New York– (www.hasmi.org) | Pejuang Anti-Balaka di Republik Afrika Tengah sedang berusaha untuk memusnahkan etnis Muslim, sebuah organisasi hak asasi manusia internasional terkemuka telah memperingatkan, menuduh pasukan penjaga perdamaian gagal melindungi minoritas Muslim yang terancam.
“Milisi Anti-Balaka sedang melakukan serangan kekerasan dalam upaya untuk memusnahkan etnis Muslim di Republik Afrika Tengah,” kata Joanne Mariner, penasihat respon-krisis (tanggap-darurat) senior di Amnesty International mengatakan dalam laporan yang dirilis di situs kelompoknya pada hari Selasa, 11 Februari.
“Hasilnya adalah eksodus Muslim berproporsi sejarah.”
Laporan, yang dirilis pada hari Selasa, didasarkan pada lebih dari seratus kesaksian tangan pertama dari serangan Anti-Balaka berskala besar terhadap warga sipil Muslim di kota-kota barat laut Republik Afrika Tengah dari Bouali, Boyali, Bossembele, Bossemptele, dan Baoro, kata Amnesty.
Kelompok ini menambahkan pihaknya telah mendokumentasikan sedikitnya 200 pembunuhan warga sipil Muslim oleh kelompok-kelompok milisi Kristen yang dikenal sebagai anti-Balaka, yang dibentuk setelah kudeta Maret 2013 oleh pemberontak Seleka yang dilakukan oleh orang-orang Muslim.
Kelompok itu mengatakan serangan terhadap Muslim telah dilakukan “dengan maksud yang dinyatakan untuk secara paksa mengusir komunitas ini dari negara itu,” dengan banyak pejuang anti-Balaka memandang orang-orang Muslim sebagai ‘orang asing’ yang harus meninggalkan negara itu atau dibunuh”.
Kelompok hak asasi juga mengatakan bahwa serangan terhadap umat Islam itu dilakukan beriringan dengan maksud pemerintah yang berniat untuk mengusir paksa orang-orang Muslim dari negara itu.
Untuk menghindari serangan mematikan anti-Balaka itu, seluruh penduduk Muslim telah melarikan diri dari berbagai kota dan desa sementara di lain pihak, ada beberapa yang tetap berlindung di dalam dan sekitar masjid.
Perjalanan menuju keselamatan sulit dan berbahaya. Konvoi sering diserang oleh milisi anti-Balaka. Kisah tentang bagaimana seorang anak kecil bernama Abdul Rahman kehilangan seluruh keluarganya adalah salah satu bukti tentang pemusnahan etnis penduduk yang beragama Islam di negara itu.
Pada tanggal 14 Januari, anak itu bepergian di sebuah truk dengan enam anggota keluarganya. Di sebuah pos pemeriksaan anti-Balaka, mereka meminta agar semua penumpang Muslim turun, lalu membunuh semua anggota keluarganya, termasuk tiga wanita dan tiga anak-anak kecil, salah satunya masih balita, dia mengatakan kepada Amnesty International.
Serangan paling mematikan didokumentasikan oleh Amnesty International terjadi pada tanggal 18 Januari di Bossemptele, di mana sedikitnya 100 Muslim tewas. Di antara yang tewas adalah perempuan dan laki-laki tua, termasuk seorang imam berumur pertengahan 70-an.
Respon setengah hati
Amnesty International mengkritik respon setengah hati masyarakat internasional terhadap krisis ini, dan mencatat bahwa pasukan penjaga perdamaian enggan melawan milisi anti-Balaka, dan lambat untuk melindungi minoritas Muslim yang terancam.
“Pasukan penjaga perdamaian internasional telah gagal untuk menghentikan kekerasan tersebut,” kata Donatella Rovera, seorang penasihat krisis respon senior di Amnesty International.
“Mereka telah merestui kekerasan dalam beberapa kasus dengan mengizinkan milisi anti-Balaka mengisi kekosongan kekuasaan yang disebabkan keberangkatan Seleka.”
Negara miskin telah dilanda kekerasan sektarian berdarah yang melibatkan orang-orang Kristen dan Muslim sejak tahun lalu. Lebih dari 1.000 orang telah tewas di Republik Afrika Tengah sejak Desember lalu, ketika milisi Kristen melancarkan serangan-serangan terkoordinasi terhadap sebagian besar kelompok Muslim Seleka yang menggulingkan pemerintah pada Maret 2013.
Dengan pergi dari pintu ke pintu, milisi Kristen anti-Balaka menggerebek rumah-rumah Muslim dan membunuh anak-anak dan perempuan-perempuan serta menjarah barang-barang dan merusak properti, laporan PBB mengungkapkan.
Pasukan penjaga perdamaian Afrika MISCA telah mengerahkan sekitar 5.400 dari 6.000 tentara yang telah direncanakan untuk bertugas di Republik Afrika Tengah. 1.600 tentara Prancis juga di tugaskan di negara ini.
“Urgensi situasi tersebut menuntut tanggapan segera,” kata Joanne Mariner.
“Sudah saatnya untuk melakukan operasi penjagaan perdamaian di Republik Afrika Tengah untuk melindungi penduduk sipil, menangani daerah-daerah yang terancam, dan menghentikan eksodus paksa ini.”
Khawatir dengan krisis yang semakin meluas, Presiden Kongo Denis Sassou Nguesso, yang merupakan mediator dalam konflik itu, mengatakan, “Ini adalah tugas dari masyarakat internasional untuk bertindak dengan lebih tegas dan tekun untuk mengakhiri pemerintahan barbarisme.”
Di New York, Sekjen PBB Ban Ki-Moon mengatakan kepada wartawan: “Kebrutalan sektarian sedang merubah demografi di negara itu. Partisi de facto dari Republik Afrika Tengah adalah resiko yang nyata. “
Tanggapan internasional belum sesuai dengan bobot keseriusan situasi tersebut. “Kita harus berbuat lebih banyak untuk mencegah terjadinya kekejaman yang lebih jauh, melindungi warga sipil, memulihkan hukum dan ketertiban, memberikan bantuan kemanusiaan dan menjaga pengurusan negara bersama-sama,” tambahnya.
[Red-HASMI]