ِنَّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا .
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ ، وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ، وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
Kaum muslimin rahimakumullah…..
Untuk mengenal, memahami dan menafsirkan Al-Qur’an diperlukan bukan hanya pengetahuan bahasa arab saja tetapi juga berbagai mcam ilmu yang menyangkut Al-Qur’an dan isinya. Disamping itu juga di haruskan berpegang pada prinsip-prinsip dalam menafsirkan Al-Qur’an. Berikut ini adalah hal-hal yang diharamkan didalam menafsirkan Al-Qur’an:
- 1. Haram menafsirkan al-Qur’an dengan hanya berpedoman kepada pendapat akal semata
Perkara tersebut dilarang sebab merupakan manifestasi kecondongan kepada hawa nafsu dan merupakan upaya menafsirkan kalam Alloh dengan sesuatu yang tidak Dia maksudkan. Rosululloh telah mewanti-wanti, bahkan mengancam pelakunya dengan neraka. Sabdanya:
(( مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ ))
“Barangsiapa yang mengatakan sesuatu tentang (kandungan) al-Qur’an tanpa ilmu pengetahuan, hendaklah ia bersiap menduduki tempat duduknya dalam neraka.” (HR. Tirmidzi)
Dalam tafsir Mu’tazilah (rasionalis) era Abbasiyyah, wahyu ditafsirkan menurut akal manusia. Misalnya kata “hati” dalam ayat:
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: ‘Ya Robbku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang yang mati,’ Alloh berfirman: ‘Apakah kamu belum percaya’ Ibrahim menjawab: “Saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya’. Alloh berfirman: ‘(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu jinakkanlah burung-burung itu kepadamu, kemudian letakkanlah tiap-tiap seekor daripadanya atas tiap-tiap bukit. Sesudah itu panggillah dia, niscaya dia akan datang kepada kamu dengan segera’. Dan ketahuilah bahwa Alloh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Baqarah [2]: 26)
Mereka memberi arti baru terhadap hati. Mereka meyakini bahwa Ibrahim memiliki seorang teman yang ia panggil dengan sebutan “hati”. Oleh sebab itu, makna ayat tersebut menjadi: “Saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap teman saya.” Penafsiran demikian mereka lakukan sebab keraguan dan kebimbangan mustahil terjadi pada para nabi. Padahal, para nabi memang tidak pernah ragu akan tetapi mereka tetap ingin sampai pada derajat ‘ainul yaqin.
- 2. Tidak boleh membawa atau mengarahkan tafsir atas ayat-ayat al-Qur’an pada aliran atau madzhab tertentu.
Kadang seorang mufassir menganut aliran atau madzhab tertentu dalam aqidah, kemudian membawa dan mengacukan ayat-ayat al-Qur’an kepada aliran tersebut, padahal ayat-ayat itu sama sekali tidak mengacu kepada makna itu, baik secara tersurat maupun tersirat. Sebaliknya, yang harus dilakukan adalah menjadikan al-Qur’an sebagai imam ke mana ia merujuk dalam segala hal. Sebab al-Qur’an lah yang menjadi sumber utama bagi setiap bagian dari keseluruhan isi aqidah Islam. Maka, tidak boleh menjadikan satu aliran sebagai dasar untuk menafsirkan dan mengambil hukum-hukum dari Alloh.
Beberapa kalangan Sufi telah mengartikan “Fir’aun” dengan “hati” dalam perintah Alloh kepada Nabi Musa :
“Pergilah kamu kepada Fir’aun, susungguhnya dia telah melampaui batas.” (QS. An-Nazi’at [79]: 17)
Dari ayat ini menurut mereka, sesungguhnya hatilah yang memaksa manusia untuk melampaui batas. Mereka juga mengartikan perintah Alloh kepada Nabi Musa :
“Dan lemparkanlah tongkatmu”.Maka tatkala (tongkat itu menjadi ular dan) Musa melihatnya bergerak-gerak seperti seekor ular yang gesit, larilah ia berbalik ke belakang tanpa menoleh”. Hai Musa, janganlah kamu takut. Sesungguhnya orang yang dijadikan Rosul, tidak takut di hadapan-Ku.” (QS. an-Naml [27]: 10)
Firman Alloh “lemparkanlah tongkatmu” pada ayat di atas menurut kalangan tasawuf adalah perintah untuk mengesampingkan dunia materi dan bersandar kepada Alloh semata.
Pada sekte Qadyani yang muncul di India sepanjang akhir abad ke-19, mengklaim “Khatam” dalam ayat:
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian, tetapi dia adalah Rosululloh dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Alloh Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Ahzab [33]: 40)
Tidak dengan pengertian “penutup” sebagaimana lazim dimengerti orang, melainkan dengan “yang terbaik”. Karena itu arti yang tepat ayat itu menurut mereka menjadi: “Yang paling mulia di antara nabi (tapi bukan yang terakhir).” Mereka menyatakan bahwa kata “khatam” juga berarti kesempurnaan. Beliau telah menyempurnakan masyarakat, dan dengan “kesempurnaan” itu seseorang dapat pula menjadi nabi. Penafsiran-penafsiran ini dibuat dengan tujuan mengabsahkan klaim kenabian pendiri sekte itu, Mirza Ghulam Ahmad al-Kadzdzab.
Tafsir-tafsir Syi’ah pada era ‘Abbasiyyah di bawah pengaruh obsesi yang berlebihan terhadap keturunan Nabi Muhammad , mengartikan ayat,
“Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu.” (QS. ar-Rahman [55] :19)
Mereka menafsirkan dua lautan mengalir pada ayat tersebut dengan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah .
“Dari keduanya keluar mutiara dan marjan.” (QS. ar-Rahman [55]: 22)
Mereka menafsirkan kedua mutiara dan marjan dengan Hasan dan Husain.
- 3. Hakikat-hakat syari’at (makna-makna kalimat yang dikenal syri’at) harus didahulukan atas hakikat-hakikat bahasa. Karena ilmu tentang Al-Qur’an didasarkan pada pemahaman atas lafadz-lafadz syari’at, yang batasan makna-maknanya telah ditetapkan secara rinci, kemudian baru secara bahasa.
بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْﺁنِ الْعَظِيْمِ وَ نَفَعَنِي وَ إِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلاۤيَاتِ وَ الذِّكْرِ الْحَكِيْمِ .أَقُوْلُ قَوْلِي هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَ لِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ. فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
KHUTBAH II
الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، رَبِّ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا وَحَبِيْبِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ اْلأَطْهَارِ وَصَحْبِهِ الرَّافِعِيْنَ قَوَاعِدَ الدِّيْنِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ:
Kaum muslimin rahimakumullah…
Semoga Alloh menganugerahkan hidayah taufiq-Nya kepada kita semua, sehingga dengannya kita di beri kemauan dan kemampuan untuk membaca dan mempelajari Al-Qur’an, menerima, tunduk dengan aturan Alloh yang serta ikhlas hingga akhir hayat semoga Alloh mengabulkan doa kita semua..
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍّ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ فِي الْعَالَمِيْنَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَاتِ. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الثَّبَاتَ فِي اْلأُمُوْرِ، وَنَسْأَلُكَ عَزِيْمَةَ الرُّشْدِ، وَنَسْأَلُكَ شُكْرَ نِعْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. اَللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي اْلأُمُوْرِكُلَّهَا وَأَجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ اْلآخِرَةِ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ.
عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لََعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.