Tentu setiap kita ingin menjadi manusia yang merdeka dengan seutuhnya. Hidup tanpa ketergantungan terhadap sesuatu, hidup aman bebas dari penghambaan dan penjajahan.
Dan setiap orang pasti berani membeli dengan harga mahal kemerdekaan yang hakiki itu. Karena jika tidak merdeka berarti: setiap saat siap disiksa, dilucuti, dibentak-bentak, diusir, dihina, diserobot, didiskriminasi, atau bahkan dibunuh.
Tetapi ironisnya kebanyakan orang tidak mengetahui apa itu kemerdekaan hakiki yang dicari, mereka tidak bisa membedakan antara kemerdekaan hakiki dan keterpurukan.
Ketika kita tidak mengetahui apa itu kemerdekaan hakiki, tentu kita akan terperosok ke dalam kemerdekaan semu sehingga acuh tak acuh dan tidak berusaha meraih kemerdekaan hakiki, atau bahkan mengganti kemerdekaan hakiki yang ia telah dapatkan dengan keterpurukan dan kehinaan.
Maka dari itu, perlu kita paparkan di sini apa itu makna kemerdekaan hakiki. Jika kita menelisik definisi ‘merdeka’ dalam kamus Islam, dikatakan merdeka adalah ketika dia menjadi tunduk dan patuh. Dalam Islam merdeka adalah penghambaan mutlak kepada yang berhak disembah (Alloh [swt]). Di sisi lain, Islam membebaskan manusia dari segala belenggu penjajahan sesama manusia, dan keluar dari keterpurukan hidup di dunia.
Ketika seorang Muslim terbebas dari penghambaan kepada selain Alloh [swt] dan tunduk serta patuh kepada aturan dan hukum Alloh [swt], di sanalah muncul kemerdekaan sejati dan hakiki.
Kemerdekaan inilah tujuan diutusnya Nabi Muhammad [saw], dan tujuan dakwah para shahabat [ranhum] dan orang-orang Mukmin yang mengikuti jalan beliau [rahimahum]. Ketika perang Qodisiyah, Sa’ad bin Abi Waqqosh memerintahkan Rib’i bin Amir [ranhu] untuk menghadap Rustum, panglima perang Persia. Rustum bertanya kepada Rib’ia tentang tujuan kedatangan pasukan Islam ke wilayahnya. Dengan lantang Rib’i menjawab, dan jawabannya itu kemudian dicatat dengan tinta emas oleh sejarah. Rib’i bin Amira berkata :
)اللهُ ابْتَعَثَنَا لِنُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ عِبَادَةِ الْعِبَادِ إِلَى عِبَادَةِ اللهِ وَحْدَهُ، وَمِنْ ضَيْقِ الدُنْيَا إِلَى سَعَتِهَا، وَمِنْ جُوْرِ الْأَدْيَانِ إِلَى عَدْلِ الْإِسْلَامِ(
“Kami datang untuk membebaskan manusia dari penghambaan terhadap sesama manusia kepada penghambaan hanya kepada Alloh lsemata, dan dari dunia yang sempit menuju dunia yang luas, serta dari kesewenang-wenangan agama-agama (yang batil) kepada keadilan Islam (yang hak).”
Lihat pula bagaimana seorang shahabat yang mulia Bilal bin Rabah [ranhu], yang mengetahui kemerdekaan yang hakiki. ketika itu beliau menjadi hamba sahaya Abu Jahal, walaupun jasadnya disiksa dengan siksaan yang amat pedih, beliau [ranhu] tetap dalam keimanannya karena memiliki jiwa yang merdeka yang hanya bertauhid dan tunduk kepada Allohl. Dengan itulah beliau menjadi hamba yang merdeka yang seutuhnya.
Manusia diciptakan sebagai kholifah di muka bumi, hanya dengan dakwah tauhidlah yang akan membebaskan, memuliakan dan memerdekakan manusia dari penghambaan kepada manusia lain menuju penghambaan yang sejati yaitu kepada Alloh [swt] yang Maha Pencipta, dengan menyeru kepada kebenaran, menegakkan keadilan, dan mencegah kebatilan dengan cara yang makruf.
Jika konsep ini berjalan dengan benar, maka kita tidak akan menjumpai lagi bentuk-bentuk penjajahan implisit yang kulitnya menawarkan kemakmuran padahal sejatinya menghancurkan sisi kemanusiaan seseorang.
Nabi Muhammad [saw] dan misi profetik yang beliau emban, membawa manusia kepada kemerdekaan yang paling hakiki. Kemerdekaan dari kegelapan kepada hidayah Alloh [swt], dari kebodohan kepada ilmu pengetahuan, dan dari kedzaliman kepada keadilan. Kemerdekaan yang menjadi gerbang besar menuju kemena-ngan dunia dan akhirat. Sebuah gerakan kemerdekaan yang dalam waktu singkat mengilhami seluruh penjuru bumi. Bahkan menginspirasi Eropa untuk beranjak dari masa kegelapan kepada masa kemajuan. Dengan kekuatan ini dua imperium besar, Persia dan Romawi, ditundukkan di awal sejarah Islam.
Tauhid kepada Alloh [swt] adalah ikatan yang sangat kokoh yang tidak akan tergoyahkan sedikitpun yang mengantarkan kepada kemerdekaan hakiki. Alloh [swt] berfirman yang artinya : “Barangsiapa yang ingkar kepada Thoghut dan beriman kepada Alloh, Maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Alloh Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”(QS. al-Baqoroh [2]:256)
Menafsirkan ayat ini Ibnul Qoyyim [rahimahu] berkata: “Thaghut ialah setiap hamba yang melampaui batas, baik yang disembah, ditaati, atau diikuti. Dan thogut ini banyak sekali, kepalanya ada lima yaitu; Iblis la’natulloh alaih, hamba yang disembah dan ia meridhoinya, setiap yang menyeru manusia agar dirinya disembah, setiap yang mengaku mengetahui sebagian dari ilmu ghoib, dan setiap yang berhukum bukan dengan hukum Alloh [swt].”
Sebaliknya jika kita melepas ikatan tauhid ini, tentu kita akan terjerumus kedalam keterpurukan dan kehinaan.
Satu contoh nyata yang Alloh [swt] kisahkan di dalam al-Qur’an dan harus kita jadikan pelajaran, yaitu kisah Nabi Musa [alayhis] dengan Bani Israil. Yaitu ketika Nabi Musa [alayhis] sukses memerdekakan kaumnya Bani Israil dari penjajahan, dan penyembahan kepada Ramses II (Fir’aun 1301-1234 SM) yang mengaku Tuhan. Bani Israil akhirnya menghirup kemerdekaan hakiki mereka setelah sekian lama menjalani kerja paksa, diperlakukan diskriminatif, dan dipaksa menyembah Fir’aun.
Dalam al-Qur’an, kisah Nabi Musa [layhis] dengan Bani Israil ini diabadikan sebagaimana firman Alloh [swt]:
“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Hai kaumku, ingatlah nikmat Alloh atasmu ketika Dia mengangkat Nabi di antara kalian, dan dijadikan-Nya kalian orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepada kalian apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun di antara umat-umat yang lain”. Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Alloh bagi kalian, dan janganlah kalian lari kebelakang (karena takut kepada musuh), maka kalian menjadi orang-orang yang merugi.” (QS. al-Maidah [5]: 20-21).
Sayangnya, kemerdekaan yang Bani Israil rasakan, tak mau mereka syukuri. Pembangkangan demi pembangkangan mereka lakukan terhadap Musa [alayhis]. Ajaran terhadap tauhid, mereka khianati dengan menyembah patung anak sapi. Khianat adalah sikap yang kemudian membuat kemerdekaan yang mereka dapatkan menjadi sia-sia belaka.
Mereka mengganti kemerdekaan yang hakiki dengan kesesatan dan keterpurukan karena kesombongan dan pembangkangan mereka. Karena itu mereka dilaknat dan dimurkai Alloh [swt] di dunia dan akhirat.
Inilah akibat yang menimpa, jika kitapun tidak mentauhidkan Alloh [swt].
Sekarang sudahkah kita berusaha meraih kemerdekaan hakiki yang dicari..? jika jawabannya belum, maka usaha apakah yang sudah kita lakukan untuk meraihnya?
Jika jawabannya sudah, syukuri dan jagalah nikmat terbesar ini. Dan ajaklah manusia untuk meraih kemerdekaan hakiki ini.
Wallohu A’lam
(Red-HASMI/IH/Abdurrohim Lc)