggup mendapat sakit tak terobati setelah meng-ucapkan sumpah, dan lain-lain. Setelah selesai pembacaan ikrar, kain kapan (pocongnya) dibuka, kemudian berdo’a serta beristigh-far kepada Alloh dan bersalam-salaman dengan sebagian hadirin yang ada di tempat tersebut.
Adakah Sumpah Pocong di Zaman Rosululloh [saw]?
Ya, betul…. Istilah ‘sumpah pocong’ sama sekali tidak dikenal di dalam Islam, karena dari namanya saja (pocong) sudah jelas bahwa istilah tersebut berasal dari bahasa Indonesia sebagaimana praktek pelaksanaannya pun hanya ada di Indonesia.
Bersumpah adalah suatu ibadah yang memiliki aturan dan batasan yang telah ditetapkan oleh Islam, jika aturan dan batasan-batasan tersebut dilanggar berarti telah terjadi kemaksiatan kepada Alloh [swt] Dzat Yang Maha Sempurna. Adanya ritual seperti memandikan, mengkafani, tahlilan dan yang lainnya sebelum ikrar adalah suatu bentuk kebid’ahan dan kemaksiatan kepada Alloh, karena ritual-ritual tersebut tidak pernah diajar-kan oleh Rosululloh [saw].
Bahkan sumpah pocong bisa menjadi suatu kesyirikan jika ada keyakinan bahwa yang memberikan kemudhorotan (marabahaya) dan manfaat kepada si pelaku sumpah adalah karena ritual “pocong” nya itu sendiri.
Adapun yang terjadi di zaman Rosululloh [saw] yang ada kemiripan dengan sumpah pocong adalah “mubahalah” yaitu saling melaknat di antara dua pihak yang berselisih.
Sebagaimana dalam suatu riwayat disebutkan bahwa tatkala Nabi [saw] mengajak seorang uskup Najran dan pemimpin Nasrani kepada Islam mereka mengatakan,”Sesungguhnya kami telah muslim sebelum kamu”, Nabi [saw] bersabda, “Kalian bohong, tiga hal yang menghalangi kalian berdua dari Islam: 1. Perkataan kalian “Alloh mengambil seorang anak”, 2. Sujud kalian kepada salib, 3. Makanan kalian adalah babi.”
Mereka bertanya, ”Siapakah ayahnya Isa? Kemudian Alloh [swt] menurunkan ayat 59-61 dari surat Ali Imron, kemudian Nabi [saw] mengajak mereka untuk bermubahalah (saling melaknat).
Mubahalah ini hendaklah dilakukan setelah dirinya mengemukakan argumentasi dan bukti yang jelas, menasehati bahkan memberikan peringatan, setelah melihat bahwa itu semua tidaklah berman-faat sedikit pun baginya, maka mubahalah adalah alternatif yang terakhir. Dan tidaklah selayaknya bagi seorang Muslim bersegera untuk melakukan mubahalah atau menerima tantangan mubahalah dari sesama saudaranya yang Muslim. Sebagaimana mubahalah tidaklah terjadi kecuali hanya sekali saja selama hidup Nabi [saw]. Ini berarti bahwa mubahalah bukanlah suatu perkara yang mudah atau enteng untuk dilakukan, terlebih lagi terhadap saudaranya sendiri.
Islam adalah agama rahmat dan kasih sayang terlebih lagi se-sama saudaranya, sebagaimana yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairoh [ranhu], bahwa Rosululloh [saw] bersabda, “Janganlah kalian saling membenci, saling menjatuhkan dalam penawaran barang, saling membelakangi, dan janganlah sebagian kalian men-jual di atas penjualan sebagian lainnya dan jadilah kalian hamba-hamba Alloh yang bersaudara. Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, tidak men-zholiminya, tidak merendahkan-nya, menghinakannya dan se-sungguhnya taqwa itu di sini.” Beliau [saw] mengisyaratkan kepada dadanya sebanyak tiga kali. (HR. Muslim). (Red/HASMI)